Dunia selalu berputar dalam perubahan dan penemuan. Sistem berlomba-lomba untuk mengejar satu sama lain, mendorong globalisasi teknologi menjadi semakin cepat dan berkembang. Hukum sebagai sebuah alat yang mengatur masyarakat perlu senantiasa mengikuti perkembangan-perkembangan tersebut, sehingga tercipta sebuah kesinambungan antara regulasi dan inovasi sebagai dasar keharmonisan kehidupan.
Fenomena-fenomena perkembangan teknologi akan selalu bersinggungan dengan hukum, seperti bagaimana Artificial Intellegence bersinggung dengan HAKI, atau bitcoin bersinggungan dengan Hukum Pajak. Tidak ada yang dapat memungkiri bahwa perkembangan teknologi harus selaras dengan cara berjalan hukum. Salah satu fenomena mengenai perpaduan teknologi dan hukum yang patut diperhatikan pada masa kini disanggul dengan sebutan “Smart Contract”.
PEMAHAMAN DASAR MENGENAI SMART CONTRACT
“Smart Contract” adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan serangkaian kode komputer yang secara otomatis mengeksekusi seluruh atau sebagian perjanjian dan menyimpannya pada platform berbasis blockchain. Kode-kode ini bisa jadi merupakan perwujudan kesepakatan antara para pihak, ataupun dapat melengkapi kontrak berbasis teks tradisional. Singkatnya, Smart Contract adalah sebuah perjanjian yang pelaksanaannya dilakukan secara otomatis menggunakan sistem komputer.[1]
Saat ini, mayoritas Smart Contract masih didasarkan pada kontrak lain, seperti: (1) kontrak konvensional (tertulis) maupun kontrak elektronik— dimana keduanya masih dapat dibaca dan dipahami oleh para pihak, atau dalam bentuk (2) kontrak yang berorientasi data yang dapat dibaca dan dijalankan oleh sebuah sistem komputer. Apabila penggunaannya berbasis komputer, maka kontrak akan disajikan dalam tulisan biasa yang memuat klausul-klausul yang disetujui dalam kontrak, kemudian kode-kode mewakili klausul-klausul tersebut akan dibuat dalam bentuk kode program. Kode kontrak tersebut dapat dibaca dan dieksekusi oleh sistem komputer, dan kemudian disimpan dalam struktur blockchain.[2]
PERJANJIAN YANG BERSIFAT SELF-EXECUTING DAN IMMUTABLE
Seperti yang telah kami singgung sebelumnya, Smart Contract menggunakan system yang berbasis blockchain. Pada intinya, blockchain adalah sebuah database terdesentralisasi yang tidak dapat diubah dan memiliki tujuan untuk mencatat transaksi yang terjadi di seluruh jaringan komputer. Karena sifat kode tersebut tidak dapat diubah, maka Smart Contractmemiliki sifat Immutable.[3]
Setiap blok baru (yang berwujud aksi) ditambahkan ke dalam blockchain, kode tertentu akan secara otomatis dieksekusi. Jika para pihak telah mengindikasikan perbuatannya dengan melakukan transaksi dan parameter tertentu telah terpenuhi, kode akan menjalankan langkah yang dipicu oleh perbuatan tersebut. Parameter yang dimasukkan dan langkah-langkah pelaksanaan atas kode tersebut harus ditulis dengan spesifik agar eksekusi tidak bersifat analogi.
Secara nyata, Smart Contract dapat mengeksekusi secara otomatis dua jenis “transaksi” yang banyak ditemukan dalam sebuah kontrak, seperti: (1) memastikan pembayaran dana setelah peristiwa pemicu tertentu, dan (2) menempatkan denda finansial jika kondisi obyektif yang telah disetujui tidak terpenuhi. Sebagai contoh, ketika suatu produk yang dijual secara online telah tiba dan dipindai oleh sebuah sistem, smart contract dapat segera memicu permintaan persetujuan yang diperlukan. Setelah disetujui oleh sistem, kode-kode tersebut akan segera mentransfer dana dari pembeli ke penjual.[4]Hal inilah yang disebut sebagai unsur self-executing dari Smart Contract.
