Business Judgment Rule Perum Sejak Undang-Undang No. 1/2025

Tidak asing bagi Warga Negara Indonesia (WNI) untuk menyalakan televisi mereka atau membaca koran pagi mereka, dan kemudian terpapar bahwa ada anggota direksi BUMN yang dipidana korupsi karena keputusan bisnisnya. Namun, ada pula kasus dimana anggota direksi BUMN tidak terbukti bersalah karena tindakan-tindakan anggota direksi tersebut sudah memenuhi unsur-unsur BJR dengan membuktikan tidak adanya unsur kecurangan, benturan kepentingan, perbuatan melawan hukum, dan kesalahan yang sengaja (Putusan Mahkamah Agung Nomor 121 K/Pid.Sus/2020, 2020, hlm. 38).

Namun, dalam kasus-kasus yang ada, penerapan BJR terhadap Perum belum mendapatkan perhatian khusus, padahal terdapat potensi analisa misalnya, apakah keputusan penerbitan hutang jangka menengah oleh Perum Perindo sudah memenuhi standar BJR, atau aspek pelanggaran BJR dalam kasus Perum Jasa Tirta II. . Artikel ini akan membahas penerapan Business Judgment Rule bagi BUMN berbadan hukum Perusahaan Umum (Perum). Pembahasan terbagi menjadi: (1) Penjelasan BJR; (2) Perbedaan ringkas antara BUMN berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT) dan BUMN Perusahaan Umum (Perum); dan (3) Konsekuensi BJR di Perum dengan adanya UU BUMN 2025 (UU No. 1/2025).

 

Penjelasan BJR

 

Saat ini sudah banyak sumber yang mendiskusikan tentang penerapan BJR terhadap BUMN berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT). Di Indonesia, diskusi mengenai BJR selama ini lebih banyak diarahkan pada BUMN berbentuk Persero (PT). Hal ini karena sebelum UU No. 1/2025 yang mengadaptasi mekanisme BJR untuk BUMN, UU Perseroan Terbatas (UU No. 40/2007) sudah lebih dulu secara eksplisit mengatur mekanisme pengecualian tanggung jawab direksi dalam Pasal 97 ayat (5). Pasal tersebut memberikan “ruang aman” bagi direksi, sepanjang dapat membuktikan bahwa kerugian perusahaan bukan akibat kesalahan atau kelalaiannya, ia telah beritikad baik, hati-hati, tanpa benturan kepentingan, dan berupaya mencegah timbulnya kerugian

 

Para ahli memiliki pandangan bermacam macam tentang apa yang dimaksud dengan BJR. Menurut Bayless Manning, BJR adalah sebuah doktrin bahwa ketika dewan direksi bertindak dengan hati-hati yang wajar dan dengan itikad baik, keputusannya akan dianggap sebagai “penilaian bisnis,” dan direksi tidak akan bertanggung jawab atas ganti rugi meskipun keputusan tersebut terbukti merugikan perusahaan (Manning, 1984, hlm. 616–617).

 

Menurut Munir Fuady, BJR adalah suatu doktrin bahwa suatu putusan direksi tidak boleh diganggu gugat meskipun putusan itu ternyata salah atau merugikan perusahaan dengan syarat-syarat: (1) Sesuai dengan hukum; (2) Dilakukan dengan iktikad baik; (3) Demi tujuan yang benar; (4) Memiliki dasar-dasar yang rasional; (5) Dilakukan dengan hati-hati sebagaimana orang lain dalam posisi sama; (6) Dilakukan dengan cara yang layak sesuai apa yang dipercaya direksi tersebut dan demi kepentingan terbaik perusahaan (Munir Fuady, 2014, hlm. 186)

 

Dari keterangan para ahli dapat disimpulkan bahwa BJR bagi BUMN adalah sebuah doktrin yang berfungsi sebagai upaya perlindungan terhadap direksi BUMN dari risiko pemidanaan maupun ganti rugi dalam melakukan keputusan bisnis dengan iktikad baik. Akibat dari upaya BJR tersebut adalah apabila suatu BUMN mengalami kerugian sedangkan keputusan bisnis direksi sudah memenuhi kriteria BJR, maka direksi tidak dapat dipidana maupun dituntut ganti rugi atas keputusan bisnis tersebut.

 

Perbedaan ringkas antara BUMN berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT) dan BUMN Perusahaan Umum (Perum)

 

Hukum Indonesia mengenal dua jenis badan hukum BUMN yaitu Perseroan Terbatas (PT) dan Perusahaan Umum (Perum) sebagaimana secara implisit dijelaskan dalam Pasal 1 dan 2 UU No. 19/2003 s.t.d.t.d. UU No. 1/2025 (UU BUMN). BUMN berbentuk PT terdiri dari Perusahaan Perseroan dan Perusahaan Perseroan Terbuka. Sedangkan Perum hanya terdiri dari satu bentuk.

Perusahaan Perseroan dan Perusahaan Perseroan Terbuka memiliki definisi yang sama sebagaimana tertuang dalam UU Perseroan Terbatas (UU No. 40/2007) dan bertujuan untuk mencari keuntungan sehingga tidak akan dibahas secara detail. Sedangkan satu satunya bentuk Perum adalah Perum itu sendiri, yaitu sesuai Pasal 1 angka 5 UU BUMN:

…Perum adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki Negara Republik Indonesia dan tidak terbagi atas saham, yang tujuan utamanya untuk menyediakan dan menjamin ketersediaan barang dan/atau jasa bagi kemanfaatan umum dalam rangka pemenuhan hajat hidup orang banyak atau untuk kebutuhan strategis berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.”

 

Konsekuensi BJR di Perum dengan adanya UU BUMN 2025

 

Pada dasarnya, BJR di Perum sudah diatur pada Pasal 27 ayat (2a) PP No. 45/2005 s.t.d.t.d. PP No. 23/2022 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, Dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara. Setiap anggota direksi Perum tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas kerugian selama terbukti: (1) Bukan karena kesalahan anggota direksi tersebut; (2) Beriktikad baik dan menerapkan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai maksud tujuan Perum; (3) Tidak ada benturan kepentingan yang mengakibatkan kerugian; dan (4) Telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian.

 

UU No. 1/2025 tidak mengubah secara substansial perihal ketentuan BJR untuk setiap anggota direksi Perum sebagaimana tertuang dalam Pasal 9F ayat (1)  UU BUMN:

 

Anggota Direksi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban hukum atas kerugian jika dapat membuktikan :

  1. kerugian tersebut bukan karena kesalahan atau kelalaiannya;
  2. telah melakukan pengurusan dengan iktikad baik dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan tujuan BUMN;
  3. tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian; dan
  4. telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian tersebut.”

 

Namun, UU No. 1/2025 memberikan perlindungan lebih kepada Perum dengan menegaskan bahwa direksi dan dewan pengawas mereka bukan termasuk “Penyelenggara Negara.” Selain Pasal 9F yang menegaskan perlindungan hukum melalui Business Judgment Rule (BJR), UU BUMN 2025 juga menegaskan melalui Pasal 9G bahwa Anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara. Ketentuan ini memiliki implikasi hukum yang cukup signifikan.

 

Sebelumnya, direksi dan komisaris BUMN, termasuk Perum, kerap dikaitkan dengan status “penyelenggara negara”, sehingga apabila terjadi kerugian BUMN, ada kecenderungan aparat penegak hukum menganggapnya sebagai kerugian negara. Hal ini membuka kemungkinan pengenaan pidana korupsi atau perbuatan melawan hukum berbasis kerugian negara, walaupun kerugian tersebut berasal dari keputusan bisnis yang sah.

 

Dengan Pasal 9G, posisi hukum direksi Perum berubah secara mendasar. Mereka tidak lagi otomatis dikategorikan sebagai pejabat publik atau penyelenggara negara, sehingga tindakan mereka dalam pengelolaan BUMN lebih difokuskan pada pertanggungjawaban korporasi daripada pertanggungjawaban pidana negara. Artinya, risiko langsung dijerat pidana korupsi akibat keputusan bisnis yang merugikan Perum menjadi lebih rendah.

 

Kesimpulan

Dengan demikian, penerapan Business Judgment Rule (BJR) bagi Perum sejak berlakunya UU No. 1/2025 memberikan kepastian hukum yang lebih jelas bagi anggota direksi dan dewan pengawas. Perlindungan ini tidak hanya menegaskan bahwa keputusan bisnis yang diambil dengan itikad baik, kehati-hatian, tanpa benturan kepentingan, dan upaya pencegahan kerugian tidak dapat dijadikan dasar pertanggungjawaban hukum, tetapi juga diperkuat oleh Pasal 9G yang menegaskan bahwa pengurus Perum bukan penyelenggara negara. Kombinasi kedua ketentuan ini menurunkan risiko pidana korupsi bagi pengurus Perum, sekaligus memberi ruang bagi mereka untuk mengambil keputusan strategis yang berdampak luas bagi hajat hidup orang banyak. Dengan adanya kerangka hukum yang lebih jelas ini, Perum dapat lebih leluasa menjalankan fungsinya dalam menyediakan barang dan/atau jasa bagi kemanfaatan umum, sambil tetap mempertahankan prinsip good governance dan akuntabilitas.

 

Referensi

 

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara

Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, Dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2005 tentang Pendirian, Pengurusan, Pengawasan, dan Pembubaran Badan Usaha Milik Negara

Putusan Mahkamah Agung Nomor 121 K/Pid.Sus/2020 (9 Maret 2020).

Manning, B. (1984). The Business Judgment Rule in Overview. Ohio State Law Journal, 45, 615–627.

Munir Fuady. (2014). Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law & Eksistensinya dalam Hukum Indonesia. Citra Aditya Bakti.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *