Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan Cahaya dalam Penanganan Kekerasan Seksual

Setiap manusia berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan perbuatan yang merendahkan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. Maraknya kasus kekerasan seksual sering kali menjadi permasalahan serius dalam masyarakat. Selain dampaknya yang merusak bagi psikis dan fisik korban, penanganan hukum terhadap kasus ini sering kali menemui kendala, terutama dalam hal pembuktian. 

Kehadiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (“UU TPKS”) menjadi harapan baru dalam menciptakan sistem hukum yang lebih responsif dan berpihak kepada korban. Undang-undang ini tidak hanya mengatur mekanisme pencegahan dan perlindungan, tetapi juga memberikan ruang bagi korban untuk mendapatkan keadilan secara lebih komprehensif.

Dalam sistem hukum Indonesia, Kitab Undang-Undang Pidana (“KUHP”) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) sebelumnya sudah mengatur dalam perkara pidana. Namun, lahirnya UU TPKS memberikan landasan hukum yang lebih spesifik dan jelas terkait alat bukti yang dapat digunakan untuk membuktikan tindak pidana kekerasan seksual. UU TPKS juga memperluas pengakuan terhadap alat bukti dalam proses peradilan pidana, sehingga diharapkan dapat meningkatkan efektivitas penanganan kasus kekerasan seksual dan memberikan perlindungan yang lebih baik bagi korban.

 

Aturan Kekerasan Seksual dalam KUHP

Dalam KUHP, terdapat beberapa pasal yang berkaitan dengan tindak pidana kekerasan seksual, yaitu:

  1. Pasal 285: Pemerkosaan, Pasal ini mengatur bahwa setiap orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang perempuan untuk bersetubuh dengannya diancam dengan pidana penjara maksimal 12 tahun.
  2. Pasal 286: Pemerkosaan terhadap Perempuan yang Tidak Berdaya, Tindakan melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang diketahui dalam keadaan tidak berdaya karena pingsan atau sebab lainnya, diancam dengan pidana penjara maksimal 9 tahun.
  3. Pasal 289: Perbuatan Cabul dengan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan, Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan kekerasan atau ancaman kekerasan diancam dengan pidana penjara maksimal 9 tahun.
  4. Pasal 290: Perbuatan Cabul terhadap Anak di Bawah Umur atau Tidak Berdaya, Perbuatan cabul terhadap anak di bawah umur atau seseorang yang tidak berdaya secara fisik maupun mental diancam dengan pidana maksimal 7 tahun.
  5. Pasal 293: Memaksa anak di bawah umur untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, Membujuk anak di bawah umur untuk melakukan perbuatan cabul diancam pidana maksimal 5 tahun.

 

Macam-Macam Alat Bukti

a. Alat Bukti KUHAP

  1. Keterangan Saksi Keterangan saksi tetap menjadi salah satu alat bukti utama dalam kasus kekerasan seksual. Saksi dapat berupa korban sendiri, saksi mata, atau pihak lain yang memiliki pengetahuan terkait peristiwa tersebut. Ketentuan ini sesuai dengan Pasal 1 angka 26 KUHAP. 
  2. Keterangan Ahli Keterangan ahli digunakan untuk memberikan pendapat profesional, misalnya dari psikolog, dokter forensik, atau ahli teknologi informasi jika kasus melibatkan bukti digital. Hal ini diatur dalam Pasal 186 KUHAP. 
  3. Surat atau Dokumen Surat atau dokumen yang relevan dengan kasus, seperti hasil pemeriksaan medis, laporan psikologis, atau bukti administratif lainnya, dapat digunakan sebagai alat bukti. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 187 KUHAP. 
  4. Petunjuk Petunjuk adalah fakta yang ditemukan dari rangkaian peristiwa yang saling berhubungan. Dalam konteks kekerasan seksual, petunjuk dapat berupa jejak fisik, rekaman video, atau data digital yang mendukung fakta kejadian. Hal ini sesuai dengan Pasal 188 KUHAP. 
  5. Keterangan Terdakwa Pengakuan atau pernyataan dari terdakwa juga dapat menjadi bagian dari alat bukti, meskipun harus diverifikasi dengan alat bukti lainnya. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 189 KUHAP. 

b. Alat Bukti Lain

UU TPKS memperluas definisi alat bukti dengan mencakup bukti elektronik sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Selain dari yang diatur dalam KUHAP, terdapat perluasan atas alat bukti lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 24 – Pasal 25 UU TPKS, yaitu:

  1. Rekaman Elektronik, bukti berupa rekaman percakapan, video, atau dokumen digital yang relevan dengan kasus kekerasan seksual. 
  2. Data Digital, data yang diperoleh dari perangkat elektronik, seperti ponsel, komputer, atau media sosial, dapat digunakan untuk mendukung pembuktian. 
  3. Hasil Pemeriksaan Psikologis, dalam banyak kasus kekerasan seksual, dampak psikologis pada korban menjadi bagian penting dalam pembuktian. Hasil pemeriksaan psikologis dapat menunjukkan adanya trauma yang konsisten dengan peristiwa kekerasan seksual. 
  4. Barang Bukti Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dalam hal ini barang bukti yang digunakan dalam melakukan tindak pidana, hasil tindak pidana, dan/atau berhubungan dengan kekerasan seksual. 
  5. Alat Bukti Surat, sebagaimana diperluas dengan adanya surat keterangan psikolog klinis dan/atau psikiater/dokter spesialis kedokteran jiwa, rekam medis, hasil pemeriksaan forensik, dan/atau hasil pemeriksaan rekening bank. 
  6. Keterangan Saksi dan/atau Korban, dalam UU TPKS keterangan saksi dan/atau korban dianggap cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah jika disertai dengan 1 (satu) alat bukti sah lainnya dan hakim memperoleh keyakinan bahwa benar telah terjadi tindak pidana dan terdakwalah yang bersalah. 

Tantangan Pembuktian dalam Kasus Kekerasan Seksual

Meski UU TPKS memberikan landasan hukum yang kuat, pembuktian kasus kekerasan seksual tetap memiliki tantangan tersendiri. Beberapa tantangan yang sering dihadapi meliputi:

  1. Minimnya Saksi Mata Kekerasan seksual sering terjadi di tempat tertutup atau tanpa saksi mata, sehingga pembuktian bergantung pada alat bukti lain seperti keterangan korban atau bukti elektronik. 
  2. Stigma Sosial Korban kekerasan seksual sering menghadapi stigma yang membuat mereka enggan melapor. Hal ini dapat mempengaruhi kelengkapan bukti yang diajukan. 
  3. Penghapusan Bukti Digital Dalam kasus yang melibatkan bukti elektronik, terdakwa dapat mencoba menghapus bukti. Oleh karena itu, pengamanan bukti digital sejak dini menjadi sangat penting. 
  4. Kendala Teknis dalam Pemeriksaan Forensik Pemeriksaan forensik, baik medis maupun digital, memerlukan keahlian khusus dan waktu yang cukup, sehingga proses ini sering kali menjadi hambatan dalam pembuktian.

 

Dengan adanya perluasan jenis alat bukti dan memberikan perlindungan hukum yang lebih baik, diharapkan mampu memberikan keadilan bagi korban. Meski tantangan pembuktian tetap ada, kolaborasi antara aparat penegak hukum, ahli, dan masyarakat menjadi kunci dalam menyelesaikan kasus-kasus kekerasan seksual secara efektif.

Kategori :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *