Asas Praduga Tak Bersalah dan Fenomena Penutupan Wajah Tersangka

Dalam praktik penegakan hukum di Indonesia, masyarakat sering menyaksikan pemberitaan mengenai penangkapan atau penetapan tersangka suatu tindak pidana. Pada momen tersebut, tak jarang tersangka ditampilkan kepada publik dengan wajah yang ditutup menggunakan masker, kain, atau bahkan pakaian tahanan yang menutupi kepala. Namun di sisi lain, ada pula kasus di mana tersangka diperlihatkan tanpa penutup wajah, sehingga identitasnya dapat dikenali secara jelas. Fenomena ini kerap menimbulkan pertanyaan public, mengapa perlakuan berbeda tersebut bisa terjadi, dan bagaimana kaitannya dengan asas praduga tak bersalah?

Asas praduga tak bersalah merupakan asas yang ada dalam hukum pidana. Asas ini dijelaskan dalam Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa “setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di muka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Asas praduga tak bersalah adalah bahwa setiap orang yang berstatus tersangka atau terdakwa harus diperlakukan sebagai individu yang belum tentu bersalah. Perlakuan yang merendahkan martabat atau menghakimi sebelum putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap dianggap bertentangan dengan asas tersebut.

Penutupan Wajah sebagai Bentuk Perlindungan

Penutupan wajah tersangka sebenarnya bertujuan untuk melindungi hak asasi tersangka agar tidak langsung dihakimi oleh publik. Identitas yang terlalu cepat diekspos dapat memunculkan stigma sosial, diskriminasi, hingga intimidasi, baik terhadap tersangka sendiri maupun keluarganya.

Kepolisian Republik Indonesia melalui Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian juga menegaskan bahwa setiap tindakan aparat harus memperhatikan prinsip nondiskriminasi, proporsionalitas, dan penghormatan terhadap harkat martabat manusia. Dalam konteks ini, menutup wajah tersangka dapat dilihat sebagai langkah preventif agar masyarakat tidak buru-buru memberikan vonis bersalah.

Selain itu, dalam perkara tertentu, penutupan wajah juga berfungsi menjaga keamanan tersangka, misalnya untuk menghindari potensi balas dendam dari pihak korban atau tekanan publik yang berlebihan.

Perbedaan perlakuan dapat disebabkan oleh beberapa faktor berikut:

  1. Kebijakan Institusi Penegak Hukum
    Tidak ada aturan tertulis yang secara tegas mewajibkan penutupan wajah tersangka. Akibatnya, setiap institusi penegak hukum, baik kepolisian maupun kejaksaan, sering menggunakan kebijakan internal atau pertimbangan situasional.
  2. Jenis Perkara dan Kepentingan Publik
    Dalam kasus korupsi yang melibatkan pejabat publik, sering kali wajah tersangka tidak ditutup karena dianggap memiliki nilai informasi tinggi bagi masyarakat. Sebaliknya, dalam kasus kriminal umum atau yang melibatkan warga biasa, aparat lebih cenderung menutup wajah untuk melindungi identitas tersangka.
  3. Pertimbangan Hak Korban
    Pada kasus tertentu, terutama yang menyangkut kesusilaan atau anak, penutupan wajah dilakukan bukan hanya demi tersangka, melainkan juga untuk menjaga kerahasiaan identitas korban. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.
  4. Tekanan Media dan Publikasi
    Media massa kerap mendorong aparat untuk membuka wajah tersangka demi kepentingan berita. Di sisi lain, ada pula situasi di mana aparat memilih menutup wajah agar tidak dianggap melanggar asas praduga tak bersalah.
  5. Status Sosial atau Kepentingan Politik
    Faktor nonhukum juga bisa memengaruhi. Misalnya, tersangka dengan posisi strategis di pemerintahan atau tokoh publik tertentu kadang tidak ditutup wajahnya sebagai bentuk “transparansi” kepada masyarakat. Namun, hal ini justru berpotensi menimbulkan perdebatan terkait konsistensi penerapan hukum.

Fenomena penutupan atau pembukaan wajah tersangka dalam pemberitaan hukum tidak bisa dilepaskan dari prinsip asas praduga tak bersalah. Pada dasarnya, penutupan wajah dimaksudkan sebagai bentuk perlindungan hak asasi dan pencegahan stigma negatif sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Namun, praktik yang berbeda-beda antara satu kasus dengan kasus lainnya menimbulkan kesan inkonsistensi dan berpotensi menurunkan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum.

Oleh karena itu, diperlukan pedoman yang lebih jelas dan seragam mengenai bagaimana aparat penegak hukum harus menampilkan tersangka di ruang publik. Dengan adanya standar yang konsisten, diharapkan penghormatan terhadap asas praduga tak bersalah tetap terjaga, tanpa mengurangi transparansi dan hak masyarakat untuk memperoleh informasi.

 

Referensi:

Dewi, S. M. (2019). Asas Praduga Tak Bersalah dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Jurnal Hukum dan Pembangunan, 49(2), 234–252. https://doi.org/10.21143/jhp.vol49.no2.1983

Indonesia. (1981). Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76.

Indonesia. (2009). Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157.

Kepolisian Negara Republik Indonesia. (2009). Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *