Wacana akuisisi Grab terhadap Goto, dua raksasa teknologi yang mendonimasi sektor ride-hailing, layanan antar makanan, dan fintech di Asia Tenggara, tentu memicu perhatian besar dari berbagai pihak. Selain dampak ekonomi dan bisnis, aspek hukum dari akuisisi ini menjadi hal yang wajib untuk diperhatikan, mengingat besarnya pengaruh kedua entitas terhadap pasar dan masyarakat Indonesia. Akuisisi semacam ini bukan hanya sekedar transaksi bisnis biasa, tetapi dapat menimbulkan konsekuensi hukum yang luas di berbagai bidang, mulai dari hukum persaingan usaha, hukum pasar modal, perlindungan konsumen hingga ketenagakerjaan.
Dari sudut pandang hukum persaingan usaha, penggabungan dua pelaku usaha dominan dapat berdampak terciptanya struktur pasa yang monopolistik atau bahkan oligopolistic. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (“KPPU”) tentu akan menaruh perhatian besar terhadap transaksi ini. Jika hasil akuisisi menimbulkan penguasaan pasar yang melebihi ambang batas yang ditentukan, maka dapat dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat[1]. Selain itu, Grab dan GoTo wajib melakukan notifikasi merger kepada KPPU dalam waktu paling lambat 30 hari kerja sejak akuisisi berlaku efektif, jika nilai asset atau penjualan mereka melebihi batas tertentu sebagaimana diatur dalam Peraturan KPPU Nomor 3 Tahun 2019[2].
Implikasi lainnnya muncul dalam ranah hukum pasar modal. Sebagaimana perusahaan terbuka, GoTo tunduk pada ketentuan keterbukaan informasi sesuai dengan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.04/2015 (“POJK No. 31/POJK.04/2015”) tentang Keterbukaan Informasi atau Fakta Material oleh Emiten atau Perusahaan Publik[3]. Apabila akuisisi mengakibatkan perubahan pengadilan, maka dapat memicu kewajiban tender offer sebagaimana di atur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 9/POJK.04/2018 tentang Pengambilalihan Perusahaan Terbuka[4].
Tidak kalah penting adalah isu perlindungan konsumen dan data pribadi. Kedua Perusahaan memiliki jutaan pengguna yang datanya dikelola secara digital. Pengailan atau penggabungan data akibat akuisisi harus memperhatikan ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi[5]. Setiap bentuk pemrosesan data harus memperoleh persetujuan eksplisit dari pemilik data. Di sisi lain, perubahan struktur layanan akibat akuisisi juga berdampak pada hak-hak konsumen, baik dari sisi harga, promosi, maupun pilihan layanan yang tersedia. Jikat tidak ditangani secara bijak, akan berdampak menimbulkan keluhan atau bahkan gugatan dari konsumen.
Secara keseluruhan, proses akuisisi antara Grab dan GoTo bukan hanya persoalan strategi koporasi, tetapi merupkan hukum yang komplek dan berdampak luas. Pemerintah melalui Lembaga-lembaga seperti KPPU, OJK, dan Kementrian Komunijasi dan Informasi perlu besinergi dalam melakukan pengawasan dan pengaturan yang tepat agar akuisisi ini tidak merugikan kepentingan public. Di sisi lain, transparansi dari kedua Perusahaan juga menjadi kunci untuk membangun kepercayaan publik terhadap proses yang sedang berlangsung.
[1] Pasal 25 dan Pasal 28, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.
[2] Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 3 Tahun 2019 tentang Penilaian Terhadap Penggabungan, Peleburan, atau Pengambilalihan Badan Usaha.
[3] POJK No. 31/POJK.04/2015 tentang Keterbukaan Informasi atau Fakta Material oleh Emiten atau Perusahaan Publik.
[4] POJK No. 9/POJK.04/2018 tentang Pengambilalihan Perusahaan Terbuka.
[5] Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP)