Dalam industri jasa keuangan, khususnya sektor pembiayaan, kepatuhan terhadap regulasi bukan hanya soal formalitas administratif, melainkan sebuah fondasi legal yang menentukan keberlangsungan usaha. Sejak berlakunya Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan (UU No. 21 Tahun 2011) dan semakin dipertegas dengan hadirnya Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU No. 4 Tahun 2023), setiap perusahaan pembiayaan diwajibkan untuk memperoleh izin usaha dari OJK sebelum menjalankan kegiatannya. Kewajiban ini secara teknis diatur dalam POJK 47/POJK.05/2020 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Pembiayaan dan Perusahaan Pembiayaan Syariah, yang menyatakan dengan jelas bahwa kegiatan usaha hanya boleh dilakukan setelah OJK memberikan izin resmi .
Proses perizinan ini tidaklah sederhana. OJK menetapkan sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi oleh calon perusahaan pembiayaan. Misalnya, perusahaan harus berbentuk Perseroan Terbatas dengan modal disetor minimum Rp250 miliar, kepemilikan asing dibatasi maksimal 85%, dan harus memiliki satu Pemegang Saham Pengendali. Selain itu, struktur organisasi wajib dilengkapi dengan fungsi-fungsi penting seperti manajemen risiko, kepatuhan, APU-PPT, layanan pengaduan konsumen, hingga literasi dan inklusi keuangan. Semua ketentuan ini bukanlah beban, melainkan mekanisme proteksi yang dirancang untuk memastikan perusahaan pembiayaan beroperasi secara sehat dan bertanggung jawab .
Seiring perkembangan, OJK juga melakukan harmonisasi aturan. POJK 46 Tahun 2024 memperkuat dan memperbarui ketentuan sebelumnya, termasuk pengaturan pasca pencabutan izin dan likuidasi. Misalnya, jika dulu pembukaan kantor cabang membutuhkan izin, kini cukup dengan kewajiban melapor. Perubahan ini menunjukkan adanya penyesuaian regulasi terhadap dinamika industri, namun tetap menekankan prinsip pengawasan dan akuntabilitas .
Konsekuensi bagi perusahaan yang nekat beroperasi tanpa izin OJK sangat berat. Tidak hanya sanksi administratif hingga pencabutan izin, tetapi juga potensi tindakan hukum melalui Satgas Penanganan Kegiatan Usaha Tanpa Izin di Sektor Keuangan (Satgas PASTI) yang dibentuk berdasarkan POJK 14 Tahun 2024. Satgas ini secara khusus bertugas menindak praktik ilegal di sektor keuangan, termasuk perusahaan pembiayaan abal-abal yang merugikan masyarakat .
Pada akhirnya, kepatuhan izin dari OJK bukan hanya soal memenuhi kewajiban hukum, tetapi juga kunci bagi reputasi dan keberlangsungan usaha. Perusahaan pembiayaan yang berizin akan lebih dipercaya konsumen, lebih mudah mengakses pendanaan dari bank maupun investor, serta terlindungi dari risiko penghentian operasional. Sebaliknya, beroperasi tanpa izin berarti menempatkan diri dalam posisi rentan—baik dari sisi hukum, keuangan, maupun reputasi. Dengan demikian, jelas bahwa izin OJK adalah instrumen vital yang tidak bisa diabaikan oleh siapa pun yang ingin terjun di industri pembiayaan di Indonesia.
Referensi
- Otoritas Jasa Keuangan. POJK 47/POJK.05/2020 tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Pembiayaan dan Perusahaan Pembiayaan Syariah .
- Otoritas Jasa Keuangan. POJK 46/2024 tentang Pengembangan dan Penguatan Perusahaan Pembiayaan, Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur, dan Perusahaan Modal Ventura .
- Undang-Undang No. 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
- Undang-Undang No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK).
- Otoritas Jasa Keuangan. POJK 14/2024 tentang Satgas Penanganan Kegiatan Usaha Tanpa Izin di Sektor Keuangan (Satgas PASTI) .