“Pasien BPJS Dianggap Nomor Dua?” — Mengupas Diskriminasi Pelayanan Kesehatan dan Payung Hukumnya di Indonesia

Ketika Kartu BPJS Menjadi “Label”

Di balik jargon “untuk semua” dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), masih banyak pasien pengguna BPJS Kesehatan yang merasa diperlakukan tidak setara. Dari antrean yang lebih panjang, prosedur yang lebih rumit, hingga pelayanan yang terasa setengah hati—fenomena ini membentuk persepsi bahwa pasien BPJS adalah “kelas dua” di rumah sakit.

Tak sedikit laporan dan keluhan masyarakat yang mengarah pada dugaan diskriminasi pelayanan berdasarkan status pembiayaan. Video viral perawat yang bersikap lebih ramah kepada pasien umum dibanding pasien BPJS pun semakin memperkuat narasi ini. Lantas, apa penyebab di balik fenomena ini? Adakah perlindungan hukum bagi pasien BPJS? Dan bagaimana kasus-kasus nyata di lapangan?

Realitas Diskriminasi Pasien BPJS: Bukan Sekadar Persepsi

Keluhan pasien BPJS datang dari berbagai daerah di Indonesia. Di beberapa rumah sakit, pasien BPJS:

  • Harus antre lebih lama dibanding pasien umum.
  • Mendapat prioritas layanan yang lebih rendah.
  • Diwajibkan menempuh proses administratif yang berbelit.
  • Bahkan ditolak saat dalam kondisi darurat.

Salah satu pemicunya adalah sistem pembayaran berbasis paket (INA-CBGs) yang digunakan BPJS. Karena sistem ini membayar rumah sakit dengan jumlah tetap sesuai diagnosa tanpa memperhitungkan total biaya nyata, banyak fasilitas kesehatan merasa dirugikan saat melayani pasien BPJS. Akibatnya, muncul “resistensi diam-diam” dalam bentuk pelayanan yang tidak optimal.

Namun, diskriminasi dalam pelayanan kesehatan bukan hanya masalah manajemen, tetapi juga masalah etik dan hukum.

Perlindungan Hukum Bagi Pasien BPJS

Hukum di Indonesia telah menjamin hak semua pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan tanpa diskriminasi. Beberapa regulasi penting yang berlaku:

  1. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
  • Pasal 5 : (1) Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses satas sumber daya di bidang kesehatan; (2) Setiap orang mempunyai hak dalma memperoleh pelayanan Kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau; (3) Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan Kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.
  • Pasal 190: Fasilitas kesehatan dilarang menolak pasien dalam keadaan gawat darurat. Pelanggaran bisa dipidana 2 tahun penjara atau denda hingga Rp200 juta. Jika pasien meninggal, hukumannya naik menjadi 10 tahun penjara atau denda Rp1 miliar.
  1. Pasal 174 Ayat (2) Undang-Undang No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, Fasilitas pelayanan kesehatan wajib memberikan layanan medis darurat kepada siapa pun tanpa memandang status jaminan.
  2. PP No. 47 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Perumahsakitan, Melarang perlakuan diskriminatif terhadap pasien, termasuk berdasarkan metode pembiayaan (BPJS, asuransi swasta, atau mandiri).
  3. Permenkes No. 47 Tahun 2018, Pasien tidak boleh dipulangkan kecuali kondisi medisnya memungkinkan. Pemulangan paksa karena status BPJS melanggar hukum.
  4. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Pasal 1367, Pasien dapat mengajukan gugatan atas dasar perbuatan melawan hukum jika mengalami kerugian karena kelalaian fasilitas atau tenaga kesehatan.

Kasus-Kasus Aktual: Ketika Etika Kesehatan Dilanggar

  1. Video Viral Perawat Bedakan Pasien BPJS dan Umum (2023)

Di Puskesmas Lambunu 2, Sulawesi Tengah, tiga tenaga kesehatan membuat konten TikTok yang memperlihatkan perlakuan berbeda: pasien umum disambut ramah, pasien BPJS dicueki. Video ini langsung viral dan memicu kemarahan publik. Ketiga perawat itu kemudian dijatuhi sanksi disiplin dan dirumahkan.

 

  1. Penolakan Pasien Gawat Darurat di Medan dan Padang (2024–2025)

Ombudsman RI menerima laporan tentang pasien BPJS dalam kondisi gawat darurat yang ditolak atau ditunda penanganannya oleh rumah sakit. Beberapa kasus bahkan berujung pada kematian pasien. Ombudsman menyebut hal ini sebagai pelanggaran berat terhadap regulasi dan etika pelayanan medis.

  1. Perawat di Ambon Diskriminatif (Juni 2023)

Tiga perawat kembali viral karena bersikap tidak ramah dan kasar kepada pasien BPJS. PPNI mengecam tindakan ini dan menegaskan bahwa kode etik keperawatan mewajibkan pelayanan yang adil tanpa memandang latar belakang pasien.

Mengapa Diskriminasi Ini Terjadi?

Ada beberapa faktor utama:

  • Ketimpangan tarif: Tarif layanan BPJS melalui skema INA-CBGs sering dianggap tidak mencukupi biaya riil perawatan. Hal ini menimbulkan ketidaksenangan tersirat dari pihak rumah sakit.
  • Stigma internal tenaga kesehatan: Ada pandangan bahwa pasien BPJS ‘lebih repot’ karena urusan administratif dan dianggap kurang “menguntungkan” secara finansial.
  • Kurangnya pengawasan: Meskipun ada regulasi tegas, pengawasan dan penindakan terhadap pelanggaran di lapangan masih lemah.

Upaya dan Solusi: Dari Revisi Regulasi hingga Perubahan Budaya

Untuk mengatasi diskriminasi pelayanan terhadap pasien BPJS, dibutuhkan langkah strategis:

  1. Reformasi Sistem Pembayaran BPJS

Tarif INA-CBGs perlu direvisi agar lebih realistis dan sesuai dengan kebutuhan rumah sakit, sehingga tidak menimbulkan kesenjangan insentif.

  1. Penguatan Pengawasan dan Sanksi

Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan perlu rutin melakukan audit pelayanan dan menerapkan sanksi administratif maupun pidana terhadap fasilitas kesehatan yang melanggar.

  1. Pelatihan Etika Profesi Kesehatan

Tenaga medis harus diberi pelatihan berkala terkait etika profesi, nilai-nilai nondiskriminasi, dan kewajiban hukum terhadap semua pasien.

  1. Saluran Pengaduan yang Efektif

Pasien harus diberi akses mudah untuk melapor jika mengalami diskriminasi. Ombudsman, BPJS, dan Kemenkes perlu menindaklanjuti aduan dengan transparan dan cepat.

Hak Kesehatan adalah Hak Asasi

Pelayanan kesehatan tidak boleh menjadi ajang pembedaan berdasarkan status ekonomi atau metode pembayaran. Pasien BPJS memiliki hak yang sama untuk mendapatkan pelayanan medis yang layak, cepat, dan manusiawi.

Menjadi tenaga kesehatan adalah menjalankan tugas mulia. Namun, kemuliaan itu akan tercoreng jika pelayanan diberikan dengan standar ganda. Dengan perbaikan sistem dan kesadaran kolektif, Indonesia bisa membangun sistem kesehatan yang adil, setara, dan bermartabat untuk semua.

Sumber:

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *