Selama lebih dari dua dekade, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) menjadi dasar utama dalam penyelesaian sengketa utang-piutang di Indonesia. Meskipun secara umum undang-undang ini masih mampu menjawab kebutuhan hukum pada awal 2000-an, perubahan lanskap ekonomi dan model bisnis global telah menimbulkan tantangan baru yang belum sepenuhnya terakomodasi dalam norma yang berlaku. Ekonomi digital telah mengubah struktur kekayaan perusahaan secara mendasar. Banyak entitas usaha saat ini tidak lagi bertumpu pada aset berwujud seperti tanah atau mesin, tetapi pada kekayaan tidak berwujud (intangible assets) seperti lisensi perangkat lunak, merek dagang, hak cipta, data pengguna, algoritma, dan bahkan aset kripto. Sayangnya, kerangka hukum kepailitan yang ada masih berbasis pada paradigma tradisional, sehingga belum mampu menjawab persoalan pemberesan aset digital yang tidak memiliki bentuk fisik dan sering kali melibatkan yurisdiksi lintas negara.
Syarat Kepailitan dan Ruang Lingkup Harta Pailit
Menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, seorang debitor dapat dinyatakan pailit apabila memiliki dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan kreditornya. Ketentuan ini menjadi dasar sederhana bahwa kepailitan tidak memerlukan pembuktian jumlah utang secara keseluruhan, melainkan cukup adanya satu utang yang telah jatuh tempo dan belum dilunasi. Sementara itu, Pasal 21 Undang-Undang yang sama menentukan bahwa kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan berlangsung. Norma ini memperluas pengertian harta pailit (boedel pailit) sebagai seluruh kekayaan debitor yang menjadi objek pengurusan dan pemberesan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas. Namun, baik Pasal 2 maupun Pasal 21 tidak memberikan batasan atau definisi spesifik tentang apa yang dimaksud dengan “kekayaan” dalam konteks aset digital.
Keterbatasan Pengaturan terhadap Aset Digital dan Kekayaan Tidak Berwujud
Dalam praktiknya, kurator sering menghadapi kesulitan dalam mengidentifikasi, menilai, dan mengelola aset digital milik debitor. Hal ini terjadi karena UU Kepailitan belum menyediakan pedoman mengenai cara menentukan nilai ekonomi dari aset non-fisik, seperti perangkat lunak, lisensi digital, hak kekayaan intelektual, maupun token kripto. Sebagai contoh, lisensi perangkat lunak dan hak cipta digital umumnya tunduk pada klausul perjanjian lisensi yang bersifat pribadi dan tidak dapat dialihkan (non-transferable). Akibatnya, ketika debitor dinyatakan pailit, kurator tidak memiliki dasar hukum yang jelas untuk memindahkan, menjual, atau memonetisasi lisensi tersebut demi kepentingan kreditor.
Selain itu, masalah lain muncul pada aspek yurisdiksi lintas negara. Banyak aset digital tersimpan di server asing atau diatur berdasarkan hukum luar negeri. Karena UU 37/2004 tidak mengenal mekanisme cross-border insolvency, pengadilan niaga di Indonesia tidak memiliki dasar untuk meminta pengakuan atau eksekusi terhadap aset debitor yang berada di luar negeri. Situasi ini menimbulkan ketidakpastian bagi kreditor dan berpotensi mengurangi nilai aset yang dapat dibereskan dalam proses kepailitan.
Perkembangan Regulasi yang Relevan
Seiring berkembangnya ekonomi digital, beberapa regulasi baru mulai memperluas ruang pengaturan terhadap aset non-fisik, meskipun belum terintegrasi dengan hukum kepailitan. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) telah mengakui keberadaan aset keuangan digital, serta mempertegas kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) dalam pengawasan sektor tersebut.
Selanjutnya, Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2024 tentang Peralihan Pengaturan dan Pengawasan Aset Keuangan Digital mengatur perpindahan kewenangan pengawasan aset kripto dan derivatif keuangan dari Bappebti kepada OJK dan BI. Meskipun pengaturan ini memperkuat tata kelola aset digital di sektor keuangan, belum ada ketentuan yang menjelaskan bagaimana aset digital tersebut akan diperlakukan dalam proses kepailitan. Akibatnya, jika debitor yang bergerak di sektor teknologi finansial atau memiliki aset kripto dinyatakan pailit, kurator tidak memiliki pedoman yang jelas untuk memasukkan aset digital ke dalam daftar harta pailit.
Arah Pembaruan dan Relevansi Reformasi Hukum Kepailitan
Perubahan paradigma ekonomi menuntut reformasi substansial terhadap UU Kepailitan dan PKPU, bukan sekadar revisi terminologi. Arah pembaruan yang perlu dilakukan mencakup perluasan definisi harta pailit untuk mencakup aset digital dan kekayaan intelektual, penetapan mekanisme valuasi dan pengalihan aset digital, pembentukan sistem pemberesan berbasis elektronik, serta penguatan kerja sama lintas yurisdiksi untuk menangani aset yang berada di luar wilayah Indonesia. Selain itu, perlu dilakukan peningkatan kapasitas kurator melalui sertifikasi yang relevan dengan pengelolaan aset digital dan sistem keuangan modern. Langkah ini penting agar para profesional kepailitan dapat menilai, mengamankan, dan menjual aset digital dengan cara yang sah dan efisien, tanpa melanggar peraturan mengenai perlindungan data atau hak cipta.
Penutup
Keterbatasan UU Kepailitan dalam menghadapi struktur bisnis modern menunjukkan adanya kesenjangan antara hukum dan realitas ekonomi. Dunia usaha telah berevolusi menuju era digital, namun regulasi yang menjadi dasar penyelesaian utang-piutang masih berorientasi pada ekonomi konvensional. Revisi menyeluruh terhadap Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 menjadi kebutuhan mendesak untuk memastikan bahwa hukum kepailitan di Indonesia dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan ekonomi global.
Dengan memperluas pengaturan mengenai aset digital, memperjelas mekanisme lintas yurisdiksi, dan mengintegrasikan sistem peradilan dengan otoritas keuangan, Indonesia dapat mewujudkan sistem kepailitan yang lebih modern, transparan, dan efektif. Hanya dengan demikian, hukum kepailitan dapat kembali berfungsi sebagai instrumen keadilan ekonomi yang melindungi hak kreditor, memberikan kesempatan restrukturisasi bagi debitor, dan menjaga stabilitas sistem keuangan nasional.
Daftar Pustaka
- Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
- Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.
- Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2024 tentang Peralihan Pengaturan dan Pengawasan Aset Keuangan Digital termasuk Aset Kripto dan Derivatif Keuangan.
- Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia, Isu Krusial Naskah Akademik Perubahan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2024.
- Hukumonline.com, Memperjelas Posisi Aset Kripto dalam RUU PPSK, diakses tahun 2025.
- Hukumonline.com, Pemberesan Harta Pailit Berupa Merek Dagang, diakses tahun 2025.