Peranan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai Penyidik Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) Pasca Undang-Undang P2SK
Pendahuluan
Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) merupakan generous crime, yaitu kejahatan lanjutan dari tindak pidana asal (predicate crime). Konsekuensi dari sifat ini adalah tidak adanya pencucian uang tanpa adanya tindak pidana asal, sehingga Pasal 74 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU menentukan bahwa penyidikan TPPU dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal, kecuali ditentukan lain. Dalam lingkup tindak pidana asal, sektor jasa keuangan—khususnya perbankan—menjadi salah satu domain penting yang rawan dijadikan instrumen pencucian uang. Pasca diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), kewenangan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengalami perubahan signifikan, termasuk dalam kapasitasnya sebagai penyidik tindak pidana. Sebelum berlakunya UU P2SK, OJK memperoleh kewenangan penyidikan melalui Pasal 49 ayat (1) Undang-Undang OJK yang memberikan kewenangan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana di sektor jasa keuangan. Namun, Pasal 74 UU TPPU beserta penjelasannya secara limitatif hanya menyebut Kepolisian, Kejaksaan, KPK, BNN, DJP, dan DJBC sebagai penyidik tindak pidana asal TPPU. Inkonsistensi normatif ini menimbulkan ketidakpastian hukum, karena di satu sisi OJK memiliki kewenangan menyidik tindak pidana perbankan yang merupakan predicate crime, tetapi di sisi lain tidak secara eksplisit diakui sebagai penyidik TPPU. Persoalan ini sempat diajukan melalui mekanisme judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Putusan MK No. 74/PUU-XVI/2018 tidak menilai substansi karena pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (niet ontvankelijke verklaard), tetapi perkembangan penting terjadi melalui Putusan MK No. 15/PUU-XIX/2021 yang menafsirkan bahwa “penyidik tindak pidana asal” mencakup seluruh instansi yang oleh undang-undang diberi kewenangan melakukan penyidikan. Dengan demikian, OJK sebagai penyidik di sektor jasa keuangan juga berwenang menyidik TPPU yang berasal dari tindak pidana perbankan atau sektor keuangan lainnya.
Pasca berlakunya UU P2SK, posisi OJK semakin diperkuat. Pasal 49 ayat (5) UU P2SK menegaskan bahwa penyidikan tindak pidana di sektor jasa keuangan hanya dapat dilakukan oleh penyidik OJK. Bahkan Pasal 49 ayat (7) huruf m menyebut secara eksplisit bahwa penyidik OJK berwenang melakukan penyidikan TPPU dengan tindak pidana asal di sektor jasa keuangan. Norma ini mengukuhkan OJK sebagai penyidik tunggal atas TPPU di sektor jasa keuangan. Akan tetapi, penguatan ini justru mengalami reduksi melalui terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan. Pasal 2 ayat (1) PP 5/2023 menyatakan bahwa penyidik tindak pidana di sektor jasa keuangan terdiri atas penyidik Kepolisian dan OJK. Selain itu, Pasal 6 hingga Pasal 12 PP 5/2023 menempatkan penyidik OJK di bawah koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis Kepolisian RI. Hal ini mengurangi independensi OJK meskipun tetap mengakui kewenangan substantifnya. Dalam praktik, kapasitas OJK sebagai penyidik memang masih terbatas. Data resmi menunjukkan bahwa saat ini OJK baru memiliki 10 penyidik Polri, 5 PPNS, dan 5 jaksa penugasan sebagai analis perkara, sehingga kebutuhan koordinasi dengan Kepolisian masih relevan, terutama dalam konteks supervisi dan penyerahan berkas perkara ke penuntut umum.
Secara normatif, UU P2SK sebagai lex specialis seharusnya mengesampingkan ketentuan Pasal 74 UU TPPU sepanjang menyangkut kewenangan penyidikan di sektor jasa keuangan. Peran Kepolisian sebagaimana diatur dalam PP 5/2023 seharusnya lebih bersifat koordinatif dan teknis, bukan dominatif. Pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK selaras dengan karakteristik sektor jasa keuangan yang kompleks, membutuhkan otoritas dengan kapasitas teknis dan akses data yang memadai. Dengan demikian, meskipun secara normatif OJK kini memiliki legitimasi kuat sebagai penyidik TPPU di sektor jasa keuangan, keberadaan PP 5/2023 masih menyisakan potensi tumpang tindih kewenangan dan reduksi independensi. Ke depan, agenda penting yang harus dilakukan adalah penguatan kelembagaan dan SDM penyidikan OJK agar mampu menjalankan mandat secara efektif tanpa ketergantungan berlebih pada Kepolisian, serta harmonisasi norma UU P2SK, UU TPPU, dan PP 5/2023 guna menghindari konflik kewenangan dan memberikan kepastian hukum. Dengan demikian, OJK bukan hanya berfungsi sebagai regulator dan pengawas, tetapi juga aktor utama dalam menutup celah pencucian uang melalui sistem keuangan nasional.
Analisis Normatif
Pertama, secara lex specialis, UU P2SK sebagai undang-undang terbaru seharusnya mengesampingkan ketentuan Pasal 74 UU TPPU sepanjang menyangkut kewenangan penyidikan di sektor jasa keuangan.
Kedua, peran Kepolisian dalam PP 5/2023 berfungsi lebih pada aspek koordinasi dan teknis, bukan dominasi. Namun, formulasi pasal-pasal di PP 5/2023 menimbulkan potensi conflict of authority karena mengaburkan mandat tunggal OJK.
Ketiga, secara sistemik, pemberian kewenangan penyidikan kepada OJK selaras dengan karakteristik sektor jasa keuangan yang kompleks, membutuhkan otoritas dengan kapasitas teknis dan akses data yang lebih memadai dibandingkan aparat penegak hukum umum.
Kesimpulan
Pasca berlakunya UU P2SK, OJK memperoleh legitimasi kuat sebagai penyidik TPPU dengan tindak pidana asal di sektor jasa keuangan. Namun, eksistensi PP 5/2023 mereduksi independensi kewenangan tersebut dengan menempatkan OJK di bawah koordinasi Kepolisian.
- Penguatan kelembagaan dan SDM penyidikan OJK, agar mampu menjalankan mandat secara efektif tanpa ketergantungan berlebih pada Kepolisian.
- Harmonisasi norma UU P2SK, UU TPPU, dan PP 5/2023, untuk menghindari tumpang tindih kewenangan serta memberikan kepastian hukum dalam penegakan tindak pidana pencucian uang di sektor jasa keuangan.
Dengan demikian, OJK bukan hanya regulator dan pengawas, tetapi juga aktor utama dalam menutup celah pencucian uang melalui sistem keuangan nasional.
Daftar Pustaka
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan.
Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2023 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Sektor Jasa Keuangan.
Putusan Pengadilan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUU-XVI/2018 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XIX/2021 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Dokumen Resmi
Otoritas Jasa Keuangan, Siaran Pers tentang Penguatan Fungsi Penyidikan di OJK, 2023.