Di Indonesia, terdapat beberapa opsi penyelesaian sengketa yang dapat dipilih yaitu melalui jalur litigasi (pengadilan) atau jalur di luar pengadilan (mediasi, konsiliasi, negosiasi, konsultasi, valuasi ahli, dan arbitrase). Dalam hal ini, pembahasan akan lebih mendalam mengenai arbitrase. Berkaitan dengan arbitrase atau lembaga arbitrase, sebenarnya sudah adadan telah dipraktikkan selama berabad-abad, termasuk di Indonesia. Arbitrase diciptakan dari klausul yang mereka ambil dalam kontrak yang telah mereka setujui. Arbitrase diketahui sebagai metode penyelesaian sengketa di dunia bisnis, memberikan alternatif praktis dan efisien dibandingkan jalur litigasi pengadilan. Artikel ini memberikan penjelasan mengenai tahap-tahap awal dalam menerapkan metode arbitrase di ICC.
Artikel ini juga akan melakukan komparisi antara prosedur arbitrase di ICC dan BANI, melihat perbedaan dalam cara pendekatan yang menjadi pengaturan masing-masing lembaga.
PENDAHULUAN
Dalam hubungan bisnis, suatu perjanjian yang diberikan secara langsung kepada para pihak akan selalu ada potensi munculnya perkara atau sengketa. Masalah yang kerapkali muncul yaitu cara melaksanakan isi-isi perjanjian, bunyi dari klausul perjanjian maupun terjadi karena hal lain yang tidak sesuai dengan perjanjian Dalam prosedur menyelesaikan sengketa para pihak di Indonesia, terdapat sejumlah cara yang lazimnya menjadi opsi antara lain, yaitu bisa melalui jalur pengadilan (litigasi) ataupun jalur non-litigasi seperti mediasi, konsiliasi, penilaian ahli, konsultasi serta arbitrase). Arbitrase maupun lembaga arbitrase juga sudah eksis serta diterapkan selama waktu yang sangat lama. (Arbitrase diperkenalkan untuk pertama kalinya di Yunani, sebelum Masehi) Arbitrase juga sudah dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai alternatif untuk menyelesaikan masalah hukum melalui non-litigasi. Definisi pasti mengenai apa itu arbitrase, masih saja ditemui begitu banyaknya perbedaan pendapat. Namun, perbedaan pendapat tersebut
tidak sampai menghilangkan makna arbitrase sebagai alternatif penyelesaian sengketa, melainkan justru memberikan konsep yang berbeda-beda mengenai arbitrase. Dengan ini, kita diberikan suatu gambaran untuk penyelesaian sengketa dengan jalur arbitrase adalah cara yang sangat disukai oleh para pengusaha sebab mereka menilai metode arbitrase sebagai cara yang selaras dengan berbagai macam kebutuhan mereka dalam dunia berusaha/bisnis.
1. Pengertian Arbitrase Arbitrase merupakan singkatan dari “arbitrare” yang merupakan bahasa latin yang memiliki arti “kekuasaan untuk menyelesaikan suatu masalah atau perkara yang terjadi menurut kebijaksanaan”. Definisi lain dari Arbitrase secara umum yaitu arbitrase merupakan metode alternatif untuk menyelesaikan suatu perkara sengketa perdata diluar pengadilan tetapi hanya dalam sengketa dagang dan arbitrase merupakan prosesnya pemeriksaan suatu perkara secara yudisial yang melibatkan orang ketiga. Menurut Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 yang dimaksud arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Kata arbitrase juga banyak diartikan oleh para ahli, sebagai berikut:
• Subekti menyatakan bahwa arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim atau para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada atau menaati keputusan yang diberikan oleh hakim yang mereka pilih.
• H. Priyatna Abdurrasyid menyatakan bahwa arbitrase adalah suatu proses pemeriksaan suatu sengketa yang dilakukan yudisial seperti oleh para pihak yang bersengketa, dan pemecahannya akan didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak.
• H. M. N Poerwosujtipto menggunakan istilah perwasitan untuk arbitrase yang diartikan sebagai suatu peradilan perdamaian, di mana para pihak bersepakat agar perselisihan mereka tentang hak pribadi yang dapat mereka kuasai sepenuhnya diperiksa dan diadili oleh hakim yang tidak memihak yang ditunjuk oleh para pihak sendiri dan putusannya mengikat bagi kedua belah pihak.
Dapat dikatakan bahwa arbitrase merupakan suatu jenis khusus Pengadilan. Yang perlu digarisbawahi adalah perbedaan pengadilan dan arbitrase adalah jika melalui jalur pengadilan (judicial settlement) menggunakan standing court atau peradilan permanen, berbeda dengan arbitrase yang memakai forum tribunal yang secara khusus dirancang untuk aktivitas tersebut. Arbitrartor dalam arbitrase bertindak seperti hakim dalam mahkamah arbitrase sebagaimana hakim yang permanen dalam pengadilan, meskipun bersifat sementara sebab hanya berperan sebagai hakim selama kasus berlangsung dan yang sedang ditangani. Dapat dikutip dari Frank Elkoury dan Edna Elkoury bahwa arbitrase merupakan suatu prosedur yang tidak sulit atau sederhana yang menjadi bagi pilihan bagi para pihak secara sukarela yang ingin perkaranya diputus oleh pihak ketiga yaitu juru pisah yang bersifat netral selaras dengan opsi mereka yang keputusan berdasarkan dalil-dalil dari sengketa tersebut. Para pihak yang terlibat setuju sejak semula untuk menerima putusan tersebut secara final dan mengikat.
Dari adanya penjabaran tentang arbitrase di atas, bisa dapat dikatakan: 1. Terdapat persetujuan dalam penyerahan sengketa-sengketa, yang akan terjadi maupun yang telah terjadi pada saat itu, kepada seseorang atau beberapa pihak ketiga diluar peradilan umum untuk kemudian diputuskan 2. Dalam menyelesaikan sengeketa yang bisa dituntaskan adalah sengketa yang melibatkan hak pribadi yang bisa dikuasai secara penuh, khususnya dalam sektor perdagangan industri serta keuangan. 3. Putusan tersebut merupakan putusan akhir dan mengikat.
2. Latar Belakang International Chamber of Commerce dan Badan Arbitrase Nasional Indonesia
International Chamber of Commerce didirikan pada tahun 1923 di Paris, Prancis, dan merupakan salah satu lembaga arbitrase tertua dan terkemuka yang menangani kasuskasus arbitrase komersial internasional di Prancis serta di Eropa secara keseluruhan. Peran utama ICC adalah menangani isu-isu terkait kekayaan intelektual, joint-venture, pengaturan pembelian saham, dan proyek konstruksi. Forum arbitrase ICC memiliki aturan prosedur khusus, yaitu ICC Rules of Arbitration, yang telah banyak diterapkan secara luas. Prosedur arbitrase ICC umumnya serupa dengan proses arbitrase pada umumnya, yang terdiri dari dua tahap utama, yaitu pembentukan majelis arbitrase dan persidangan arbitrase, dengan aturan prosedur yang mencakup langkah-langkah arbitrase dari awal hingga akhir4 sedangkan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) adalah lembaga independen yang menyelesaikan sengketa melalui Majelis Arbitrase sesuai dengan ketentuan Peraturan dan Prosedur Arbitrase BANI.
PEMBAHASAN
Prosedur Arbitrase Menurut ICC dan BANI Badan Arbitrase International Criminal Court menerapkan proses hukum yang diketahui oleh umum sebagai ICC Rules of Arbitration yang sudah diimplementasikan secara luas. Penggunaan prosedur ini selaras dengan banyak sengketa yang dituntaskan oleh ICC. Lebih dari itu, demi peningkatan efisiensi dan pemenuhan kebutuhan yang berkembang dalam praktek, prosedur arbitrase International Criminal Court kerap diubah. Pertama kali diubah pada tahun 1927 yang kemudian dibuntuti oleh perubahan kedepannya yaitu tahun 1931, 1933, 1939, 1947, 1955, 1975, 1988, dan 1998, dengan tahun terakhir diubahnya yaitu pada tahun 2017. Prosedur arbitrase ICC, sama seperti hukum acara arbitrase pada umumnya, terdiri dari dua tahap utama, yaitu pembentukan majelis arbitrase dan persidangan arbitrase. Ketentuan hukum acara ini mencakup langkah-langkah arbitrase dari awal hingga akhir. Prosedur ini mengatur pengajuan permohonan, tanggapan terhadap permohonan arbitrase, replik dan duplik (jika ada), pembuktian, pembuatan putusan arbitrase, biaya arbitrase, serta pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase.
Prosedur arbitrase di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dimulai dengan pengajuan permohonan arbitrase oleh pihak yang merasa dirugikan, yang harus disampaikan secara tertulis beserta dokumen pendukung kepada BANI. Setelah menerima permohonan tersebut, BANI akan memberikan pemberitahuan kepada pihak-pihak terkait dan meminta mereka untuk memberikan tanggapan. Selanjutnya, BANI akan membentuk majelis arbitrase yang terdiri dari satu atau lebih arbiter yang ditunjuk sesuai dengan kesepakatan antara pihak-pihak yang bersengketa atau, jika kesepakatan tidak tercapai, berdasarkan ketentuan yang berlaku. Proses selanjutnya melibatkan persidangan, di mana kedua pihak dapat menyampaikan argumen, bukti, dan kesaksian. Setelah persidangan selesai, majelis arbitrase akan mengeluarkan putusan yang bersifat final dan mengikat bagi semua pihak. Prosedur ini dirancang untuk menjamin penyelesaian sengketa yang efisien, adil, dan transparan, dengan mempertimbangkan asas-asas hukum dan kepentingan seluruh pihak yang terlibat.
KESIMPULAN
Prosedur arbitrase yang diterapkan oleh ICC dan BANI mencerminkan komitmen kedua lembaga dalam menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa yang efisien dan adil. ICC, sebagai salah satu lembaga arbitrase terkemuka di dunia, menggunakan aturan yang telah disempurnakan melalui berbagai perubahan untuk memenuhi kebutuhan praktik internasional, sementara BANI, sebagai badan arbitrase nasional, fokus pada penyelesaian sengketa di Indonesia dengan prosedur yang jelas dan transparan. Kedua lembaga ini menekankan pentingnya keadilan dan keterbukaan dalam proses arbitrase, serta mengedepankan penyelesaian sengketa yang dapat diterima oleh semua pihak. Dengan prosedur yang terstruktur dan berlandaskan hukum, arbitrase menjadi pilihan yang efektif dalam menangani sengketa, baik di tingkat nasional maupun internasional.
Daftar Pustaka
Subekti, Arbitrase Perdagangan, (Bina Cipta: Bandung, 1992), hlm.1. 2
H. Priyatna Abdurrasyid, Penyelesaian Sengketa Komersial Nasional dan Internasional) di luar Pengadilan, Makalah, September 1996, hlm.1.
H.M.N. Poerwosutjipto, Pokok-pokok Hukum Dagang, Perwasitan, Kepailitan dan Penundaan Pembayaran, Cetakan ke-3, (Djambatan:Jakarta, 1992), hlm.1
Yves Derains dan Eric A. Schwartz, A Guide to the ICC Rules of Arbitration, (Kluwer Law International, 2005), hlm. 1.