Ketika Kredit Salah Jalan: Side Streaming, Pinjaman Bank, dan Gagal Bayar PT Sritex

PT Sri Rejeki Isman Tbk, atau yang lebih dikenal dengan nama SriTex, merupakan salah satu ikon industri tekstil Indonesia. Didirikan pada tahun 1966 di Solo, Jawa Tengah, perusahaan ini berkembang pesat dari industri kecil keluarga menjadi eksportir tekstil berskala global. Dalam masa kejayaannya, SriTex dikenal luas sebagai salah satu produsen utama seragam militer, tidak hanya untuk kebutuhan dalam negeri, tetapi juga untuk pasar internasional. Keberhasilan SriTex selama bertahun-tahun menjadikannya simbol kebangkitan industri tekstil nasional dan contoh dari keberhasilan bisnis keluarga yang dikelola secara profesional.

Namun, di balik narasi kejayaan tersebut, terdapat realitas yang jauh berbeda. Sejak 2020, tanda-tanda krisis mulai muncul. SriTex tercatat gagal memenuhi kewajiban pembayaran atas utang global bond sebesar USD 150 juta. Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diajukan oleh para kreditur dikabulkan oleh Pengadilan Niaga Semarang. Utang perusahaan yang sebelumnya dianggap masih terkendali, membengkak menjadi sekitar Rp 29,8 triliun. Upaya restrukturisasi pun tidak membuahkan hasil yang diharapkan.

Masalah SriTex tidak berhenti pada aspek keuangan saja. Pada awal 2024, Kejaksaan Agung RI mulai menyelidiki adanya dugaan penyimpangan dalam pemberian kredit kepada SriTex dari beberapa bank nasional, termasuk bank BUMN dan BPD. Kredit yang seharusnya digunakan untuk modal kerja, justru dialihkan untuk pembelian aset-aset pribadi dan pelunasan utang pihak-pihak tertentu yang tidak ada kaitannya dengan kegiatan operasional perusahaan. Proses penyelidikan ini kemudian membuka tabir praktek yang disebut sebagai “side streaming”.

Kejaksaan menetapkan tiga tersangka dalam perkara ini: Direktur Utama SriTex Iwan Setiawan Lukminto, serta dua pejabat dari Bank DKI dan Bank BJB yang diduga terlibat dalam pemberian fasilitas kredit yang menyimpang dari prinsip kehati-hatian. Total kerugian negara yang ditimbulkan ditaksir mencapai Rp 692 miliar. Perusahaan sendiri akhirnya menghentikan operasional secara penuh pada awal 2025. Ribuan pekerja kehilangan pekerjaan, kepercayaan terhadap manajemen perusahaan runtuh, dan industri tekstil domestik terguncang.

Kasus SriTex adalah gambaran konkret bagaimana kelalaian tata kelola perusahaan dan bank dapat berubah menjadi tragedi ekonomi dan hukum berskala besar. Dari sinilah penting untuk memahami konsep side streaming lebih lanjut dan bagaimana hukum Indonesia memandangnya.

Side streaming adalah bentuk penyelewengan yakni nasabah dan/atau anggota koperasi menggunakan dana pembiayaan tidak sesuai dengan tujuan pembiayaan Side streaming dalam dunia keuangan dan pembiayaan merupakan istilah yang merujuk pada penyimpangan penggunaan dana pinjaman dari peruntukan yang disepakati. Secara sederhana, apabila suatu perusahaan menerima kredit dengan tujuan tertentu misalnya modal kerja, pengadaan bahan baku, atau investasi mesin tetapi kemudian menggunakan dana tersebut untuk hal lain yang tidak relevan dengan tujuan tersebut, maka tindakan itu dapat disebut sebagai side streaming.

Istilah ini belum memiliki padanan baku dalam terminologi hukum Indonesia. Namun dalam praktiknya, istilah ini sering digunakan oleh auditor, penyidik, dan praktisi hukum untuk menggambarkan perilaku menyimpang dalam penggunaan dana pembiayaan, baik oleh korporasi maupun oleh individu. Side streaming bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi bisa menjadi indikasi adanya moral hazard yang lebih serius.

Dalam konteks Indonesia, praktik side streaming banyak ditemukan dalam pinjaman perbankan, khususnya ketika pinjaman disalurkan tanpa prosedur due diligence yang ketat. Dana yang disalurkan dengan label modal kerja, bisa saja dialihkan untuk membayar utang lain, membiayai proyek sampingan milik pemilik perusahaan, atau bahkan digunakan untuk kegiatan pribadi. Dalam beberapa kasus, seperti pada SriTex, dana kredit justru digunakan untuk membeli properti atau membayar utang pihak lain yang tidak terkait dengan perusahaan.

Di negara-negara lain, konsep serupa dikenal sebagai misappropriation of funds atau diversion of loan proceeds. Kendati istilahnya berbeda, substansinya tetap sama, yakni penggunaan dana yang menyimpang dari tujuan kontraktual dan merugikan pemberi pinjaman atau kreditur.

Side streaming dapat terjadi karena lemahnya pengawasan internal perusahaan, relasi tidak sehat antara debitur dan pejabat bank, atau adanya kepentingan pribadi yang mengalahkan integritas tata kelola perusahaan. Apabila praktek ini melibatkan bank milik negara atau menyebabkan kerugian publik, maka dampaknya bisa sangat luas dan masuk ke dalam ranah hukum pidana.

Meskipun istilah side streaming belum dikenal secara formal dalam undang-undang, namun kerangka hukum Indonesia memiliki sejumlah ketentuan yang dapat menjerat pelaku praktek ini, baik dalam ranah perdata, pidana umum, maupun pidana khusus.

Pertama, dari sisi hukum perdata. Berdasarkan Pasal 1238 dan Pasal 1243 KUH Perdata, apabila seorang debitur tidak memenuhi isi perjanjian dengan itikad baik, maka ia dianggap wanprestasi. Dalam konteks kredit, jika perusahaan menyepakati penggunaan dana untuk modal kerja tetapi kemudian mengalihkannya untuk tujuan lain, hal itu merupakan bentuk pelanggaran kontrak. Dalam hal ini, kreditur dapat menuntut pengembalian dana, bunga, dan denda sesuai perjanjian.

Kedua, dalam hukum pidana umum. Jika dalam proses pengajuan kredit, debitur memberikan informasi palsu, memalsukan laporan keuangan, atau menyembunyikan fakta material, maka hal itu bisa dijerat dengan Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan dokumen, atau Pasal 378 KUHP tentang penipuan. Unsur pidana muncul ketika terdapat niat untuk memperdaya atau memperkaya diri sendiri dengan cara melanggar hukum.

Ketiga, aspek yang paling relevan dalam kasus SriTex adalah hukum pidana khusus, terutama Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 2 dan 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menyalahgunakan kewenangan dan menimbulkan kerugian keuangan negara, dapat dipidana. Apabila kredit diberikan oleh bank milik negara dan kemudian digunakan tidak sesuai peruntukannya, hingga menimbulkan kerugian negara, maka praktek tersebut memenuhi unsur korupsi.

Terakhir, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) juga dapat dikenakan apabila dana hasil side streaming dialihkan atau disamarkan melalui pembelian aset, transfer ke rekening pihak lain, atau transaksi kompleks lainnya. Pasal 3 dan 4 UU No. 8 Tahun 2010 memberikan landasan bagi penegak hukum untuk membekukan aset dan menelusuri jejak dana secara menyeluruh.

Dengan berbagai ketentuan tersebut, hukum Indonesia sesungguhnya memiliki cukup banyak instrumen untuk menindak side streaming. Namun, tantangan terbesar terletak pada pengawasan, pembuktian niat jahat, dan keberanian lembaga keuangan untuk menindak penyimpangan dari mitra bisnisnya sendiri.

Pertanyaan utama yang sering diajukan adalah: bagaimana cara mengkualifikasi side streaming? Apakah ia hanya pelanggaran kontrak (wanprestasi), tindakan penipuan, atau sudah masuk ke dalam kategori korupsi?

Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu dilakukan analisis berbasis niat (mens rea), struktur hukum, dan akibat yang ditimbulkan. Dalam kasus murni wanprestasi, biasanya debitur hanya gagal memenuhi kewajiban pembayaran karena ketidakmampuan atau kesalahan manajemen usaha. Jika dana kredit masih digunakan untuk usaha, meskipun hasilnya rugi, maka ini tidak serta-merta masuk ke ranah pidana.

Namun, jika dalam proses pengajuan kredit terdapat pemalsuan laporan, manipulasi arus kas, atau rekayasa data keuangan, maka unsur penipuan mulai terbentuk. Apalagi bila ada hubungan tidak wajar antara debitur dan pejabat bank, maka persekongkolan bisa saja terjadi.

Puncaknya adalah ketika dana kredit berasal dari bank milik negara atau melibatkan aset publik, dan penyalahgunaan tersebut menimbulkan kerugian keuangan negara. Dalam kasus seperti inilah, side streaming menjadi bagian dari tindak pidana korupsi. Kasus SriTex menjadi contoh nyata di mana kredit dari bank BUMN dialihkan untuk kepentingan yang tidak sah, merugikan negara hingga ratusan miliar rupiah.

Dengan demikian, side streaming bisa berkembang dari pelanggaran kontraktual menjadi pidana umum, dan akhirnya menjadi pidana khusus. Kategorisasinya sangat tergantung pada niat pelaku, struktur penyimpangan, dan dampaknya terhadap publik.

Kasus SriTex menyadarkan kita bahwa pengawasan terhadap penggunaan dana kredit bukan hanya urusan internal bank atau korporasi. Ini adalah bagian dari sistem hukum yang lebih luas, yang menyangkut kepercayaan publik, kelangsungan industri, dan stabilitas keuangan nasional.

Side streaming adalah gejala dari lemahnya kontrol internal dan buruknya governance. Ketika praktek ini menyebar tanpa pengawasan, maka yang dirugikan bukan hanya pemberi pinjaman, tetapi juga pekerja, investor, dan negara.

Perlu ada reformasi menyeluruh terhadap sistem pemberian kredit, penguatan regulasi, dan penegakan hukum yang tegas. Hanya dengan pendekatan multidisiplin  ekonomi, hukum, dan tata kelola praktik penyalahgunaan semacam ini bisa dicegah dan tidak terulang di masa depan.

DAFTAR PUSTAKA

https://dspace.uii.ac.id/handle/123456789/47166

https://www.robertmhelfend.com/federal-defense/misappropriation-of-funds/

https://mpra.ub.uni-muenchen.de/26930/1/Diversion_of_Loan_Use-who_diverts_and_why.pdf

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *