Eksplorasi luar angkasa telah mengalami perkembangan pesat sejak dimulainya era antariksa pada pertengahan abad ke-20. Tonggak sejarah pertama terjadi pada tahun 1957 ketika Uni Soviet berhasil meluncurkan satelit buatan pertama, Sputnik 1, yang menandai dimulainya space race antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Kemudian perkembangannya semakin pesat pada dekade 1960 an seperti peluncuran satelit cuaca pertama (1960), manusia pertama di ruang angkasa (Yuri Gagarin, 1961), dan pendaratan pertama di bulan (Neil Armstrong, 1969). Dalam beberapa dekade terakhir, kemajuan teknologi memungkinkan manusia mengirim wahana tak berawak ke planet-planet jauh, mendaratkan robot penjelajah di Mars, serta membangun dan mengoperasikan Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) sebagai pusat penelitian orbit. Selain lembaga pemerintah seperti NASA, ESA, dan Roscosmos, sektor swasta juga mulai berperan besar melalui perusahaan seperti SpaceX, Blue Origin, dan lainnya, yang mempercepat inovasi dan menurunkan biaya peluncuran. Eksplorasi kini tidak hanya bertujuan ilmiah, tetapi juga mencakup potensi ekonomi seperti penambangan asteroid dan rencana kolonisasi Mars, membuka babak baru dalam sejarah hubungan manusia dengan alam semesta.
Seiring dengan pesatnya perkembangan eksplorasi ruang angkasa, urgensi pengaturan hukum luar angkasa menjadi semakin penting untuk menjamin aktivitas yang aman, adil, dan berkelanjutan di luar atmosfer Bumi. Tanpa kerangka hukum yang jelas dan mengikat, potensi konflik antar negara maupun antar pelaku swasta dapat meningkat, terutama terkait klaim kepemilikan sumber daya, penggunaan orbit, serta penanganan sampah antariksa. Untukm itu dibutuhkan hukum dan lembaga yang berfungsi sebagai regulator dan mengurus segala administrasi eksplorasi ruang angkasa. Perkembangan hukum ruang angkasa internasional dimulai ketika Majelis Umum PBB mengesahkan resolusi pertamanya tentang ruang angkasa pada tahun 1958[1]. Ini kemudian diikuti oleh berbagai resolusi Majelis Umum PBB lainnya yang membahas aspek-aspek dasar dari aktivitas luar angkasa. Resolusi yang paling penting adalah Resolusi Majelis Umum PBB No. 1962 tahun 1963[2], yang menjadi dasar pengembangan Outer Space Treaty dengan merumuskan prinsip-prinsip fundamental hukum ruang angkasa. Karena resolusi Majelis Umum PBB tidak bersifat mengikat, fase awal perkembangan hukum ruang angkasa dikenal sebagai tahap soft law (hukum lunak)[3].
Dengan meningkatnya aktivitas di luar angkasa, disadari bahwa norma-norma yang mengikat diperlukan untuk mengatur kegiatan tersebut. Hal ini mengarah pada fase kedua dalam perkembangan hukum ruang angkasa berupa perjanjian internasional yang mengikat, dimulai dengan Outer Space Treaty tahun 1967. Tahun-tahun berikutnya menyaksikan pengembangan empat perjanjian internasional lainnya yang berkaitan dengan aktivitas di ruang angkasa dan benda-benda langit. Seluruh perjanjian ini dirundingkan di bawah naungan Komite PBB untuk Penggunaan Luar Angkasa Secara Damai (United Nations Committee on the Peaceful Uses of Outer Space). Sayangnya, tahap pembuatan perjanjian berakhir pada tahun 1979 tanpa adanya kesepakatan di antara Negara-Negara.[4]
Dengan ditutupnya pintu perjanjian internasional, kembali ke Majelis Umum PBB menjadi satu-satunya pilihan, karena mayoritas dua pertiga sudah cukup untuk mengesahkan resolusi di Majelis Umum PBB. Oleh karena itu, pokok-pokok agenda dipindahkan dari UNCOPUOS ke Majelis Umum PBB, dan pada tahun 1980-an hingga 1990-an, hukum ruang angkasa memasuki tahap ketiga perkembangannya, yang ditandai dengan diadopsinya tiga kumpulan prinsip dan satu deklarasi. Tiga kumpulan prinsip tersebut mencakup: (i) Penyiaran Televisi Langsung,[5] (ii) Penginderaan Jauh Bumi dari Ruang Angkasa[6], dan (iii) Penggunaan Sumber Daya Tenaga Nuklir di Ruang Angkasa[7]. Upaya internasional pada abad ke-20 ditutup dengan Deklarasi Manfaat Ruang Angkasa tahun 1996[8], yang juga dianggap sebagai upaya besar terakhir dalam perkembangan hukum ruang angkasa internasional di bawah naungan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Meskipun Majelis Umum PBB terus mengadopsi resolusi terkait berbagai aspek kegiatan di ruang angkasa pada abad ke-21, efektivitasnya masih sangat dipertanyakan. Pada peringatan lima puluh tahun Traktat Luar Angkasa pada tahun 2017, Majelis Umum PBB juga mengadopsi sebuah Deklarasi untuk menegaskan kembali relevansi prinsip-prinsip yang tercantum dalam Traktat Luar Angkasa, serta perlunya “partisipasi seluas-luasnya terhadap Traktat” tersebut.
Salah satu aspek paling penting yang menjadi perhatian dalam hukum ruang angkasa internasional adalah isu militerisasi ruang angkasa. Penting untuk dicatat bahwa akses ke ruang angkasa telah dimanfaatkan untuk memperoleh keunggulan militer[9]. Baik Uni Soviet maupun Amerika Serikat pada masa Perang Dingin tidak memiliki alasan yang lebih kuat untuk berinvestasi dalam upaya mahal masuk ke ruang angkasa selain demi keuntungan militer, sebuah fakta yang sudah diketahui secara luas. Oleh karena itu, kebutuhan untuk mencegah dampak buruk dari militerisasi ruang angkasa muncul segera setelah dimulainya perlombaan ruang angkasa pada tahun 1950-an.
Sebagai respons terhadap kebutuhan ini, Majelis Umum PBB mengalokasikan resolusi pertamanya mengenai ruang angkasa untuk tujuan penggunaan damai. Resolusi tersebut mengakui kepentingan bersama umat manusia dalam ruang angkasa dan menekankan bahwa ruang angkasa harus digunakan hanya untuk “tujuan damai”. Sambil menegaskan kembali kewajiban sakral negara-negara berdasarkan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, Majelis Umum PBB juga menyerukan kepada negara-negara anggotanya untuk menghindari perluasan persaingan nasional yang ada ke dalam ranah ruang angkasa. Majelis Umum kemudian membentuk Komite Ad Hoc untuk Penggunaan Damai Ruang Angkasa (AdHoc COPUOS) berdasarkan resolusi pertama ini guna mendorong penggunaan ruang angkasa secara damai. Meskipun AdHoc COPUOS mengalami hambatan akibat perbedaan politik, Majelis Umum PBB merespons krisis tersebut dengan membentuk UNCOPUOS sebagai badan permanen[10]. Sejak mulai beroperasi pada tahun 1961, UNCOPUOS telah membentuk dua subkomite: (i) Subkomite Ilmiah dan Teknis; dan (ii) Subkomite Hukum[11].
Kelima traktat yang mengatur aktivitas ruang angkasa dikembangkan oleh UNCOPUOS berdasarkan mandatnya untuk menegakkan penggunaan ruang angkasa secara damai. Persyaratan penggunaan damai ruang angkasa ini dianggap sangat penting, sehingga bahkan setelah pembentukan UNCOPUOS, Majelis Umum PBB terus mengadopsi serangkaian resolusi mengenai pentingnya penggunaan damai ruang angkasa. Dalam konteks norma traktat, Traktat Luar Angkasa dan Perjanjian Bulan memasukkan ketentuan tentang penggunaan damai dan larangan terhadap jenis-jenis senjata tertentu. Kebutuhan untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional ditegaskan dalam kedua perjanjian tersebut melalui mandat untuk mematuhi hukum internasional, termasuk Piagam PBB, dalam pelaksanaan kegiatan di ruang angkasa atau benda langit.
Meskipun kekhawatiran mengenai aktivitas militer di ruang angkasa telah dibahas secara luas dalam hukum ruang angkasa internasional, proses militerisasi ruang angkasa tidak pernah benar-benar dihentikan[12]. Faktanya, militerisasi justru meningkat seiring waktu, ditandai dengan pembentukan pasukan ruang angkasa di berbagai negara.
Ketentuan dalam traktat-traktat ruang angkasa tidak dipatuhi sebagaimana mestinya, dan negara-negara secara terang-terangan menunjukkan bahwa mereka terus memanfaatkan ruang angkasa untuk keuntungan militer. Aspek paling krusial yang menyebabkan ketidakpatuhan ini adalah penggunaan bahasa yang longgar dalam Traktat Luar Angkasa. Misalnya, larangan terhadap senjata dalam traktat tersebut hanya mencakup senjata nuklir dan senjata pemusnah massal. Senjata konvensional atau alat perang modern, seperti senjata laser atau serangan siber, tidak disebutkan secara eksplisit dalam larangan pada Pasal IV. Dalam konteks Perang Rusia–Ukraina yang sedang berlangsung, besarnya kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh penggunaan senjata-senjata ini di ruang angkasa menjadi semakin nyata.
Daftar Pustaka
[1] UNGA Res 1348 (XII) (13 December 1958).
[2] UNGA Res 1962 (XVIII) (13 December 1963).
[3] Bin Cheng, ‘United Nations Resolutions on Outer Space: “Instant” International Customary Law’ (1965) 5(1) IJIL 23.
[4] Nandasiri Jasentuliyana, ‘Treaty Law and Outer Space: Can the United Nations Play an Effective Role?’ (1986) XI AnnAir&SpaceL 219, 224–25.
[5] Principles Governing the Use by States of Artificial Earth Satellites for International Direct Television Broadcasting, UNGA Res 37/92 (10 December 1982).
[6] Principles Relating to Remote Sensing of the Earth from Outer Space, UNGA Res 41/65 (3 December 1986).
[7] Principles Relevant to the Use of Nuclear Power Sources in Outer Space, UNGA Res 47/68 (14 December 1992).
[8] Declaration on International Cooperation in the Exploration and Use of Outer Space for the Benefit and in the Interest of All States, Taking into Particular Account the Needs of Developing Countries, UNGA Res 51/122 (13 December 1996).
[9] Mircea Mateesco-Matte, ‘Space Militarisation and Space Law at a Time of Non-Peaceful Coexistence’ (1984) IX AnnAir&SpaceL 355, 364.
[10] See Philip C Jessup and Howard J Taubenfeld, ‘The United Nations Ad Hoc Committee on the Peaceful Uses of Outer Space’ (1959) 53(4) AJIL 87.
[11] UNGA Res 1472 (XIV) (12 December 1959).
[12] See Ryan M Esparza, ‘Event Horizon: Examining Military and Weaponization Issues in Space by Utilizing the Outer Space Treaty and the Law of Armed Conflict’ (2018) 83(2) JAirL&Com 333.