Dilema Dugaan Pelanggaran Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 Dalam Usaha Fintech P2P Lending

KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) sedang memeriksa dugaan pelanggaran oleh perusahaan fintech peer-to-peer (P2P) lending atau pinjaman online yang yang menjadi anggota Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). Kasus ini mencakup sebanyak 97 perusahaan P2P lending yang diduga melakukan kesepakatan bersama dalam menentukan batas maksimal bunga. Perusahaan fintech P2P lending diduga melanggar Pasal 5 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU 5/1999). Pada prinsipnya Pasal 5 UU 5/1999 melarang adanya Penetapan Harga yang dilakukan oleh para pelaku usaha di Indonesia.

 

Investigator KPPU mendalilkan dugaan pelanggaran berdasarkan Code of Conduct AFPI yang salah satunya mengatur mengenai batas atas bunga P2P lending sebesar 0,8 persen per hari dan kemudian menjadi 0,4 persen per hari pada 2021. Kuasa hukum Amartha, Harry Rizki Perdana, menilai bahwa Code of Conduct tidak bisa dijadikan sebagai bukti perjanjian karena tak ada bentuk kesepakatan secara sukarela untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya serta merupakan bentuk kepatuhan terhadap peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

Tujuan utama dari antitrust law atau hukum persaingan usaha adalah menjaga agar mekanisme pasar dapat berfungsi secara efisien melalui perlindungan terhadap struktur kompetisi yang sehat. Dalam sistem ekonomi modern, pasar yang kompetitif diyakini akan menghasilkan alokasi sumber daya yang optimal, mendorong inovasi, dan memberikan manfaat maksimal bagi masyarakat luas.[1] Oleh karena itu, antitrust law berperan sebagai instrumen penting untuk memastikan bahwa proses pasar berjalan sesuai dengan prinsip keadilan dan efisiensi ekonomi tanpa adanya hambatan buatan dari pelaku usaha dominan.[2]

Dalam konteks perlindungan konsumen, antitrust law memiliki fungsi preventif dan korektif terhadap perilaku pelaku usaha yang dapat mengganggu keseimbangan pasar.[3] Praktik anti-kompetitif seperti kartel, monopoli, penetapan harga secara tidak wajar (price fixing), maupun penyalahgunaan posisi dominan dapat mengakibatkan harga barang dan jasa meningkat, mutu menurun, serta pilihan konsumen menjadi terbatas.[4] Dengan demikian, penegakan hukum persaingan tidak hanya diarahkan untuk menghukum pelaku usaha yang melanggar, tetapi juga untuk memulihkan kondisi pasar agar konsumen kembali memperoleh manfaat dari persaingan yang sehat.[5]

Lebih lanjut, dalam konteks Indonesia, semangat perlindungan terhadap konsumen tercermin dalam UU 5/1999, yang menempatkan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sebagai otoritas independen untuk mengawasi dinamika pasar. KPPU memiliki peran strategis dalam menjaga keseimbangan antara kebebasan berusaha dan kepentingan publik, termasuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuatan pasar yang berpotensi merugikan konsumen.[6] Dengan demikian, keberadaan antitrust law menjadi bagian integral dari upaya mewujudkan tata kelola ekonomi yang adil, transparan, dan berpihak pada kepentingan masyarakat sebagai konsumen akhir.

Pasal 5 UU 5/1999 menggunakan pendekatan per se illegal, yang berarti bahwa setiap bentuk perjanjian penetapan harga antar pelaku usaha pesaing dianggap secara langsung melanggar hukum tanpa memerlukan pembuktian lebih lanjut mengenai dampaknya terhadap pasar. Dengan demikian, apabila pelaku usaha yang berada pada pasar bersangkutan melakukan kesepakatan untuk menetapkan harga yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan, maka perbuatan tersebut termasuk dalam larangan penetapan harga sebagaimana diatur dalam Pasal 5 UU 5/1999.

Sebagaimana dibahas sebelumnya, praktik penetapan harga juga muncul dalam konteks layanan financial technology (fintech) berbasis peer-to-peer (P2P) lending, di mana terdapat pengaturan mengenai tingkat suku bunga yang diatur dalam Code of Conduct atau Pedoman Perilaku yang diterbitkan oleh Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI). Asosiasi ini beranggotakan para penyelenggara fintech P2P lending dan menjalankan fungsi pengaturan serta pengawasan terhadap anggotanya, selain dari peran pengawasan yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Namun demikian, terdapat dua hal penting yang perlu dicermati dalam menilai apakah pengaturan tersebut melanggar hukum persaingan. Pertama, harus terdapat dampak nyata dan signifikan yang merugikan bagi pasar atau konsumen akibat adanya penetapan harga tersebut. Kedua, kerugian tersebut harus merupakan konsekuensi langsung dari kegiatan yang secara eksplisit dilarang oleh ketentuan Pasal 5 UU 5/1999, yaitu perjanjian penetapan harga antar pelaku usaha pesaing.

Dilema utama terkait penerapan hukum persaingan usaha dan upaya perlindungan konsumen. Di satu sisi, hukum persaingan usaha menekankan pentingnya menjaga mekanisme pasar agar tetap kompetitif, dengan menolak segala bentuk intervensi yang berpotensi membatasi persaingan, termasuk pengaturan harga, pembagian wilayah, atau kolusi antar pelaku usaha. Namun, di sisi lain, perlindungan konsumen kerap memerlukan intervensi regulatif untuk memastikan keamanan, keterjangkauan, dan kualitas produk atau layanan, yang dalam kondisi tertentu justru dapat membatasi kebebasan pasar. Dilema ini tampak nyata dalam sektor-sektor yang sensitif seperti fintech P2P lending, di mana penetapan batas maksimum bunga pinjaman dimaksudkan untuk melindungi konsumen dari praktik eksploitasi, tetapi pada saat yang sama berpotensi ditafsirkan sebagai bentuk kesepakatan harga yang dilarang oleh hukum persaingan. Dengan demikian, keseimbangan antara efisiensi pasar dan perlindungan konsumen menjadi isu kunci yang menuntut pendekatan hukum yang proporsional, agar tujuan kesejahteraan publik tetap tercapai tanpa mengorbankan dinamika persaingan yang sehat.

 

 

[1] Richard A. Posner, Antitrust Law: An Economic Perspective (University of Chicago Press, 1976), hlm. 22–25.

[2] Robert H. Bork, The Antitrust Paradox: A Policy at War with Itself (Basic Books, 1978), hlm. 66–70.

[3] OECD, Competition Policy and Consumer Protection (OECD Policy Roundtables, 2014), hlm. 5.

[4] William Kovacic dan Carl Shapiro, “Antitrust Policy: A Century of Economic and Legal Thinking,” Journal of Economic Perspectives Vol. 14, No. 1 (2000), hlm. 43.

[5] Eleanor M. Fox, “The Modernization of Antitrust: A New Equilibrium,” Cornell Law Review Vol. 66 (1981), hlm. 1146.

[6] Huala Adolf, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia (Kencana, 2020), hlm. 45.

Kategori :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *