Dalam beberapa tahun terakhir, dunia menghadapi dinamika geopolitik dan ekonomi global yang berdampak terhadap sektor energi, termasuk mengenai pasokan minyak dan gas. Perang-perang, ketegangan geopolitik di wilayah Timur Tengah, serta kebijakan transisi energi di negara–negara maju telah menyebabkan volatilitas harga minyak dunia. Situasi ini memaksa banyak negara, termasuk Indonesia untuk menyesuaikan kebijakan energi guna menjaga stabilitas harga dan pasokan bahan bakar minyak (BBM). Sebagai contoh pengalaman, pada tahun 2008 pernah terjadi krisis minyak dimana menunjukkan ketidakstabilan pasokan dapat menimbulkan efek domino terhadap ekonomi nasional, mulai dari inflasi, gejolak harga barang pokok, hingga ketidakpuasan sosial.
Di dalam negeri, dinamika pengadaan BBM juga sering menimbulkan tantangan, contohnya pada periode sebelumnya beberapa SPBU swasta mengalami kelangkaan pasokan akibat keterbatasan kuota impor dan isu teknis distribusi. Salah satu kebijakan yang muncul pada tahun 2025 ini, yaitu memberi opsi kepada SPBU swasta untuk membeli pasokan BBM dari PT Pertamina. Pemerintah menegaskan mekanisme tersebut bersifat fasilitatif sehingga SPBU swasta tetap memiliki pilihan. Melalui skema ini, Pertamina berperan sebagai pemasok utama, baik melalui distribusi langsung dari kilang domestik maupun memanfaatkan kuota impor yang dikelola BUMN tersebut. Kebijakan ini dimaksudkan untuk menjaga kestabilan pasokan BBM nasional. Namun, di sisi lain muncul pertanyaan terkait dampaknya terhadap pasar persaingan usaha, posisi pelaku swasta, serta risiko potensi dominasi atau monopoli dalam sektor energi.
Berawal ketika terjadi kekosongan dan kelangkaan stok BBM di beberapa SPBU swasta pada Agustus 2025. Akibat hal tersebut, banyak terjadi penutupan di beberapa SPBU swasta karena tidak dapat melayani pelanggan. Kejadian tersebut mendapat tanggapan dari
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang menegaskan bahwa kualitas
Bahan Bakar Minyak (BBM) yang diproduksi PT Pertamina tidak berbeda dengan BBM yang
dijual para badan usaha swasta, seperti Shell maupun BP-AKR. Oleh karena itu, pemerintah
mendorong supaya SPBU swasta yang mengalami kekosongan dapat membeli BBM pada
Pertamina mengingat pasokan BBM nasional masih mencukupi. Menurut pemerintah, langkah
ini juga diperlukan untuk menjaga keseimbangan neraca ekspor-impor energi nasional.
Namun, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Yuliot Tanjung menyatakan
apabila pihak badan usaha swasta tidak bersedia untuk membeli stok BBM di Pertamina,
pemerintah tidak bisa memaksa karena prosesnya B2B.
Melihat peristiwa kebijakan pemerintah memberikan opsi kepada SPBU swasta untuk
membeli pasokan BBM melalui Pertamina ini, perlu kita mengingat dan melihat peraturan
perundangan-undangan yang dapat menjadi dasar landasannya, seperti Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Undang-undang tersebut telah
menegaskan bahwa migas merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang
banyak dan pengelolaannya dikuasai oleh negara. Negara, dalam hal ini melalui pemerintah,
berkewajiban menjamin ketersediaan dan pendistribusian migas di seluruh wilayah Indonesia.
Selain itu, Peraturan Presiden yang mengatur mengenai neraca komoditas memberikan
kewenangan kepada kementerian terkait, termasuk Kementerian ESDM, untuk menetapkan
kebutuhan, pasokan, dan bahkan impor energi demi menjaga stabilitas nasional. Dalam
konteks inilah, kebijakan yang memfasilitasi SPBU swasta mengambil pasokan dari Pertamina
memperoleh landasan legalitas.
Namun, selain melihat pada UU Migas, Peraturan Presiden dan peraturan-peraturan
lainnya terkait pasokan migas dan kewenangan pemerintah dalam pemenuhan kebutuhan
BBM, hal lain yang perlu dikaitkan adalah dari sisi hukum persaingan usaha. Realitas di
lapangan menunjukkan bahwa Pertamina mendominasi rantai pasok energi nasional karena
kapasitas infrastruktur dan kuota impor yang besar. Penunjukan Pertamina sebagai penyalur
utama pasokan bagi SPBU swasta berpotensi memperkuat posisi dominannya, yang dalam
kacamata hukum persaingan usaha dapat menimbulkan risiko monopoli. UU Nomor 5 Tahun
1999 secara tegas melarang praktik yang mengurangi atau meniadakan persaingan, termasuk
hambatan masuk bagi pelaku usaha lain dan diskriminasi harga yang merugikan. Jika
kebijakan ini dijalankan tanpa mekanisme transparan, maka dikhawatirkan akan memunculkan
distorsi pasar. Misalnya, jika harga BBM yang dipasok Pertamina ke SPBU swasta tidak
ditentukan secara wajar atau terdapat pembedaan perlakuan antar pelaku usaha, maka
kondisi tersebut dapat dianggap sebagai tindakan diskriminatif. Dalam hal ini, KPPU berperan
penting sebagai pengawas untuk memastikan kebijakan darurat ini tidak bergeser menjadi
kebijakan yang membenarkan dominasi satu pelaku usaha semata.
Dari perspektif pelaku usaha, kebijakan ini memberikan dampak yang beragam. Bagi
SPBU swasta, pasokan melalui Pertamina memang menawarkan kepastian ketersediaan stok,
khususnya di tengah keterbatasan akses impor yang mereka hadapi. Namun, ketergantungan
semacam ini dapat mengurangi fleksibilitas dan daya tawar swasta dalam menentukan strategi
bisnis jangka panjang. Sementara itu, importir swasta yang sebelumnya memiliki ruang untuk
mendatangkan BBM sendiri dapat merasakan hambatan masuk karena sebagian besar kuota
impor disalurkan melalui Pertamina. Kondisi ini pada akhirnya berpotensi mengurangi insentif
investasi di sektor energi oleh pihak swasta. Dari sisi konsumen, keberadaan kebijakan ini di
satu sisi dapat menjamin kelancaran distribusi BBM, tetapi di sisi lain bisa menimbulkan
kerugian jika persaingan harga melemah dan pilihan semakin terbatas.
Secara kritis, kebijakan ini perlu dilihat dalam bingkai proporsionalitas. Artinya, sebagai
langkah jangka pendek untuk mengatasi kelangkaan dan menjaga stabilitas pasokan,
keberadaan Pertamina sebagai pemasok utama bisa dipahami. Namun, jika kebijakan ini
berlanjut terlalu lama tanpa batas waktu yang jelas, maka ada risiko munculnya lock-in effect,
yaitu kondisi ketika pasar secara permanen terkunci pada dominasi satu entitas. Hal ini tentu
tidak sehat dalam jangka panjang, baik bagi pelaku usaha maupun konsumen. Di sinilah
pentingnya transparansi dan akuntabilitas. Proses alokasi kuota, harga dasar (base fuel),
hingga mekanisme distribusi seharusnya dapat diaudit oleh pihak independen untuk menjamin
keadilan.
Lebih lanjut, keterlibatan KPPU bukan hanya sekadar pengawasan, melainkan juga
evaluasi berkala terhadap dampak persaingan. Jika ditemukan indikasi pengurangan pilihan
konsumen atau hambatan yang tidak rasional terhadap pelaku swasta, maka koreksi kebijakan
harus segera dilakukan. Pada saat yang sama, pemerintah juga harus mempersiapkan strategi
jangka panjang yang tidak semata-mata bergantung pada Pertamina. Penguatan kapasitas
swasta melalui kemudahan akses perizinan impor, pembangunan infrastruktur penyimpanan,
serta diversifikasi pemasok energi akan menjadi kunci bagi terciptanya pasar yang lebih sehat
dan kompetitif.
Atas pertimbangan kebijakan yang ingin diberlakukan ini, ada beberapa hal penting
yang dapat diperhatikan dan dapat diterapkan demi tercapainya kestabilan dan tetap menjaga
persaingan usaha yang sehat. Pertama, kebijakan penyaluran pasokan melalui Pertamina
sebaiknya diberlakukan dengan batas waktu tertentu dan dievaluasi secara berkala. Kedua,
pemerintah perlu membuka data terkait kuota impor, realisasi distribusi, dan harga dasar BBM
secara transparan, meskipun dalam kerangka menjaga kerahasiaan komersial. Ketiga, kontrak
antara Pertamina dan SPBU swasta harus dibuat dalam standar baku yang nondiskriminatif
agar tidak ada perlakuan berbeda yang merugikan pihak tertentu. Keempat, pengawasan oleh
KPPU dan audit independen harus dijalankan sebagai bagian dari mekanisme kontrol.
Kemudian, kapasitas swasta perlu diperkuat agar tidak hanya bergantung pada Pertamina,
sehingga pasar tetap terbuka dan kompetitif dalam jangka panjang.
Dengan demikian, dapat disimpulkan sementara bahwa kebijakan pemerintah tahun
2025 mengenai pasokan BBM melalui Pertamina adalah langkah pragmatis yang dapat
dipahami sebagai respon darurat untuk menjaga stabilitas nasional. Namun, dari perspektif
hukum dan persaingan usaha, kebijakan ini hanya akan efektif jika dijalankan secara
proporsional, transparan, dan sementara. Pengawasan ketat dan keterlibatan berbagai pihak
sangat diperlukan untuk mencegah praktik monopoli dan memastikan konsumen tetap
terlindungi. Dengan demikian, stabilitas energi dapat terjaga tanpa mengorbankan prinsip
persaingan usaha yang sehat serta kepentingan jangka panjang pembangunan ekonomi
Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bloomberg Technoz. 2025. Shell Akui Masih Nego Beli BBM Pertamina: Harus Kualitas
Tinggi. Diakses pada 1 Oktober 2025, dari https://www.bloombergtechnoz.com/detail-
news/85621/shell-akui-masih-nego-beli-bbm-pertamina-harus-kualitas-tinggi
2. Listrik Indonesia. 2025. Bahlil Sarankan Swasta Beli BBM dari Pertamina, Kualitasnya
Bagaimana?. Diakses pada 1 Oktober 2025, dari
https://listrikindonesia.com/detail/17779/bahlil-sarankan-swasta-beli-bbm-dari-
pertamina-kualitasnya-bagaimana
3. Tempo. 2025. Bagaimana Pertamina Memenuhi Pasokan Bensin SPBU Swasta.
Diakses pada 1 Oktober 2025, dari https://www.tempo.co/ekonomi/bagaimana-
pertamina-memenuhi-pasokan-bensin-spbu-swasta-2071478
4. Indonesia. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Jakarta
5. Indonesia. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli
dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Jakarta
6. Indonesia. Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2024 jo. Peraturan Presiden Nomor 7
Tahun 2025 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2024 tentang
Neraca Komoditas. Jakarta