Dunia hukum di Indonesia tak pernah sepi. Ia adalah cerminan dari pergulatan kepentingan, idealisme reformasi, dan realitas kekuasaan. Dalam beberapa waktu terakhir, terutama di tahun 2025 ini, fokus perhatian publik—mulai dari akademisi, aktivis, hingga masyarakat biasa—terarah pada dua isu utama yang saling berkelindan: deretan Rancangan Undang-Undang (RUU) kontroversial dan isu-isu Hak Asasi Manusia (HAM) yang mengkhawatirkan, terutama yang berkaitan dengan kebebasan berpendapat dan peran aparat.
Dinamika ini menunjukkan bahwa supremasi hukum dan semangat reformasi masih terus diuji. Perdebatan yang terjadi bukan hanya soal pasal dan ayat, melainkan menyentuh inti dari cita-cita negara hukum yang demokratis.
Badai Kontroversi RUU: Antara Reformasi dan Kemunduran
Beberapa RUU yang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama Pemerintah menuai kritik pedas karena dinilai berpotensi menarik mundur praktik demokrasi dan melemahkan hak-hak warga negara. Dua RUU yang paling panas diperbincangkan adalah Revisi Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) dan Revisi Undang-Undang tentang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI).
RUU KUHAP: Dilema Antara Efisiensi dan Akuntabilitas
RUU KUHAP diusulkan untuk menggantikan KUHAP lama tahun 1981 yang dinilai usang. Namun, alih-alih memperkuat perlindungan hak tersangka, korban, dan saksi, draf RUU ini justru dianggap menimbulkan beberapa masalah fundamental:
- Pelemahan Praperadilan: Salah satu sorotan utama adalah pasal-pasal yang mempersempit objek praperadilan. Praperadilan adalah mekanisme krusial bagi warga negara untuk menguji sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, atau penyitaan oleh aparat. Jika objeknya dipersempit, peluang masyarakat menggugat tindakan sewenang-wenang aparat penegak hukum akan semakin kecil. Ini menimbulkan kekhawatiran bahwa akuntabilitas penyidik akan berkurang.
- Kewenangan Penyadapan Tanpa Batas Jelas: RUU ini memperluas kewenangan penyadapan dan pemeriksaan surat, bahkan tanpa dibatasi hanya untuk kejahatan berat. Yang lebih mengkhawatirkan, beberapa draf tidak mewajibkan penyidik untuk memperoleh izin dari pengadilan (persetujuan yudisial) sebelum melakukan tindakan penyadapan atau penggeledahan. Tanpa pengawasan yudisial yang ketat, kewenangan ini berpotensi disalahgunakan untuk kepentingan politik atau bahkan untuk mengintimidasi oposisi dan aktivis.
- Melemahkan Peran Advokat: Sejumlah pasal dikhawatirkan membatasi dan melemahkan peran advokat dalam mendampingi tersangka atau terdakwa, terutama dalam perkara yang diancam pidana berat. Keterbatasan akses terhadap pendampingan hukum sejak tahap awal proses pidana merupakan ancaman serius bagi hak asasi manusia dan prinsip fair trial (peradilan yang adil).
Singkatnya, Koalisi Masyarakat Sipil melihat RUU KUHAP saat ini cenderung menguatkan institusi penegak hukum dan mengurangi mekanisme pengawasan terhadapnya, menciptakan ketidakseimbangan yang berbahaya dalam sistem peradilan pidana.
Kembalinya “Dwifungsi” dalam Balutan RUU TNI?
Tak kalah panas, pengesahan Revisi UU TNI menjadi Undang-Undang (meski prosesnya masih terus disorot publik) juga memicu gejolak besar. Kekhawatiran utama publik adalah potensi kembalinya Dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) yang telah dihapus pada era Reformasi.
Poin-poin krusial yang menimbulkan kontroversi:
- Perpanjangan Usia Pensiun: Perubahan batas usia pensiun prajurit, terutama perwira tinggi, dinilai sebagai upaya untuk membuka jalan bagi elite militer untuk tetap berada di struktur kekuasaan.
- Pelebaran Daftar Posisi Sipil: Revisi ini memperluas daftar kementerian dan lembaga sipil yang boleh diisi oleh perwira TNI aktif. Tambahan lembaga baru seperti Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), bahkan Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung, diyakini akan meningkatkan peran militer dalam urusan sipil secara signifikan.
Bahaya Sipilisasi Militer
Kritikus berpendapat bahwa penempatan prajurit aktif di lebih banyak posisi sipil akan berdampak pada:
- Berkurangnya ruang bagi sipil di jabatan pemerintahan.
- Potensi penyalahgunaan kewenangan dan intervensi militer dalam kebijakan sipil.
- Pergeseran fokus TNI dari tugas utama pertahanan negara.
Meskipun Pemerintah dan DPR mengklaim revisi ini bertujuan untuk modernisasi dan memenuhi kebutuhan zaman, publik tetap khawatir bahwa langkah ini akan mengancam supremasi sipil dan prinsip demokrasi yang telah diperjuangkan sejak 1998.
Kritisnya Isu HAM: Kebebasan Berekspresi dan Kriminalisasi
Di tengah pembahasan RUU kontroversial, praktik penegakan hukum di lapangan juga kerap menunjukkan tanda-tanda kemunduran, terutama terkait isu HAM.
Penangkapan dan Kriminalisasi Aktivis yang berdemonstrasi atau mengkritik kebijakan pemerintah menjadi berita yang sering kita temui. Laporan dari berbagai organisasi HAM mencatat peningkatan serangan terhadap pembela HAM, jurnalis, dan mahasiswa di paruh pertama tahun 2025.
Dugaan Pelanggaran HAM saat Demo sering disorot, bahkan sampai ke tingkat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kasus penangkapan aktivis saat aksi damai atau pencabutan kartu pers jurnalis saat meliput, dinilai sebagai upaya pembungkaman kebebasan pers dan berekspresi.
Jaminan konstitusional atas kebebasan berpendapat seolah diabaikan, dan kritik terhadap negara seringkali dibalas dengan ancaman kriminalisasi menggunakan pasal-pasal pidana yang multitafsir. Ini adalah ancaman nyata terhadap ruang sipil, di mana fungsi kontrol masyarakat terhadap kekuasaan menjadi lumpuh karena adanya ketakutan hukum.
Korupsi dan Kejahatan Ekonomi: Kasus-Kasus Mega
Di sisi lain spektrum hukum, penanganan kasus tindak pidana korupsi (Tipikor) dan kejahatan ekonomi tetap menjadi agenda utama. Meskipun kasus-kasus korupsi bernilai triliunan rupiah terus diungkap, pertanyaan besar tetap muncul mengenai efektivitas penindakan dan pengembalian aset negara.
Kasus-kasus besar, seperti penanganan perkara korupsi di lingkungan Kejaksaan Agung dan berbagai putusan pengadilan Tipikor yang melibatkan pejabat, menunjukkan bahwa perang melawan korupsi masih jauh dari kata usai. Yang menjadi trending bukan hanya vonisnya, tetapi juga tantangan dalam menuntut pihak-pihak yang memiliki power dan memastikan hukuman yang dijatuhkan memberikan efek jera, terutama bagi korporasi yang terlibat.
Kesimpulan: Ujian Konsistensi Reformasi
Isu-isu hukum yang trending di tahun ini—mulai dari RUU kontroversial yang mengancam supremasi sipil dan akuntabilitas aparat, hingga praktik-praktik penegakan hukum yang membungkam kebebasan—adalah ujian konsistensi bagi Indonesia dalam menjalankan agenda Reformasi 1998.
Masyarakat sipil memainkan peran vital dalam mendesak agar setiap perubahan undang-undang tidak justru merusak fondasi demokrasi dan HAM. Perluasan peran militer, penyempitan ruang praperadilan, dan kriminalisasi kritik adalah sinyal-sinyal bahaya yang harus diwaspadai bersama.
Reformasi hukum sejati seharusnya berorientasi pada penguatan hak warga negara dan penjaminan akuntabilitas kekuasaan, bukan sebaliknya. Selama masyarakat tetap bersuara dan kritis, harapan untuk menjaga marwah hukum sebagai panglima keadilan masih bisa dipertahankan.