Hakim harus bertindak secara independen dan objektif dalam menjalankan tugasnya. Keputusan Hakim haruslah didasarkan pada analisis yang adil dan tidak memihak, tanpa adanya pengaruh dari pihak manapun. Prinsip ini menegaskan bahwa setiap kasus harus dipertimbangkan secara individual, tanpa adanya diskriminasi atau preferensi terhadap pihak tertentu. Tidak ada alasan yang sah bagi Hakim untuk menolak kasus. Dalam kasus ketidaklengkapan atau ketidakjelasan hukum, Hakim bertanggung jawab untuk melakukan interpretasi hukum.[1] Hakim diperbolehkan menggunakan prinsip-prinsip hukum yang tidak tertulis untuk mengambil keputusan dalam perkara kasus yang sedang terlaksana.[2] Perlindungan terhadap kebebasan Hakim dari campur tangan pihak eksternal merupakan aspek penting dalam menjaga integritas sistem peradilan.[3] Sebagai penjaga keadilan, Hakim berperan sebagai penentu dalam penyelesaian sengketa di pengadilan. Namun, pengadilan seringkali menjadi tempat yang rentan terhadap konflik, karena banyak pihak yang mungkin tidak puas dengan keputusan yang diambil oleh Hakim. Akibatnya, ada kemungkinan terjadinya tindakan yang merugikan reputasi atau wibawa pengadilan, yang dikenal sebagai contempt of court. Oleh karena itu, penting untuk memperkuat perlindungan terhadap independensi Hakim agar dapat menjalankan tugasnya tanpa adanya tekanan atau campur tangan yang tidak sah dari pihak eksternal.
Konsep contempt of court memiliki akar historis yang mendalam dalam tradisi hukum Inggris dan negara-negara dengan sistem common law. Asal-usulnya dapat ditelusuri kembali ke abad pertengahan, ketika raja-raja Inggris memerintah dengan kekuasaan yang dianggap setara dengan hak-hak seperti Tuhan. Pada masa itu, raja dianggap sebagai wakil Tuhan di dunia dan bertanggung jawab hanya kepada Tuhan. Oleh karena itu, setiap tindakan yang dianggap sebagai perlawanan atau penghinaan terhadap otoritas raja dipandang sebagai pelanggaran serius yang layak mendapatkan hukuman langsung dari raja, bukan dari lembaga kerajaan.bahwa semua orang harus patuh kepada raja sebagai otoritas tertinggi. Raja dianggap sebagai sumber hukum dan keadilan, dengan kekuasaan yang didelegasikan kepada para pejabatnya. Oleh karena itu, contempt of court dipandang setara dengan “penghinaan terhadap Raja”. Pernyataan ini didukung oleh ahli hukum Inggris pada tahun 1260, Bracton, yang menyatakan bahwa
“ʺThere is no greater crime than contempt and disobedience, for all person ought to be subject to the king as supreme and to his officerʺ.[4]
Pernyataan ini menyatakan bahwa penghinaan dan ketidakpatuhan terhadap otoritas tertinggi, yaitu raja, dianggap sebagai kejahatan paling berat. Hal ini karena raja dipandang sebagai sumber hukum dan keadilan, serta pemegang otoritas tertinggi yang kekuasaannya diwakilkan kepada para pejabatnya. Oleh karena itu, menghina atau tidak mematuhi raja adalah pelanggaran serius yang merusak tatanan dan stabilitas hukum yang diwakili oleh raja.
Di Indonesia, istilah “contempt of court” baru dikenal pada tahun 1985 ketika diundangkannya Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Contempt of court mengacu pada perilaku yang dapat merendahkan wibawa dan integritas pengadilan. Hal ini penting untuk memastikan bahwa pengadilan dapat menjalankan fungsinya tanpa gangguan dan dengan otoritas penuh. Tindakan yang termasuk contempt of court dapat berupa perilaku yang mengganggu proses peradilan, seperti tidak mematuhi perintah pengadilan, mengintimidasi saksi, atau melakukan tindakan yang merendahkan hakim atau lembaga peradilan itu sendiri.
Menurut Black’s Law Dictionary, contempt of court adalah setiap tindakan yang dianggap mempermalukan, menghalangi, atau merintangi fungsi peradilan dari lembaga pengadilan. Selain itu, contempt of court juga mencakup segala tindakan yang dapat mengurangi kewibawaan atau martabat pengadilan. Tindakan tersebut dilakukan oleh seseorang yang secara sengaja menentang atau melanggar otoritas pengadilan, atau mencoba menggagalkan tugas peradilan. Hal ini juga mencakup tindakan oleh pihak yang terlibat dalam suatu perkara yang dengan sengaja tidak mematuhi perintah sah dari pengadilan.[5] Hukum Indonesia mengadopsi prinsip-prinsip yang mirip dengan yang ada dalam tradisi hukum common law, di mana penghinaan terhadap pengadilan dianggap sebagai pelanggaran serius yang dapat dikenai sanksi yang tegas untuk menjaga kewibawaan dan fungsi pengadilan.
Dari berbagai pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa tindak pidana contempt of court dapat dilakukan oleh siapapun, baik yang terlibat dalam proses perkara maupun tidak, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Tindakan tersebut bisa dilakukan secara aktif atau pasif, dan tujuannya adalah untuk mempermalukan kewibawaan dan martabat pengadilan, atau untuk merintangi pejabat pengadilan dalam menjalankan peradilan. Penghinaan terhadap pengadilan dianggap sebagai ancaman serius terhadap otoritas hukum yang harus ditangani dengan tegas. Seperti halnya penghinaan terhadap raja pada masa lalu yang dapat merusak legitimasi dan stabilitas kekuasaan, contempt of court pada masa kini dapat mengancam legitimasi dan fungsi efektif pengadilan. Oleh karena itu, perlindungan terhadap otoritas yudisial tetap menjadi aspek kritis dalam sistem hukum modern untuk menjaga keadilan dan ketertiban. Dengan mengambil langkah-langkah yang tegas terhadap tindakan contempt of court, sistem peradilan dapat memastikan bahwa proses peradilan berjalan dengan lancar, adil, dan efisien untuk kepentingan masyarakat secara keseluruhan.
Penjelasan Umum butir 4 Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dijelaskan bahwa untuk menjamin penyelenggaraan peradilan yang adil dan sesuai dengan prinsip Pancasila, diperlukan undang-undang yang mengatur penindakan terhadap perbuatan, tingkah laku, sikap, atau ucapan yang dapat merendahkan dan merongrong kewibawaan, martabat, dan kehormatan badan peradilan, yang dikenal sebagai contempt of court. Dari penjelasan ini, dapat dipahami bahwa pengertian contempt of court terutama menyangkut wibawa, martabat, dan kehormatan badan peradilan. Namun, karena lembaga peradilan adalah suatu entitas abstrak, maka wibawa, martabat, dan kehormatan tersebut pada akhirnya akan merujuk pada tiga hal berikut:
- Manusia yang bertanggung jawab dalam menjalankan lembaga peradilan, seperti hakim, jaksa, pengacara, dan petugas administrasi.
- Hasil keputusan dan tindakan yang dihasilkan oleh lembaga peradilan, termasuk putusan hakim dan proses hukum yang dilakukan.
- Proses kegiatan dari lembaga peradilan itu sendiri, seperti proses pengadilan, penyelidikan, dan penyelesaian sengketa.
Maka dari itu jika terdapat perbuatan atau tindakan yang ditujukan terhadap tiga aspek tersebut di atas, maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai contempt of court. Ini menegaskan bahwa perlindungan terhadap kewibawaan, martabat, dan kehormatan lembaga peradilan sangat penting untuk menjaga integritas dan efektivitas sistem peradilan dalam menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan prinsip Pancasila. Pengertian contempt of court di Indonesia tidak hanya mengacu pada tindakan yang langsung merugikan lembaga peradilan, tetapi juga mencakup segala tindakan yang dapat mengganggu integritas, kewibawaan, atau martabat lembaga tersebut, baik itu dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini menunjukkan pentingnya menjaga kehormatan dan otoritas lembaga peradilan sebagai landasan bagi penegakan hukum yang adil dan berkeadilan.
Bertolak pada uraian di atas penjelasan di atas, konsep contempt of court yang telah berkembang dari masa ke masa di Indonesia akan dianalisis lebih mendalam dengan tujuan supaya memberikan wawasan mengenai pentingnya menjaga integritas dan kewibawaan lembaga peradilan serta bagaimana hukum di Indonesia beradaptasi untuk menghadapi tantangan dan dinamika yang terus berubah dalam proses peradilan.
Evolusi Konsep Contempt of Court di Indonesia
Pada Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Mahkamah Agung Republik Indonesia di Manado, Sulawesi Utara, pada tahun 2012, pembentukan Undang-Undang (UU) tentang Contempt of court menjadi salah satu topik utama yang dibahas.[6] Para peserta Rakernas menyepakati bahwa Mahkamah Agung (MA) sebaiknya merekomendasikan dan mendorong pembentukan UU Contempt of court. Kesepakatan tersebut muncul dari kesadaran akan pentingnya melindungi hakim dan lembaga peradilan lainnya dari campur tangan atau ancaman eksternal yang dapat mempengaruhi independensi hakim. Selain itu, pembentukan UU Contempt of court dianggap sebagai bagian dari upaya untuk memperkuat kekuasaan kehakiman yang independen, berwibawa, dan berintegritas. Dilihat dari perspektif sejarah, diskusi mengenai UU Contempt of court bukanlah hal baru. Bahkan, diskusi ini telah dimulai sejak tahun 1978 dalam konferensi tingkat tinggi para ketua MA Negara Asia Pasifik.[7] Pada saat itu, beberapa negara seperti India, Filipina, dan Pakistan membahas perlunya pengaturan khusus mengenai Contempt of court untuk menghormati independensi kehakiman. Meskipun pada saat itu Indonesia belum memiliki regulasi yang khusus mengenai Contempt of court, namun ketika UU No. 14 Tahun 1985 tentang MA disahkan, istilah Contempt of court diperkenalkan pertama kali dalam Penjelasan Umum Pasal 4 UU tersebut. Hal ini menunjukkan peran penting yang dimainkan oleh MA dalam memperkenalkan dan mengakomodasi konsep tersebut dalam konteks hukum nasional.
Sesudah UU tentang Mahkamah Agung disahkan, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) menggelar Rapat Kerja Nasional (Rakernas) pada tahun 1986. Salah satu topik utama yang dibahas adalah pembentukan UU tentang Contempt of court, sebagaimana yang diamanatkan oleh Penjelasan Umum UU Mahkamah Agung. Dalam diskusi tersebut, terdapat tiga pandangan utama yang disoroti:[8]
- Pentingnya mengatur Contempt of court dalam sebuah UU, sebagai langkah yang dianggap penting untuk menjaga integritas dan otoritas peradilan. Pengaturan yang jelas dianggap perlu guna menjamin perlindungan terhadap proses peradilan dan independensi hakim.
- Sebagian pihak berpendapat bahwa pengaturan mengenai Contempt of court tidaklah mendesak, dan cukup dilaksanakan melalui ketentuan yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Meskipun demikian, pandangan ini juga mengakui kemungkinan adanya perkembangan di masa mendatang yang mungkin membutuhkan pengaturan lebih lanjut.
- Terdapat pandangan yang menolak perlunya pengaturan mengenai Contempt of court dalam sebuah UU. Mereka berpendapat bahwa masalah utama bukanlah Contempt of court itu sendiri, melainkan lebih pada aspek moral dan etika dari aparat pengadilan, termasuk ketaatan terhadap kode etik yang berlaku.
Diskusi ini mencerminkan kompleksitas dan beragamnya pandangan terkait perlunya pengaturan khusus mengenai Contempt of court dalam konteks peradilan di Indonesia.
Diskusi tentang pembentukan undang-undang tentang Contempt of court kembali menjadi topik utama, dipicu oleh perdebatan antara pihak yang mendukung dan menentang. Usulan ini muncul dalam Prolegnas periode 2005-2009 dengan nama usulan “RUU tentang Tindak Pidana Terhadap Penyelenggaraan Peradilan.” Selain itu, dalam RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Contempt of court diatur dalam satu bab tersendiri. Hal ini tercermin dari keprihatinan akan menurunnya wibawa dan martabat lembaga peradilan, bahkan sampai pada titik delegitimasi terhadap kekuasaan kehakiman. Ruang sidang dan hakim sering kali menjadi sasaran amukan massa tidak puas dengan putusan, sedangkan pemberitaan media kadang menciptakan opini yang mempengaruhi keputusan pengadilan. Dalam konteks ini, pranata Contempt of court diatur dalam UU tersendiri dinilai penting untuk melindungi hakim dan lembaga peradilan, serta kepentingan hukum justitiabelen. Namun, ada pandangan lain yang menolak perlunya UU baru karena dianggap substansinya sudah diatur dalam perundang-undangan yang ada, seperti KUHP. Mereka juga mengkhawatirkan adanya tumpang tindih peraturan dan ketidakjelasan dalam mengatur Contempt of court baru, yang dapat memunculkan masalah baru dan tidak konsisten dengan sistem peradilan yang ada.
Pada 21 November 2016, Pemerintah dan DPR memasuki pembahasan tentang Tindak Pidana Terhadap Proses Peradilan, atau yang biasa disebut Contempt of court, dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Dalam pembahasan ini, Muladi, yang mewakili pemerintah, menjelaskan bahwa konsep dalam BAB VI tersebut lebih luas dari sekadar Contempt of court (CoC). Konsep ini mencakup ketentuan terkait pengabaian perintah pengadilan, penghinaan terhadap hakim dan integritas peradilan, Trial by Press, serta perlakuan tidak sopan di muka sidang. Tujuan pengaturan ini adalah melindungi proses peradilan dan bersifat futuristik. Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan pasal-pasal yang dapat menghambat kebebasan berekspresi, berpendapat, dan kebebasan pers. Salah satu hal penting dalam proses pembahasan adalah terkait Pasal 328 RKUHP, yang mengatur tentang gangguan terhadap proses peradilan. Pasal ini dianggap tidak jelas karena rumusannya yang sangat luas. Penilaian terhadap gangguan tersebut juga dapat bersifat subjektif. Terdapat perdebatan tentang siapa yang akan menilai adanya gangguan, serta apakah gangguan tersebut berasal dari tuntutan respon atau perilaku dari aparat penegak hukum itu sendiri. Para pembahas, termasuk Ketua Panja Benny K Harman dari F-Demokrat, mempertanyakan kejelasan pasal tersebut dan menyoroti subjektivitas dalam menentukan apakah suatu tindakan dapat dianggap mengganggu proses peradilan.
Pada tanggal 17 Desember 2019, DPR dan pemerintah mengusulkan RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sebagai langkah besar dalam mereformasi hukum pidana Indonesia menuju negara hukum yang demokratis. Proses pembahasan ini melibatkan partisipasi aktif dari berbagai pihak, termasuk masyarakat, akademisi, dan praktisi hukum, untuk memastikan RUU tersebut mencerminkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat serta menghasilkan hukum pidana yang khas Indonesia. Melalui proses pembahasan yang berlangsung, muatan RUU tentang KUHP mengalami pergeseran paradigma, tidak lagi hanya fokus pada efek jera dan pembalasan, tetapi juga menitikberatkan pada keadilan restoratif. Adanya perbaikan dalam rumusan norma pasal dan penjelasannya bertujuan untuk menghindari kriminalisasi berlebihan dan tindakan sewenang-wenang dari penegak hukum. Beberapa isu krusial dibahas dalam proses pembahasan, termasuk living law, pidana mati, penyerangan terhadap harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden, serta contempt of court. Debat mengenai isu-isu ini mencerminkan dinamika demokrasi dan upaya mencari jalan tengah dalam penyelesaiannya.Pada tanggal 6 Desember 2022, setelah melalui proses yang cukup panjang, DPR dan pemerintah menyepakati RUU tersebut menjadi Undang-Undang. Selanjutnya, pada tanggal 2 Januari 2023, Presiden menetapkan UU No.1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), menandai penyelesaian dari proses pembahasan dan penetapan RUU menjadi hukum yang berlaku.[9]
Pergeseran paradigma dalam muatan RUU tentang KUHP dari fokus pada efek jera dan pembalasan menuju keadilan restoratif mencerminkan upaya untuk memperbaiki sistem peradilan pidana yang lebih berorientasi pada pemulihan dan rekonsiliasi daripada hukuman semata. Namun, dampak dari penetapan RUU tersebut sebagai Undang-Undang, terutama dalam hal contempt of court, bisa menjadi subjek perdebatan. Penegakan hukum terhadap contempt of court sangat sensitif karena menyangkut kredibilitas dan independensi badan peradilan. Dengan adanya perubahan dalam rumusan norma pasal dan penjelasannya yang bertujuan untuk menghindari kriminalisasi berlebihan dan tindakan sewenang-wenang dari penegak hukum, diharapkan dapat mengurangi risiko penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia dalam penegakan hukum contempt of court. Dampak bagi masyarakat dari perubahan ini adalah adanya harapan untuk sistem peradilan yang lebih transparan, adil, dan berkeadilan. Namun, tantangan tetap ada dalam memastikan implementasi yang efektif dari Undang-Undang tersebut, serta perlindungan terhadap hak asasi individu dalam konteks penegakan hukum contempt of court. Oleh karena itu, penting untuk terus memantau dan mengevaluasi implementasi Undang-Undang tersebut guna memastikan bahwa tujuan reformasi hukum pidana yang diamanatkan tercapai secara efektif dan memadai bagi kepentingan masyarakat.
Perbandingan antara pasal-pasal yang mengatur mengenai perilaku di dalam pengadilan dan mengenai penghinaan terhadap penguasa atau badan umum, terdapat beberapa perbedaan yang mencolok, terutama terkait dengan sifat dan konsekuensi dari pelanggaran tersebut. Pertama, Pasal 279 KUHP 2023 mengatur mengenai perilaku yang mengganggu proses peradilan, yaitu membuat gaduh di dekat ruang sidang pengadilan atau dalam sidang pengadilan sendiri. Sanksi yang diberikan adalah pidana denda paling banyak kategori I atau pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan, tergantung pada keadaan. Sementara itu, Pasal 207 KUHP 1999 mengatur tentang penghinaan terhadap penguasa atau badan umum di muka umum dengan lisan atau tulisan. Konsekuensi pelanggaran dalam hal ini adalah pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda. Perbedaan utama terletak pada subjek yang terlibat dan jenis pelanggaran yang diatur. Pasal 279 KUHP 2023 lebih menitikberatkan pada melanggar tata tertib dan keteraturan dalam proses peradilan, sementara Pasal 207 KUHP 1999 menyangkut penghinaan terhadap penguasa atau badan umum yang berkaitan dengan kehormatan dan otoritas publik. Pasal 279 KUHP 2023 secara langsung mengatur perilaku yang mengganggu jalannya peradilan, yang dapat dianggap sebagai sebuah penghinaan terhadap pengadilan. Sementara itu, Pasal 207 KUHP 1999 lebih berfokus pada penghinaan terhadap penguasa atau badan umum di luar konteks pengadilan. Meskipun keduanya menyangkut perbuatan yang merendahkan atau merugikan kehormatan suatu institusi, perbedaan konteks dan jenis pelanggaran dapat menghasilkan pertimbangan hukuman yang berbeda.
Menurut Luhut M.P. Pangaribuan dalam bukunya tentang “Advokat dan Contempt of court“, ia membagi contempt of court menjadi dua klasifikasi utama: langsung dan tidak langsung, serta bersifat pidana atau perdata tergantung pada kejadian yang terjadi. Contempt of court yang bersifat tidak langsung, menurutnya, lebih sering dilakukan oleh wartawan. Luhut menjelaskan bahwa dalam konteks perilaku yang bisa diklasifikasikan sebagai contempt of court, baik langsung maupun tidak langsung, bersifat pidana atau perdata, hakim memiliki kewenangan yang cukup besar berdasarkan KUHP dan KUHAP. Menurutnya, Pasal 218 KUHAP memberikan hakim kewenangan untuk menindak pelanggaran tata tertib di pengadilan, dengan ancaman hukuman tiga minggu penjara sebagaimana diatur dalam Pasal 217 KUHP. Pasal 218 KUHAP sendiri menegaskan bahwa setiap orang diharuskan menunjukkan sikap hormat terhadap pengadilan. Jika seseorang menunjukkan sikap yang merendahkan pengadilan dan tidak mematuhi tata tertib setelah diberi peringatan oleh hakim, maka hakim dapat mengeluarkannya dari ruang sidang. Jika pelanggaran tata tertib tersebut juga termasuk dalam tindak pidana, maka pelaku dapat dituntut.[10]
Perkembangan historis contempt of court di Indonesia telah melalui berbagai fase yang mencerminkan evolusi sistem hukum dan peradilan di negara ini. Seiring dengan perubahan perundang-undangan dan perkembangan masyarakat, konsep dan implementasi contempt of court telah mengalami perubahan signifikan. Pada awalnya, konteks hukum pidana Indonesia tidak secara khusus mengatur tentang contempt of court. Namun, perdebatan mengenai perlindungan terhadap independensi dan otoritas pengadilan telah muncul sejak awal pembentukan sistem peradilan modern di Indonesia. Diskusi tentang perlunya pengaturan yang lebih khusus terhadap perilaku yang mengganggu proses peradilan telah muncul sejak tahun-tahun awal pembentukan undang-undang di Indonesia. Pada tahun 1985, dengan disahkannya Undang-Undang No. 14 tentang Mahkamah Agung, Indonesia secara resmi mengakui dan mengatur contempt of court dalam konteks hukumnya. Pengaturan ini menjadi landasan bagi perlindungan terhadap independensi dan kewibawaan pengadilan di Indonesia. Namun, pengaturan mengenai contempt of court masih terus mengalami perubahan dan penyesuaian seiring dengan perkembangan hukum dan tuntutan zaman. Salah satu tonggak penting dalam sejarah perkembangan contempt of court di Indonesia adalah pembahasan RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada tahun 2023. Dalam KUHP 2023 ini, terdapat penekanan yang lebih kuat pada melanggar tata tertib dan keteraturan dalam proses peradilan, sebagai bentuk perlindungan terhadap integritas dan otoritas pengadilan. Dengan adanya regulasi yang lebih spesifik dan terperinci, diharapkan bahwa sistem hukum Indonesia dapat lebih efektif dalam menangani kasus-kasus contempt of court dan memastikan keadilan terwujud dalam proses peradilan.
Kesimpulan
Contempt of court dalam sistem peradilan Indonesia terus berkembang, dimulai dari pembahasan di Tahun 1985 terkait Undang-Undang Mahkamah Agung hingga reformasi regulasi yang kini spesifik diatur dalam KUHP 2023menunjukkan komitmen untuk melindungi integritas dan otoritas lembaga peradilan, serta menjaga ketertiban dan keamanan dalam proses peradilan. Meskipun demikian, tantangan dalam implementasi dan perlindungan hak asasi individu tetap ada, terutama terkait dengan kebebasan berekspresi dan pers. Proses pembahasan KUHP 2023 menjadi momen penting dalam sejarah contempt of court di Indonesia, menandai perubahan paradigma menuju keadilan restoratif dan upaya untuk menghindari kriminalisasi berlebihan. Peran hakim dalam menegakkan tata tertib pengadilan, terutama melalui Pasal 218 KUHAP, menjadi penting dalam memastikan integritas proses peradilan. Pengaturan mengenai contempt of court dalam hukum acara peradilan Indonesia, melalui Pasal 279 dan 280 KUHP 2023, berperan vital dalam melindungi integritas dan otoritas lembaga peradilan serta menjaga kelancaran proses peradilan yang adil. Sanksi yang diatur dalam kedua pasal tersebut bertujuan untuk mengendalikan perilaku yang mengganggu ketertiban di ruang sidang dan merintangi proses peradilan.
Implementasi aturan ini juga harus memperhatikan hak-hak individu dan kebebasan berekspresi, untuk memastikan bahwa prinsip-prinsip demokrasi tetap terjaga. Dengan demikian, pengaturan contempt of court dalam KUHP 2023 menjadi landasan penting dalam memperkuat sistem peradilan di Indonesia, memastikan bahwa lembaga peradilan dihormati dan dipercayai oleh masyarakat serta menjaga berjalannya proses peradilan.
[1]Jiahong, H. E. (2020). On Freedom and Regularity of Judicial Proof. International Journal of Liberal Arts and Social Science, 8(6), 16–30.
[2]Suhariyanto, B. (2016). “‘Contempt of court’ dalam Perspektif Hukum Progresif.” Jurnal Yudisial, 9(2), 156.
[3]Marwati Riza et al. (2018). *Pengawasan terhadap Integritas Hakim Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan di Indonesia*. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengkajian Perkara, dan Pengelolaan Perpustakaan Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi.
[4]Keyzer, N. (1987, August 17). *Contempt of court*. Bahan Ceramah di BPHN, 2.
[5]Campbell, H. B. (1979). Black’s Law Dictionary (hal. 390). St. Paul, MN: West Publishing Co
[6]Hukumonline. (2013). MA Idamkan UU Contempt of court. Diunduh dari www.hukumonline.com pada 10 Oktober 2025.
[7]Ansyahrul, S. H., M. H. (Diskusi terbatas, 16 Februari 2013). Penjelasan pada diskusi terbatas mengenai Contempt of court yang diselenggarakan oleh LeIP.
[8] Ansyahrul, S.H., M.H. (2013, 16 Februari). Penjelasan dalam diskusi terbatas mengenai Contempt of court yang diselenggarakan oleh LeIP.
[9]Rapat Paripurna Pengambilan Keputusan Tingkat II. (2022, 06 Desember). Diunduh dari https://www.dpr.go.id/uu/detail/id/371.
[10]Pangaribuan, L. M. P. (2002). Advokat dan Contempt of court. Jakarta: Penerbit Djambatan, hal. 17-20.