PENGATURAN SMART CONTRACT DALAM HUKUM INDONESIA
Pada dasarnya, Smart contract adalah suatu inovasi berupa kontrak elektronik yang bentuknya dapat dianggap sama dengan perjanjian pada umumnya.[5] Kontrak elektronik sendiri diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 17 UU No. 11 Tahun 2008 jo. UU No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi: “Kontrak Elektronik adalah perjanjian para pihak yang dibuat melalui Sistem Elektronik.”[6] Dengan begitu, bolehlah ia disamakan dengan Perjanjian yang dimaksud oleh KUHPerdata, yaitu: “suatu perbuatan dimana satu orang mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih”.[7]
Dalam hukum Indonesia, Perjanjian adalah sah apabila ia memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata. Adapun unsur-unsur sah-nya suatu kontrak adalah: (1) kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; (2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan; (3) suatu pokok persoalan tertentu; dan (4) suatu sebab yang tidak terlarang. Unsur-unsur tersebut secara substantif juga termaktub dalam Pasal 46 ayat (2) PP PSTE[8] sebagai syarat sah kontrak elektronik, tanpa mengesampingkan ketentuan-ketentuan lain yang menjadi dasar keabsahan perjanjian, seperti ketentuan penggunaan Bahasa Indonesia bagi kontrak yang dibuat oleh perseorangan warga negara Indonesia.[9]
Sebagai contoh, ketika smart contract diterapkan dalam sistematika jual-beli berbasis platform online, kesepakatan para pihak akan terlihat melalui serangkaian-serangkaian aksi yang mereka lakukan. Setelah menentukan barang yang ingin dibeli, pembeli akan melakukan pembayaran sebagai bentuk persetujuan atas transaksi jual-beli tersebut. Setelah itu, penjual akan mengirimkan barang sesuai dengan waktu dan metode yang telah disepakati oleh pembeli dan penjual.[10]Dalam hukum perikatan, tindakan-tindakan tersebut adalah bentuk dari konsensualisme antara kedua belah pihak yang nyata perwujudan offer dan acceptance yang merupakan bagian dari kesepakatan para pihak.[11]
Namun, apakah Smart Contract dapat sepenuhnya memenuhi syarat sah perjanjian yang ditetapkan oleh KUHPerdata? Nyatanya, harus dengan hati-hati betul kita menetapkan keabsahan dari butir (b) Pasal 1320 KUHPerdata dalam perumusan smart contract. Sejatinya, ketika membicarakan tentang kecakapan subjek dari pembuat smart contract, perlu diingat bahwa kontrak ini berwujud serangkaian kode yang disetor ke dalam system blockchain. Meski begitu, tidaklah adil untuk menetapkan subjek dari pembuat kontrak itu pada system komputer, karena pada nyatanya, kode-kode tersebut dibuat dengan dasar kontrak tertulis yang memuat klausul-klausul yang disetujui oleh kedua belah pihak.
Kecakapan untuk melakukan tindakan hukum merupakan suatu kewenangan yang diberikan kepada orang pribadi maupun orang korporasi sebagai subjek hak dan pelaksana kewajiban.[12] Dalam hal ini, selama dalam prosesnya Smart Contract secara sah dirumuskan oleh subjek-subjek yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum sebelum pada akhirnya klausa-klausa tersebut dirumuskan menjadi kode yang bersifat self-executing, maka besar kemungkinan ia tidak menyalahi ketentuan Pasal 1320 butir (b) jo. Pasal 1329 KUHPerdata.
Smart contract yang berbentuk kontrak elektronik memanglah merupakan suatu fenomena baru yang belum banyak diimplementasikan di Indonesia. Namun, penggunaannya di kemudian hari dapat terjadi dengan dasar sifat buku ketiga KUHPerdata yang memberikan kesempatan lahirnya bentuk-bentuk maupun macam-macam kontrak yang baru yang belum diatur oleh KUHPerdata sebelumnya.[13] Dengan begitu, ketentuan mengenai keabsahannya juga perlu mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh KUHPerdata dan instrument-instrumen hukum lain yang terkait dengan penggunaannya.
[1] Max Raskin, “The Law and Legality of Smart Contracts”, Georgetown Law Technology Review, Vol.1 No. 2, 2017, hlm. 306.
[2] International Swaps and Derivatives Association (ISDA), Linklaters, “Whitepaper Smart Contracts and Distributed Ledger – A Legal Perspective”, New York: 2017, hlm.14.
[3] Oktaviani, “Implementasi Smart Contract Pada Teknologi Blockchain dalam Kaitannya dengan Notaris Sebagai Pejabat Umum”, Jurnal Kertha Semaya, Vol.9, No.11 (2021), hlm. 2210-2211.
[4] Skadden, Arps, Slate, Meagher & Flom LLP and Affiliates, “An Introduction to Smart Contracts and Their Potential and Inherent Limitations”, New York, 2018, hlm. 3
[5] Indah Parmitasari, “Eksistensi Smart Contract Menurut Hukum Kontrak di Indonesia”, Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, Yogyakarta, 2022, hlm. 98
[6] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.
[7] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Pasal 1313.
[8] Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik (“PP PSTE”)
[9] Pasal 47 (1) PP PSTE; Pasal 31 Ayat 1 dan 2 Undang-undang (UU) Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
[10] Eureka Inola Kadly, “Keabsahan Blockchain-Smart Contract dalam Transaksi Elektronik: Indonesia, Amerika dan Singapura”, Jurnal Sains Sosio-Humaniora, Vol.5, No.1, 2021, hlm. 206.
[11] Simanjuntak, Ricardo, “Hukum Kontrak: Teknik Perancangan Kontrak Bisnis”, Kontan Publishing, (Jakarta: 2011), Hlm. 151
[12] Ibid, hlm. 126
[13] Supra n.5, hlm. 99