Indonesia merupakan negara dengan tingkat populasi yang tinggi, peran media menjadi begitu penting dan memiliki pengaruh besar dalam penyebaran informasi di masyarakat. Tidak hanya pada penyiaran pemberitaan namun juga pada penggiringan opini hingga membentuk mindset bangsa. Dengan demikian perspektif masyarakat atas suatu informasi menjadi sangat krusial. Dampak yang ditimbulkan dari penyiaran yang tidak sesuai etika penyiaran dan maraknya penyimpangan yang mungkin saja dipertontonkan di media berpotensi memberikan pemahaman yang keliru di masyarakat dan menimbulkan polemik dan kontroversi. Sebagai salah satu contoh konkret adalah pada saat masa kampanye pilpres dan pilkada, kecenderungan informasi media mengarah pada pasangan calon tertentu, terlebih dengan adanya keterlibatan politis pada penguasa media di Indonesia. Sehingga kenetralan media pada masa kampanye diragukan, alih alih bersembunyi dibalik apa yang disebut “kebebasan pers”.
Saat ini, penyebaran informasi di media sosial begitu cepat, bahkan kini masyarakat bisa mendapat informasi terbaru dalam hitungan detik, sedangkan dengan kemudahan tersebut,bila tidak diimbangi dengan peraturan yang tepat yang bisa mengurangi penyebaran informasi yang tidak sesuai, maka masyarakat akan dengan mudah terpapar oleh berita bohong, hoax dan informasi tidak berkualitas lainnya. Dapat dibayangkan jika media tidak lagi menyampaikan fakta namun juga menjadi sarana berpolitik, masyarakat hanyalah sebagai konsumen yang harus rela disuapi oleh informasi yang tidak berintegritas, sarat politis dan penggiringan opini publik.
Dengan demikian, urgensi mengenai revisi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran yang menjadi dasar dan landasan hukum pada penyelenggaraan penyiaran, dirasa perlu, mengingat peraturan tersebut mengatur segala hal menyangkut mengenai penyiaran yang tertuang pada kekuasaan dan kewenangan KPI (Komisi Penyiaran Indonesia). Adapun pada revisi tersebut menambahkan ruang lingkup kewenangan KPI (yang semula pada bagian Ketentuan Umum Pasal 1 UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran menjelaskan bahwa yang dimaksud Penyiaran yang dimaksud hanya penyiaran radio dan televisi. Sedangkan pada revisi UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran ditambahkan konten digital sebagai salah satu ruang lingkup penyiaran yang turut diawasi oleh KPI. Banyak sekali kontroversi yang terjadi dengan adanya penambahan poin tersebut, mengingat, potensi penyalahgunaan kewenangan oleh KPI yang dapat membatasi demokrasi dan kebebasan berpendapat ditengah masyarakat. Karena dengan kekosongan hukum ini, masyarakat dengan mudah memposting dan mengupload opini serta pandangan mereka tanpa mengkhawatirkan KPI. Terlebih pada Pasal 50B ayat (2) terdapat larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi, yang dinilai dapat membatasi informasi yang menjadi hak masyarakat mengenai fakta fakta aktual hasil investigasi. Ini yang menjadi momok bagi masyarakat karena dinilai dapat menjadi alat dalam menutupi fakta kasus korupsi dan identitas para pelaku koruptor atau pelaku tindak pidana lainnya. Namun, di sisi lain terdapat klausul yang melarang tayangan isi siaran dan konten siaran yang menyajikan perilaku lesbian, homoseksual, biseksual dan transgender, dengan mudahnya akses konten LGBT di sosial media, hadirnya klausul ini dinilai menjadi penyelamat dalam menjaga moralitas masyarakat dan generasi penerus bangsa.
Selain itu, terdapat larangan penayangan isi siaran dan konten siaran yang mengandung berita bohong, fitnah, penghinaan dan pencemaran nama baik. Mengenai pencemaran nama baik, tentunya menjadi bias dan tidak memiliki definisi mendasar apa yang menjadi landasan mengenai pencemaran nama baik itu sendiri, apa yang menjadi faktor dan ukuran dari definisi penemaran dan lain sebagainya. Tentunya klausul klausu pada revisi UU No. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran ini tidak dapat berdiri sendiri dan membutuhkan penjelasan serta ruang lingkup yang lebih komprehensif.
Dengan demikian, kontroversi pasti akan terus terjadi hingga ada pengesahan revisi UU Penyiaran, namun, dengan adanya penambahan klausul klausul tersebut, apakah akan membawa atmosfer penyiaran indonesia lebih baik? Menurut sobat ALO bagaimana? Tulis opinimu di kolom komentar ya!