Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi membawa dampak yang sangat signifikan terhadap kehidupan manusia. Kemajuan yang ditawarkan oleh teknologi informasi dan komunikasi ialah kemudahan akses memperoleh informasi dari berbagai sumber seperti internet dan media sosial. Kemudahan tersebut tidak terlepas dari adanya tantangan baru di bidang hukum, salah satunya ialah hak atas privasi dan data pribadi.
Hak atas privasi merupakan hak asasi manusia (HAM) yang dilindungi oleh negara kepada setiap individu untuk memperoleh rasa aman, kehormatan, martabat, dan harta bendanya. Hak atas privasi juga dimaknai sebagai perlindungan terhadap individu untuk menentukan apakah informasi yang diberikan akan dikomunikasikan oleh orang lain atau tidak. Dengan begitu, pengumpulan atau penyebarluasan data pribadi merupakan pelanggaran terhadap privasi seseorang karena hak atas privasi menentukan memberikan atau tidak memberikan data pribadi.(Manthovani, 2015).
Konsep yang paling dasar dari adanya perlindungan data pribadi pertama kali diawali oleh adanya putusan-putusan pengadilan Inggris dan Amerika Serikat yang memicu banyak perdebatan terkait hak atas privasi. Imbas dari adanya perbedaan pendapat terkait hak atas privasi, Warren and Louis Brandeis kemudian mempublikasikan artikelnya yang berjudul “The Right to Privacy” yang berisi penghormatan terhadap hak-hak individu untuk menikmati kehidupan, perasaan, serta pikirannya.[1]
Di Indonesia sendiri, hak perlindungan data pribadi sebagai salah satu hak asasi manusia telah diakui jauh sebelum Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi diberlakukan. Hal ini terlihat dalam Pasal 28 G Ayat (1) UUD 1945 yang intinya menegaskan pentingnya hak privasi dan hak setiap individu untuk dilindungi dalam kehidupan pribadi, keluarga, serta merasa aman dalam bertindak atau tidak bertindak. Pasal tersebut tidak secara langsung menjelaskan mengenai perlindungan data pribadi tetapi secara tersirat mengamanatkan mengenai perlindungan diri pribadi yang tentunya berkaitan dengan dasar-dasar terhadap perlindungan data pribadi maupun hak privat, salah satunya ialah hak seseorang untuk mendapatkan pengamanan terhadap datanya dan melakukan pembenaran seseorang untuk menggunakan data pribadi dirinya.
Hukum yang secara khusus mengatur mengenai Perlindungan Data Pribadi di Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi yang disingkat UU PDP. Undang-Undang ini mengatur mengenai persyaratan pembatasan, akuntabilitas, dan transparansi terhadap subjek data pribadi yang dilakukan oleh pengendali maupun prosesor data pribadi. Kehadiran UU PDP menandai sebuah era baru dan menjadi kabar baik dalam perkembangan perlindungan data pribadi di Indonesia.
Keketatan menjalankan kewajiban terhadap perlindungan data pribadi dalam UU PDP, hendaknya tidak mengurangi dan mengorbankan hak dasar lain yang diatur di dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, salah satunya ialah hak kebebasan berekspresi dan hak kebebasan pers. Mengingat kerja-kerja dari Jurnalisme ialah mengumpulkan dan mempublikasikan data pribadi, sangat penting untuk menyeimbangkan hak atas privasi dan hak atas kebebasan pers.
Jika kita meninjau hukum positif di Eropa, hak atas privasi tidak bersifat mutlak dan memiliki pembatasan tertentu sesuai dengan hukum, pengecualian hak atas privasi harus memenuhi beberapa syarat diantaranya, pembatasan hak atas privasi tersebut diperlukan dalam masyarakat demokratis dalam arti bahwa pembatasan tersebut melayani kebutuhan sosial yang mendesak, alasan pembatasan tersebut relevan dan memadai, serta proporsional dengan tujuan yang ingin dicapai.[2]
Upaya menyeimbangkan 2 (dua) hak dasar tersebut dapat dianalisa lebih luas dari konsep hak atas privasi itu sendiri yang dijelaskan oleh Warren dan Louis Brandeis dalam “The Right to Privacy” bahwasanya hak atas privasi tidak melarang publikasi yang merupakan kepentingan publik atau kepentingan umum. Kepentingan publik atau umum yang dimaksud publikasi suatu individu yang menjadi perhatian publik seperti calon pejabat politik.[3] Dengan demikian, hak atas privasi tidak berlaku mutlak kepada semua individu, tetapi ada batasan-batasan yang harus diidentifikasi dalam publikasi, yaitu publikasi tersebut memiliki hubungan yang sah dengan kesesuaiannya sebagai tokoh publik.
Adapun Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa dalam memutus perkara hak atas privasi tokoh publik melawan majalah asal Jerman merangkum beberapa kriteria untuk menyeimbangkan antara kebebasan berekspresi dan privasi, yaitu:
1) Apakah publikasi tersebut berkontribusi pada perdebatan yang menyangkut kepentingan umum;
2) Seberapa terkenalnya orang yang bersangkutan dan apa yang menjadi pokok bahasan dalam laporan tersebut;
3) Perilaku orang yang bersangkutan sebelumnya;
4) Metode mendapatkan informasi tersebut;
5) Isi, bentuk, dan akibat dari publikasi tersebut;
6) Berat ringannya sanksi yang dijatuhkan.
Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa menyatakan bahwasanya campur tangan Negara Jerman dalam Pengadilan nasionalnya terhadap kebebasan berekspresi bertentangan dalam masyarakat demokratis dan tidak ada hubungan yang proporsional antara pembatasan-pembatasan yang diberlakukan oleh pengadilan nasional terhadap kebebasan berekspresi majalah asal Jerman.
Dalam kaitannya Jurnalis dengan hak atas privasi maupun perlindungan data pribadi, Uni Eropa beranggapan bahwasanya perlu adanya pembatasan atau pengecualian bagi jurnalis pada perlindungan data pribadi dikarenakan hak atas privasi dan kebebasan berpendapat merupakan bagian yang fundamental dari hukum di Uni Eropa. Kedua hak tersebut sama-sama diatur didalam Piagam Hak Asasi Manusia atau European Convention of Human Rights (CoE).
Referensi.
Madibekova, D. (2018, June 20). Right to Privacy of Public Figures and Freedom of Expression in the Jurisprudence of the European Court of Human Rights: Searching for Balance. Papers.ssrn.com. https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=3585990
Warren, S. D., & Brandeis, L. D. (1890). The Right to Privacy. Harvard Law Review, 4(5), 193–220. https://doi.org/10.2307/1321160