Media sosial kini bukan hanya sekadar tempat berbagi momen pribadi. Ia sudah menjadi ruang publik baru tempat orang mencari informasi, membangun jejaring, bahkan menyampaikan kritik terhadap pemerintah maupun institusi tertentu. Dari sisi positif, media sosial mempermudah komunikasi tanpa batas. Namun dari sisi lain, kebebasan di dunia maya juga dapat menjadi bumerang ketika tidak digunakan secara hati-hati.
Di Indonesia, penggunaan media sosial memiliki konsekuensi hukum yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Seiring perkembangan, UU ini sudah beberapa kali direvisi, terakhir melalui UU No. 1 Tahun 2024. Revisi dilakukan karena banyak kasus menunjukkan adanya multitafsir, bahkan dianggap “pasal karet” yang bisa menjerat siapa saja.
UU ITE: Dari Regulasi Teknologi ke Jerat Hukum
Pada awalnya, UU ITE disusun untuk memberikan kepastian hukum dalam transaksi elektronik, melindungi konsumen digital, serta mengatur keamanan data. Namun dalam perkembangannya, banyak pasal justru lebih sering dipakai dalam kasus pidana, terutama terkait pencemaran nama baik dan ujaran kebencian.
Pasal-pasal berikut adalah yang paling relevan dengan aktivitas di media sosial:
- Pasal 27 ayat (1): Melarang distribusi atau akses konten bermuatan asusila.
- Pasal 27 ayat (3): Melarang penghinaan atau pencemaran nama baik secara elektronik.
- Pasal 28 ayat (2): Melarang penyebaran informasi yang menimbulkan kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA.
- Pasal 29: Melarang ancaman kekerasan atau menakut-nakuti.
Dari pasal-pasal tersebut, Pasal 27 ayat (3) menjadi yang paling banyak digunakan dalam laporan polisi. Kasus-kasus seperti menulis status, komentar pedas, hingga sekadar menyebarkan ulang (share) postingan yang dianggap merugikan orang lain bisa diproses hukum.
Kenapa Warganet Mudah Terjerat?
Fenomena ini banyak disebabkan oleh kurangnya kesadaran literasi digital. Banyak orang merasa media sosial hanyalah tempat curhat atau bercanda. Padahal, berbeda dengan obrolan di warung kopi yang hilang setelah percakapan selesai, unggahan di dunia maya meninggalkan jejak digital yang bisa diakses kapan saja.
Contoh sederhananya:
- Mengkritik pejabat dengan kata-kata kasar dapat dianggap penghinaan.
- Membagikan meme yang menyinggung kelompok tertentu bisa masuk kategori ujaran kebencian.
- Forward berita tanpa verifikasi berpotensi disebut penyebaran hoaks.
Inilah yang membuat warganet sering “tersandung” hukum, padahal niat awalnya hanya sekadar berkomentar atau bercanda.
Dampak Nyata dari Jerat UU ITE
Banyak kasus di Indonesia yang memperlihatkan bagaimana media sosial bisa membawa seseorang ke ranah hukum. Mulai dari mahasiswa, karyawan, ibu rumah tangga, hingga tokoh publik pernah dilaporkan dengan dasar UU ITE. Dampaknya tidak hanya soal proses hukum, tetapi juga reputasi pribadi, karier, hingga hubungan sosial yang terganggu.
Selain itu, laporan berbasis UU ITE kadang digunakan sebagai “alat serangan balik” dalam konflik pribadi atau persaingan bisnis. Inilah mengapa penting sekali bagi setiap orang untuk lebih bijak dalam bermedia sosial.
Tips Aman Bermedia Sosial
Agar tetap bisa berekspresi tanpa khawatir terjerat UU ITE, beberapa langkah preventif bisa dilakukan:
- Saring sebelum sharing
Jangan buru-buru membagikan informasi sebelum mengecek kebenarannya. Pastikan sumbernya jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. - Gunakan bahasa yang santun
Kritik tetap boleh, bahkan dijamin oleh konstitusi. Namun, sampaikan dengan argumen yang berbasis fakta, bukan menyerang pribadi. - Jangan terjebak emosi
Perdebatan di kolom komentar sering kali memanas. Ingat, satu kata kasar bisa saja dianggap penghinaan. - Hormati privasi orang lain
Data pribadi, foto, atau video orang lain tidak boleh disebarkan tanpa izin. Selain berpotensi melanggar hukum, hal ini juga melanggar etika digital. - Pahami aturan platform
Setiap media sosial punya regulasi internal. Jika melanggar, akun bisa diblokir atau konten dihapus.
Menuju Etika Digital yang Sehat
UU ITE memang tidak lepas dari kritik karena dianggap bisa mengancam kebebasan berekspresi. Namun, hingga kini, undang-undang tersebut tetap berlaku. Oleh karena itu, cara paling aman adalah dengan mengombinasikan literasi hukum dan etika digital.
Kita perlu menyadari bahwa kebebasan berpendapat di dunia maya memiliki batas: tidak boleh melanggar hak orang lain, menebar kebencian, atau menyebarkan hoaks. Prinsipnya sederhana: jika tidak pantas diucapkan di ruang publik nyata, maka jangan pula dituliskan di ruang publik digital.
Penutup
Media sosial seharusnya menjadi sarana membangun, bukan meruntuhkan. Dengan memahami UU ITE dan menerapkan etika digital, kita bisa tetap aman dalam berekspresi sekaligus berkontribusi positif di dunia maya.
Ingat, sekali unggahan muncul di internet, ia bisa bertahan selamanya. Maka, sebelum menekan tombol “post”, tanyakan pada diri sendiri: Apakah ini bermanfaat? Apakah ini sopan? Apakah ini bisa dipertanggungjawabkan?
Kalau ragu, lebih baik jangan diunggah. Karena di era digital ini, bijak bermedia sosial adalah kunci untuk terhindar dari jerat hukum.
Referensi
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU ITE.
- Putusan Mahkamah Agung Nomor 822 K/Pid.Sus/2009 dalam perkara Prita Mulyasari.
- Putusan Mahkamah Agung Nomor 574 K/Pid.Sus/2018 dalam perkara Baiq Nuril.
- Kementerian Komunikasi dan Informatika RI – Literasi Digital: Modul Aman Bermedia Sosial.