Media sosial kini telah menjadi ruang publik yang paling bebas tempat setiap orang bisa berbicara, berpendapat, bahkan mengkritik.
Namun, di tengah derasnya arus komentar dan opini, sering kali kita lupa bahwa kebebasan berekspresi tidak berarti kebebasan tanpa batas. Dalam konteks hukum, kata-kata yang kita tulis di dunia maya tetap dapat menimbulkan konsekuensi nyata di dunia nyata.
Dasar Hukum Fitnah di Media Sosial
Dalam konteks hukum positif Indonesia, ada dua regulasi utama yang sering digunakan untuk menjerat pelaku fitnah atau pencemaran nama baik di media sosial:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):
- Pasal 310 KUHP menyebut bahwa barang siapa menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal agar diketahui umum, dapat dipidana karena pencemaran.
- Pasal 311 KUHP menegaskan bahwa jika tuduhan tersebut tidak dapat dibuktikan kebenarannya, pelaku dapat dikenai pidana fitnah.
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), sebagaimana diubah dengan UU No. 19 Tahun 2016:
- Pasal 27 ayat (3) melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang memuat penghinaan atau pencemaran nama baik.
- Pasal 45 ayat (3) menetapkan sanksi pidana penjara maksimal 4 tahun atau denda paling banyak Rp750 juta.
Dari sini terlihat bahwa media sosial tidak kebal hukum. Setiap komentar, unggahan, atau pesan yang bersifat publik bisa dianggap sebagai tindakan hukum apabila memenuhi unsur-unsur tindak pidana.
Kritik Boleh, Fitnah Tidak
Perlu dibedakan antara kritik dan fitnah.
Kritik berfokus pada perilaku, kebijakan, atau tindakan seseorang, dengan tujuan perbaikan. Sementara fitnah menyerang pribadi, menuduh tanpa bukti, atau menyebarkan informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Misalnya:
“Pelayanan instansi X lambat dan tidak transparan” → termasuk kritik.
“Petugasnya malas dan korup semua” → berpotensi menjadi fitnah.
Kritik adalah bagian dari demokrasi; fitnah adalah pelanggaran terhadap kehormatan.
Dunia Maya, Hukum Nyata
Kesalahan umum di media sosial adalah menganggap dunia digital berbeda dari dunia nyata. Padahal, setiap pernyataan yang diunggah ke publik memiliki kekuatan hukum yang sama seperti ucapan di depan umum.
Sebuah komentar yang diunggah di X (Twitter), Instagram, atau TikTok dapat disimpan, disebarkan ulang, dan digunakan sebagai barang bukti. Inilah yang membuat banyak kasus “komentar iseng” berujung pada proses hukum.
Bijak Berucap di Dunia Digital
Media sosial telah memberi kita suara, tapi juga memperbesar tanggung jawab kita atas kata-kata yang diucapkan. Karena itu, penting untuk selalu berhati-hati dan menahan diri sebelum menulis komentar atau menyebarkan informasi yang belum pasti kebenarannya.
Prinsip sederhananya:
“Tulis hanya hal yang berani kamu pertanggungjawabkan di dunia nyata.”
Dengan kesadaran ini, kebebasan berekspresi dapat berjalan seiring dengan penghormatan terhadap hak orang lain dan ruang digital tetap menjadi tempat yang sehat bagi diskusi publik.
Penutup: Kata yang Menjadi Senjata
Di dunia digital, batas antara ekspresi dan eksposur begitu tipis. Kita bisa viral karena inspirasi, tapi juga bisa viral karena fitnah. Dan dalam banyak kasus, yang membedakan hanyalah niat dan kehati-hatian.
Hukum tidak melarang berbicara. Hukum hanya mengingatkan bahwa setiap kata memiliki konsekuensi. Ketika jari menekan tombol “post”, sebenarnya kita sedang menandatangani “perjanjian tanggung jawab” atas setiap kata yang kita sebarkan.
Jadi sebelum menulis komentar di media sosial, berhentilah sejenak dan tanyakan pada diri sendiri:
“Apakah kata-kata ini membangun, atau justru melukai?”
Karena di era digital, kata bisa jadi alat perubahan, tapi juga bisa jadi senjata yang menjerumuskan. Bijaklah sebelum berbicara, di mana pun, termasuk di dunia maya.
Referensi:
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28E dan Pasal 28J.
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 310 dan 311.
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebagaimana diubah dengan UU No. 19 Tahun 2016, Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 45 ayat (3).
- Surat Keputusan Bersama Menteri Kominfo, Jaksa Agung, dan Kapolri No. 229/2021 tentang Pedoman Implementasi UU ITE.
- Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 1372/Pid.Sus/2019/PN.Mdn.
- Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). “Kebebasan Berekspresi dan UU ITE di Indonesia.” (2022).
Kominfo RI. Pedoman Etika Digital Nasional. (2023).