Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di Jakarta sedang dihadapkan pada sebuah dilema prosesual yang fundamental. Dalam persidangan perkara dugaan suap terkait pengurusan izin usaha di Pemko Medan, Hakim Ketua, Jupriadi, meminta Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menghadirkan Wali Kota Medan, Bobby Nasution. Permintaan ini bukanlah hal biasa. Hakim beralasan bahwa ia membutuhkan “keterangan yang tidak ada di dalam berkas perkara” dari Bobby Nasution, yang statusnya bukan sebagai tersangka dalam perkara ini, melainkan sebagai saksi. Permintaan ini, yang ditolak oleh jaksa dengan alasan Bobby telah diperiksa sebagai saksi dan keterangannya telah tercatat dalam berita acara pemeriksaan (BAP), menyentuh jantung dari sistem peradilan pidana kita: sejauh mana pengadilan dapat mencari kebenaran materiil tanpa melanggar asas-asas hukum acara yang berlaku?
Permintaan Hakim Jupriadi ini merefleksikan tarik-menarik klasik antara asas kebenaran materiil (materiile waarheid) dan kebenaran formil (formele waarheid). Dalam sistem hukum acara pidana Indonesia yang menganut asas pembuktian negatif (negatief wettelijk bewijstheorie), hakim tidak boleh hanya menjadikan alat bukti yang sah dan diajukan di persidangan sebagai satu-satunya dasar putusan. Hakim wajib mencari kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang sesungguhnya. Inilah yang mungkin menjadi landasan pemikiran Hakim Jupriadi. Ia merasa ada “lubang” atau informasi yang hilang dalam berkas perkara yang hanya dapat diisi dengan keterangan langsung dari Bobby Nasution.
Menanggapi permintaan hakim, Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK, Asep Guntur, menunjukkan sikap profesional dan menghormati proses peradilan. Penjelasannya bahwa permintaan menghadirkan saksi di persidangan—termasuk pejabat tinggi—adalah hal yang lumrah untuk menggali kebenaran materiil, mencerminkan pemahaman yang komprehensif terhadap sistem peradilan pidana. Pernyataan ini menunjukkan bahwa KPK memandang permintaan hakim bukan sebagai intervensi, melainkan sebagai bagian integral dari mekanisme checks and balances dalam proses peradilan. Pernyataan kesanggupan untuk menghadirkan Bobby Nasution merefleksikan penghormatan terhadap kewenangan hakim dalam mencari kebenaran materiil (materiile waarheid). Dalam sistem hukum acara pidana Indonesia yang menganut asas pembuktian negatif, hakim memang diberi kewewenangan untuk tidak terpaku hanya pada alat bukti yang diajukan di persidangan, tetapi wajib aktif mencari kebenaran yang sesungguhnya. Inilah yang menjadi landasan permintaan Hakim Jupriadi. Ia merasa ada dimensi tertentu dari kasus ini yang memerlukan kejelasan langsung dari Bobby Nasution.
Posisi Bobby Nasution dalam kasus ini sangatlah sensitif. Sebagai Wali Kota Medan dan besan dari Presiden Joko Widodo, setiap langkahnya selalu menjadi sorotan. Permintaan hakim untuk menghadirkannya otomatis mengangkat profil politik kasus ini. Terdapat dua narasi yang mungkin berkembang. Pertama, narasi bahwa Bobby memang memegang kunci penting untuk mengungkap mata rantai korupsi yang lebih luas, sehingga kehadirannya di persidangan mutlak diperlukan untuk keadilan yang utuh, atau yang kedua, narasi bahwa permintaan ini justru dapat menjadi bumerang, di mana kehadiran seorang figur politik tinggi di persidangan berpotensi mempengaruhi dinamika dan objektivitas proses hukum.
Dinamika permintaan hakim dalam kasus ini justru menemukan titik terang dengan respons kooperatif dari KPK yang menyatakan kesiapan untuk menindaklanjuti permintaan tersebut. Sikap ini merupakan perkembangan positif yang mengubah narasi konfrontatif menjadi kolaboratif dalam ujian kredibilitas ketiga pilar penegak hukum. Bagi KPK, pernyataan kesediaan mereka untuk menghadirkan Bobby Nasution menunjukkan kematangan institusi dalam menyeimbangkan konsistensi pada prosedur baku dengan keluwesan merespons kebutuhan persidangan. Alih-alih bersikukuh pada pendirian formal bahwa Berita Acara Pemeriksaan (BAP) telah lengkap, KPK memilih jalur dialog dengan berkoordinasi dengan pimpinan lembaga untuk memenuhi panggilan pengadilan. Pendekatan ini justru memperkuat kredibilitas KPK di mata publik dan hakim, karena menunjukkan komitmen nyata terhadap pencarian kebenaran materiil tanpa mengorbankan prosedur hukum yang berlaku.
Sementara itu, posisi Kejaksaan melalui JPU-nya kini dapat berperan sebagai jembatan koordinasi yang efektif antara kebutuhan persidangan dan proses penyidikan. Dengan dinyatakannya kesiapan KPK untuk memenuhi permintaan hakim, tekanan pada JPU sebagai pihak yang terjepit antara kewajiban mendukung proses pengadilan dan kesetiaan pada mandat penyidik dapat berkurang. Situasi ini justru membuka ruang untuk sinergi yang lebih solid antara penyidik KPK dan JPU dalam merespons dinamika persidangan. Koordinasi yang terbangun akan memperkuat koherensi sikap dan argumentasi hukum yang disampaikan di persidangan.
Di puncak proses ini, respons positif KPK terhadap permintaan hakim juga memberikan legitimasi yang lebih kuat bagi kewenangan pengadilan dalam mencari kebenaran materiil. Kewenangan hakim untuk menghadirkan saksi tambahan, yang semula berpotensi dipersepsikan sebagai langkah berlebihan, kini mendapatkan justifikasi institusional dari kesediaan KPK sebagai penegak hukum. Hal ini memperkuat posisi pengadilan dalam menjalankan fungsi konstitusionalnya tanpa menimbulkan kesan “mencari-cari” kesalahan. Kredibilitas pengadilan diuji dalam kemampuan memanfaatkan momentum kolaboratif ini untuk menghasilkan pemeriksaan yang komprehensif dan proporsional.
Perkembangan terbaru ini menunjukkan bahwa ketiga lembaga penegak hukum mampu menurunkan ego sektoral dan mengedepankan tujuan bersama menegakkan keadilan. Kebenaran hukum memang bukan titik pasti, melainkan proses yang dibangun melalui argumentasi dan pembuktian yang sah. Dengan kesediaan KPK untuk menindaklanjuti permintaan hakim, proses pembuktian ini justru mendapatkan dimensi yang lebih dalam dan komprehensif. Langkah KPK patut diapresiasi sebagai wujud komitmen pada keadilan substantif yang tidak terbatas pada formalitas prosedural semata. Pada akhirnya, kolaborasi semacam inilah yang dapat memperkuat wibawa hukum di mata masyarakat.
Kebenaran hukum seringkali bukanlah sebuah titik pasti, melainkan sebuah proses yang dibangun melalui argumentasi dan pembuktian yang sah. Permintaan Hakim Jupriadi adalah bagian dari proses itu. Namun, proses tersebut harus dijaga agar tidak jatuh menjadi kontestasi kewenangan yang merusak citra peradilan. Pada akhirnya, tujuan bersama dari semua pihak adalah menegakkan keadilan. Kasus ini menjadi pengingat bahwa dalam upaya mencapai kebenaran materiil, prinsip kepastian hukum dan proporsionalitas proses tidak boleh dikorbankan. Keberanian hakim untuk mencari kebenaran patut dihargai, tetapi keberanian itu harus dibingkai dalam koridor hukum yang menjamin fairness bagi semua pihak, termasuk para terdakwa dan saksi.