Perseteruan Lolly dan Nikita Mirzani: Implikasi Hukum dan Perlindungan Anak di Era Digital

Kehidupan selebriti di Indonesia kerap menjadi sorotan tajam dari public. Tak hanya dalam hal prestasi profesional mereka, tetapi juga kehidupan pribadi yang seringkali terekspos. Selebriti, sebagai figur publik, sering kali menjadi pusat perhatian media dan masyarakat, bahkan dalam aspek kehidupan sehari-hari. Publik tidak hanya tertarik pada karya seni atau kontribusi profesional mereka, tetapi juga tertarik pada kisah-kisah pribadi, hubungan keluarga, bahkan konflik internal yang mereka hadapi. Fenomena ini semakin diperparah dengan hadirnya media sosial yang memungkinkan siapa saja termasuk selebriti untuk membagikan kehidupan mereka secara langsung kepada pengikut atau khalayak umum. Salah satu contoh yang menonjol dalam beberapa waktu terakhir adalah perseteruan antara Nikita Mirzani dan putrinya, Lolly. Kasus ini menjadi perbincangan luas di media sosial, dan tidak hanya menarik perhatian karena popularitas Nikita Mirzani tetapi juga karena keterlibatan anaknya yang masih di bawah umur.

Konflik ini mulai mengemuka di media sosial ketika Nikita Mirzani secara terbuka membicarakan masalah pribadi dengan putrinya, Lolly. Diketahui bahwa umur Lolly masih 17 tahun sehingga perdasarkan Pasal 1 angka (1) Undang Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (UUPA) Lolly masih dikategorikan sebagai anak karena definisi anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun. Dengan demikian, hubungan antara Nikita Mirzani dengan Lolly tunduk pada UUPA. Dalam konteks hukum, tindakan mempublikasikan informasi pribadi terkait anak di bawah umur dapat menimbulkan masalah serius terkait perlindungan anak dan privasi. Berdasarkan UUPA, setiap anak berhak mendapatkan perlindungan dari eksploitasi dan tindakan yang dapat merugikan mental serta emosional mereka. Pasal 76A UU Perlindungan Anak melarang Tindakan diskriminatif terhadap anak, termasuk melalui media sosial, yang bisa menimbulkan kerugian materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosial anak. Jika informasi pribadi tentang anak yang berpotensi mempengaruhi masa depan mereka dibagikan tanpa izin atau dengan niat yang tidak baik, orang tua atau pihak yang membagikan dapat dianggap melanggar hak-hak anak tersebut.

Sejalan dengan yang dilakukan oleh Nikita Mirzani, Lolly juga melakukan hal yang serupa dengan mengungkapkan konflik pribadi mereka ke ranah publik. Dalam era digital saat ini, media sosial sering digunakan sebagai sarana untuk mengekspresikan opini pribadi. Namun, ketika konflik pribadi atau keluarga diungkapkan secara publik, hal ini dapat memunculkan implikasi hukum khususnya terkait dengan Undang-Undang ITE. Dalam kasus Lolly, pertikaian dengan ibunya yang diungkapkan melalui media sosial dapat menyebabkan dugaan pelanggaran UU ITE jika terdapat elemen pencemaran nama baik atau penyebaran informasi yang merugikan pihak lain.

Pasal 27A jo Pasal 45 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menyebutkan bahwa setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilakukan melalui sistem elektronik dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Jika Lolly, meskipun masih di bawah umur, melakukan tindakan yang melanggar ketentuan ini, maka secara teori ia bisa dikenakan UU ITE. Namun, hukum Indonesia memberikan perlakuan khusus bagi anak di bawah umur.

Lolly, sebagai anak di bawah umur, dilindungi oleh Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Dalam hukum ini, anak-anak di bawah 18 tahun yang terlibat dalam kasus pidana mendapatkan perlakuan yang berbeda dari orang dewasa. Fokus utama dari peradilan pidana anak adalah rehabilitasi, bukan penghukuman. Oleh karena itu, jika Lolly terlibat dalam pelanggaran UU ITE, tindakan yang diambil terhadapnya mungkin lebih bersifat rehabilitatif daripada represif. Dalam hal ini, mekanisme diversi (penyelesaian di luar pengadilan) akan diupayakan terlebih dahulu untuk menyelesaikan konflik secara damai tanpa harus melalui proses peradilan formal. Diversi bertujuan agar anak tidak mendapatkan stigmatisasi sebagai pelaku tindak pidana dan tetap mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki diri.

Jika konflik ini semakin meluas di media sosial dan melibatkan penyebaran informasi yang bersifat fitnah atau merugikan, baik Nikita Mirzani maupun Lolly dapat mengambil langkah hukum terkait pencemaran nama baik berdasarkan Pasal 27A  UU ITE. Dalam konflik keluarga seperti ini, aspek hukum keluarga juga menjadi relevan. Nikita Mirzani sebagai orang tua memiliki hak dan kewajiban dalam mendidik dan melindungi anaknya. Namun, dengan adanya konflik terbuka di media sosial, hal ini dapat mempengaruhi hubungan mereka, termasuk keputusan terkait hak asuh dan kewajiban orang tua terhadap anak. Jika kasus ini berlanjut ke ranah hukum, pengadilan keluarga dapat memutuskan hak asuh anak berdasarkan kepentingan terbaik bagi anak, sesuai dengan Pasal 45 UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974, yang menyatakan bahwa orang tua wajib melindungi dan mendidik anak-anak mereka.

Kasus Lolly dan Nikita Mirzani ini juga menjadi refleksi penting terkait bagaimana orang tua, publik, dan media harus lebih berhati-hati dalam menangani konflik keluarga di era digital. Penting untuk memahami bahwa hukum tidak hanya melindungi privasi individu dewasa, tetapi juga anak-anak yang sering kali menjadi pihak yang paling rentan dalam konflik semacam ini. Di satu sisi, orang tua memiliki hak untuk mendidik dan mengarahkan anak-anak mereka. Namun, penggunaan media sosial sebagai alat untuk mengekspresikan konflik keluarga dapat memiliki konsekuensi hukum dan psikologis yang serius bagi anak. Dalam situasi ini, mediasi dan penyelesaian konflik secara tertutup mungkin merupakan solusi terbaik untuk melindungi kesejahteraan anak.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Indonesia. (2012). Undang-Undang Republik Indonesia nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Lembaran Negara Tahun 2012 Nomor 153 Tambahan Lembaran Negara Nomor 5332

Indonesia. (2014). Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Lembaran Negara tahun 2014 Nomor 297, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5606

Indonesia. (2024). Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Lembaran Negara Tahun 2024 Nomor 1 Tambahan Lembaran Negara Nomor 6905

Arlado, Imron. (2024, September). Kronologi Lengkap Perseteruan Nikita dan Lolly, dari Kasus Perceraian hingga Ini, Radar Mojokerto, https://radarmojokerto.jawapos.com/berita-terbaru/825107216/kronologi-lengkap-perseteruan-nikita-mirzani-dan-lolly-dari-kasus-perceraian-hingga-saat-ini

Widiawati, Ana. (2024, September). Kronologi Nikita Mirzani vs Lolly, Berujung Penjemputan Paksa, IDN Times. https://www.idntimes.com/hype/entertainment/ana-widiawati-1/kronologi-nikita-mirzani-vs-lolly?page=all

Kategori :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *