Pelanggaran Hukum pada Pembayaran QR dan Penegakan Hukumnya di Indonesia

Perkembangan pembayaran digital lewat QR code, mengubah pola transaksi harian masyarakat. Kemudahan ini membawa banyak manfaat karena metode yang dirasa cepat, praktis, dan membuat usaha kecil lebih mudah menerima pembayaran. Namun, sebagaimana teknologi baru lainnya, muncul pula celah yang dimanfaatkan oknum dan melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Bentuk-bentuk penyalahgunaan

Praktik kriminal yang terkait QR umumnya tidak rumit namun dampaknya besar. Meski tampak sederhana, ragam modus ini merugikan banyak pihak, konsumen, merchant, dan lembaga keuangan.

Contohnya:

  • Penggantian QR (fake QR): seseorang menempel atau menukar QR yang asli dengan QR yang mengarahkan dana ke rekeningnya sendiri. Kejadian seperti ini banyak dilaporkan pada kotak amal, warung, dan tenant.
  • Phishing dan social engineering: pelaku mengirim tautan atau gambar QR palsu lewat chat, email, atau media sosial. Korban memindai tanpa curiga dan secara tidak sadar mengirimkan data dan dana.
  • Akun merchant palsu: pembukaan akun merchant dengan dokumen atau identitas palsu sehingga pembayaran yang seharusnya ke pihak lain malah masuk ke pelaku.
  • Pemanfaatan untuk pencucian uang: transaksi mikro berulang melalui QR dapat dipakai untuk menyamarkan asal dana, terutama jika volume besar dilakukan melalui banyak akun.

Berikut adalah beberapa payung hukum yang menaungi:

  • Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
  • Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), sebagaimana diubah dengan UU No. 19 Tahun 2016
  • Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU)
  • Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (jo. perubahannya)
  • Peraturan Bank Indonesia (PBI) terkait Sistem Pembayaran
  • Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK)
  • Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)

Dalam praktiknya, pilihan pasal bergantung pada pola tindakan dan bukti yang tersedia.

Tantangan penegakan

Penindakan terhadap kejahatan QR memiliki hambatan nyata:

  1. Bukti pendukungan. Jejak transaksi tersimpan di banyak entitas: penyedia e‑wallet, bank, switch pembayaran, dan server merchant. Menyatukan data memerlukan koordinasi antar-lembaga dan prosedur hukum yang tepat.
  2. Perdebatan unsur subjektif. KUHP menuntut pembuktian adanya tipu daya dan kerugian. Ketika korban sendiri yang memindai QR atas dasar kelalaian, pembuktian hubungan sebab-akibat tidak mudah.
  3. Kecepatan inovasi dan lambatnya system penyesuaian regulasi. Pelaku sering mengeksploitasi celah teknis yang belum diakomodasi regulasi sehingga penegak hukum perlu keahlian teknis forensik digital.
  4. Keterbatasan dokumentasi putusan. Tidak banyak putusan pengadilan yang terdokumentasi publik mengenai kasus-kasus QR, sehingga preseden hukum belum berkembang kuat.

Praktik penanganan dan bukti

Penanganan yang efektif membutuhkan langkah-langkah teknis dan operasional, diantaranya Adalah pengumpulan log transaksi lengkap, metadata permintaan pembayaran, bukti CCTV, serta keterangan saksi. Chain of custody bukti elektronik harus terjaga agar dapat diterima di persidangan. Selain itu, kerja sama cepat antar institusi, misalnya kepolisian siber, PPATK, bank, dan penyelenggara pembayaran akan mempercepat pelacakan aliran dana.

Respons regulator dan aparat penegak hukum

Bank sentral dan otoritas terkait kerap mengeluarkan imbauan pencegahan serta pedoman operasional. Di lapangan, aparat kepolisian telah menangkap berbagai pelaku yang memodifikasi QR di lokasi umum. Sementara itu, otoritas keuangan bisa memberikan sanksi administratif jika ditemukan kelalaian dalam penerapan prosedur keamanan oleh penyelenggara jasa pembayaran.

Namun, Langkah preventif sama pentingnya dengan penindakan. Peningkatan literasi kepada public, cara memeriksa keaslian QR, berhati‑hati terhadap tautan yang tidak dikenal, dan prosedur pelaporan bila mencurigakan. Hal-hal ini diharapkan akan menurunkan angka pelanggaran hukum.

Rekomendasi

Untuk memperkecil risiko dan memperkuat penegakan, beberapa langkah yang relevan antara lain:

  • Perkuat koordinasi lintas sektor. Membuat protokol standar antara bank, penyelenggara pembayaran, dan aparat penegak agar permintaan data forensik diproses cepat.
  • Standarisasi forensik digital. Prosedur chain of custody untuk bukti elektronik harus diadopsi secara luas agar bukti tidak diragukan di pengadilan.
  • Tingkatkan KYC dan monitoring merchant. Verifikasi identitas merchant secara berkala dan sistem deteksi anomali transaksi real‑time dapat menghentikan akun fiktif lebih awal.
  • Edukasi pengguna. Kampanye sederhana dan konsisten kepada masyarakat tentang praktik aman memindai QR dan cara memeriksa penerima.
  • Transparansi dan dokumentasi kasus. Publikasi ringkasan putusan perkara terkait pembayaran digital membantu membangun preseden dan efek jera.

Penutup

Pembayaran QR adalah kemajuan yang signifikan. Tetapi tanpa upaya proteksi, manfaatnya akan diimbangi kerugian akibat penyalahgunaan. Menggabungkan penguatan regulasi teknis, pengetatan prosedur KYC, kapasitas forensik digital, serta pendidikan publik akan menempatkan pembayaran berbasis QR pada posisi yang lebih aman, baik bagi konsumen maupun pelaku usaha.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *