Lex Specialis Derogat Legi Generali, Apakah Cukup?

Di Indonesia, pemidanaan secara umum atau pidana umum diatur di Kitab Undang – Undang Hukum Pidana (KUHP). Selain pidana umum, terdapat pula pidana khusus yang mana diatur di luar KUHP. Pengaturan pemidanaan di luar KUHP merupakan hal yang lumrah terjadi, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara lain. Di Indonesia sendiri, hal tersebut dimungkinkan dengan adanya pengaturan pada Pasal 103 KUHP yang berbunyi:

Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain.

Berikutnya, dengan begitu dimungkinkan terdapat dua peraturan perundang-undangan di tingkatan yang sama yakni undang-undang sebagaimana diatur pada  Pasal 7 ayat (1) Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – Undangan sebagai berikut:

  1. Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
  3. Undang – Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang;
  4. Peraturan Pemerintah;
  5. Peraturan Presiden;
  6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
  7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Dalam penerapannya, bilamana terdapat peraturan khusus yang mengatur hal serupa dengan yang diatur oleh KUHP, maka berlaku asas lex specialis derogat legi generali yang artinya, aturan khusus, dalam hal ini aturan yang diatur dalam Undang – Undang, mengesampingkan aturan umum, dalam konteks ini KUHP.

Pertanyaan lebih lanjut, apakah dimungkinkan suatu ketentuan diatur dalam lebih dari dua undang-undang? Jawabannya adalah iya. Misalnya, pada suatu kasus penambangan tanpa izin di suatu kawasan hutan lindung dengan penjelasan sebagai berikut:

  1. Dari objeknya, kawasan hutan lindung merupakan salah satu bentuk dari kawasan hutan yang pada umumnya diatur di Undang – Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (UU Kehutanan); dan
  2. Dari kegiatannya, pertambangan pada umumnya diatur di Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana diubah dengan Undang – Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan (UU Pertambangan).

Kedua peraturan di atas saling beririsan dan pada peristiwa penambangan tanpa izin di suatu kawasan hutan lindung, setidaknya terdapat pelanggaran atas dua pasal sebagai berikut:

  1. Pasal 78 ayat (6) UU Kehutanan yang mengatur mengenai larangan penambangan dengan pola terbuka pada kawasan hutan lindung; dan
  2. Pasal Pasal 158 jo. Pasal 35 UU Pertambangan yang mengatur mengenai larangan penambangan tanpa izin.

Kemudian, bagaimana menentukan pasal mana yang tepat untuk diterapkan pada kasus tersebut? Mengingat keduanya sama-sama diatur di peraturan perundang-undangan khusus dan memiliki kedudukan yang sama di hierarki peraturan perundang-undangan.

Pada hukum pidana, dikenal turunan dari asas lex specialis derogat legi generali, yaitu lex specialis sistematis yang dapat digunakan apabila penggunaan asas lex specialis derogat legi generali tidak cukup untuk menjawab suatu permasalahan hukum. Selain lex specialis sistematis, asas ini juga dikenal sebagai specialitas yuridikal, specialitas sistematikal, dan ada pula yang menyebutnya sebagai logische specialiteit. Untuk menentukan ketentuan manakah yang tergolong lex specialis sistematis, terdapat tiga parameter yang dapat digunakan, yaitu:

  1. Penyimpangan ketentuan pidana materiil atas ketentuan pidana umum pada undang-undang tersebut;
  2. Penyimpangan ketentuan hukum acara pidana atas hukum acara pidana pada umumnya pada undang-undang tersebut; dan
  3. Kehususan adresat atau subjek hukum pada undang-undang tersebut.

Lebih lanjut, apabila asas lex specialis sistematis juga belum bisa menjawab permasalahan hukum mengenai ketentuan mana yang diterapkan sehingga menciptakan permasalahan penegakan hukum, terdapat perkembangan asas lex specialis sistematis, yaitu lex consumen derogatelegi consumte. Asas lex consumen derogate legi consumte diartikan sebagai hukum pidana khusus yang satu mengabsorbsi hukum pidana khusus lainnya dengan mendasarkan pada fakta-fakta yang dominan dalam suatu perkara (Hiariej, 2021).

 

Referensi:

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan

Hiariej, Edward Omar Sharif. “Asas Lex Specialis Systematis dan Hukum Pidana Pajak.” Jurnal Penelitian Hukum De Jure 21, no. 1 (2021): 1-12.

Kategori :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *