Seumpama Bunga Ditembok, Penghormatan Hak Asasi Manusia Oleh Negara Adalah Hal Yang Mulai Rontok Pada Babak Awal Pemerintahan Prabowo-Gibran dan Proyeksi Wajah Penghormatan HAM ala Asta Cita

Tulisan ini terinspirasi dari Puisi Karya Wiji Tukul yang berjudul “Bunga dan Tembok” yang dikorelasikan dengan kondisi Indonesia hari ini, hak asasi manusia yang seharusnya menjadi prinsip dan nilai utama yang tumbuh di setiap rezim pada babak awal pemerintahan Prabowo-Gibran harapan itu layu sebelum sempat berkembang. Hal tersebut diakibatkan oleh statement Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza yang menyatakan bahwa peristiwa 1998 bukanlah pelanggaran HAM berat.[1] Statement tersebut memperkokoh pesimisme publik terhadap penegakan HAM dalam Asta Cita ala Prabowo-Gibran, padahal Pemerintah seharusnya menjadi ujung tombak penghormatan HAM di Indonesia

Hal ini bukanlah hanya mimpi-mimpi disiang bolong namun berlandaskan hukum yang berlaku secara Internasional maupun dalam Hukum Indonesia itu sendiri, beberapa instrument hukum tersebut di antaranya adalah Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 1948 : Pasal 1-2: Mengakui bahwa semua manusia dilahirkan merdeka dan memiliki hak-hak yang sama, dan negara memiliki kewajiban untuk menghormati dan melindungi hak-hak tersebut tanpa diskriminasi. Pasal 28: Setiap orang berhak atas tatanan sosial dan internasional di mana hak-hak asasi dapat ditegakkan. Ini menekankan peran negara dalam menciptakan sistem hukum yang melindungi HAM. International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) 1966 : Pasal 2(1): Negara peserta berkewajiban menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam Kovenan ini untuk semua orang di dalam yurisdiksinya. Pasal 2(3): Negara diwajibkan untuk menyediakan solusi hukum bagi setiap individu yang hak-haknya dilanggar. International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) 1966, Pasal 2(1): Negara berkewajiban untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan, baik melalui sumber daya nasional maupun internasional, guna mencapai penegakan penuh hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Dalam Hukum Indonesia konstitusi yang merupakan hukum tertinggi di Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada Pasal 28I ayat (4): Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Pasal 28G ayat (1): Menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda di bawah kekuasaan hukum. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia : Pasal 8: Negara bertanggung jawab atas perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM. Pasal 71: Pemerintah wajib dan bertanggung jawab untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Pasal 7: Menyebutkan bahwa negara memiliki kewajiban untuk menindak pelanggaran HAM berat, seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Pernyataan tersebut menafikan hasil penemuan berbagai Tim Pencari Fakta; dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TPGF) yang dibentuk Presiden Ketiga RI B.J Habibie, Investigasi oleh Lembaga Internasional Amnesty International dan Human Rights Watch, hingga Komite Solidaritas Kemanusiaan (KSK) untuk Perempuan dan Anak Korban Kekerasan Mei 1998 yang hingga detik ini konsisten menuntut keadilan terhadap mereka yang menjadi korban 98.[2] Pernyataan tersebut mengingkari rasa sakit yang masih terpatri dalam ingatan korban pelanggaran HAM masa lalu, mengiris hati seorang ibu yang menghabiskan sisa umurnya dalam sedih yang panjang dan perasaan kehilangan yang begitu rutin, salah satunya adalah Bu Sumarsih.

5852 hari melalui 836 aksi kamisan telah dia lalui untuk menuntut keadilan terhadap anaknya yang tertembak timah panas pada tahun 1998. Awal Bu Sumarsih berdiri sendiri atau bersama segelintir korban pelanggaran HAM yang belum dituntaskan negara seperti Mbak Suciwati (Istri Almarhum Munir) sampai dititik Dimana ribuan orang silih berganti meneriakan keadilan agar Negara tidak kabur dari hal yang seharusnya dipertanggung jawabkan.[3] Tidak berhenti hanya berdiri didepan Istana Negara Bu Suciwati juga mengirimkan ratusan surat yang tak berbalas kepada Presiden, total 817 surat telah dikirimkan, “Surat yang kami kirimkan pada zaman SBY adalah sebanyak 339 pucuk surat. Sementara pada masa pemerintahan Jokowi sebanyak 476 pucuk surat” Ucap Suciwati.[4]

Tidak berhenti disitu, warisan teranyar pelanggaran HAM akibat ambisi Pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) juga merupakan pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan Probowo-Gibran, melalui beragam revisi peraturan untuk mempermulus pembangunan PSN, Presiden Joko Widodo lupa bahwa hak atas tanah dan ruang hidup Masyarakat juga merupakan Hak Asasi Manusia. KPA juga mencatat, sepanjang 2020-2023, ada 115 letusan konflik agraria akibat PSN. Luas lahan dan jumlah korban terdampak masing-masing 516.409 ha dan 85.555 keluarga. Beberapa konflik itu terjadi seiring percepatan PSN, antara lain terkait penggusuran lahan hutan Bowosie untuk infrastruktur Kawasan Strategis Pariwisata Nasional Komodo, Tol Padang-Pekanbaru, Waduk Sepaku Semoi di Ibu Kota Nusantara, dan PLTA di Pinrang.[5]

Melalui Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2023 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2018 Tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Nasional (Perpres 78/2023) Presiden Joko Widodo menghadirkan beleid untuk memberikan karpet merah bagi Pembangunan infrastruktur dan investasi namun sayangnya mengesampingkan hak atas tanah. Hal tersebut malah mengaburkan Nawa Cita Joko Widodo sendiri untuk melaksanakan mandat TAP MPR No. IX Tahun 2001 yang memandatkan, pembaharuan agraria yang mencakup suatu proses yang berkesinambungan dalam penataan kembali, penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria; peraturan ini justru akan menjadi hambatan bagi tercapainya program Presiden sendiri terkait reforma agraria.

Secara historis Joko Widodo memang telah mencoba untuk menghadirkan regulasi untuk memperlancar proyek-proyek infrastruktur, dimulai dari Perpres 56/2017 dan kemudian direvisi melalui Perpres 62/2018. Pada perkembangan terakhir direvisi melalui Perpres 78/2023. Peraturan baru ini memperluas ruang lingkup proyek yang termasuk dalam kategori Pembangunan Nasional. Jika Perpres 56/2017 spesifik ditujukan untuk PSN, maka kebijakan terbaru ini justru diperluas untuk kepentingan proyek-proyek selain PSN. Perpres 78/2023 berpotensi merampas hak atas tanah rakyat. Ketidakpahaman Presiden dalam memahami konsepsi negara hukum dan sejarah konflik agraria yang berakar dari kekeliruan memaknai Hak Menguasai Negara mengaburkan fakta keberadaan masyarakat yang memanfaatkan suatu bidang tanah dalam pengelolaannya jauh sebelum suatu entitas badan pemerintahan, badan hukum, atau badan usaha milik negara hadir mengambil alih tanahnya.[6] Hal ini dapat dilihat dari Konflik Agraria Rempang Dimana negara mengabaikan Hak Atas Tanah yang sudah ada semenjak turun-temurun bahkan sebelum Indonesia Merdeka.

Jika berbicara masa depan, salah satu visi Prabowo-Gibran yang tertumpah dalam Asta Cita adalah pertumbuhan ekonomi sebesar 8% yang jika tidak dilakukan secara hati-hati, inklusif dan merata malah akan memperluas jurang ketimpangan di Indonesia.[7] Tentu dalam menjalankan ketiga prinsip tersebut Prabowo-Gibran harus menyertakan penghormatan HAM dalam setiap proses pengambilan kebijakan, apalagi kehadiran United Nations Guiding Principles (UNGP) yang diadopsi melalui Perpres 60 Tahun 2023 tentang Strategi Nasional Bisnis dan Hak Asasi Manusia mengharuskan Negara menghormati, melindungi dan memberikan kompensasi terhadap korban pelanggaran HAM oleh bisnis-bisnis milik Negara maupun Swasta.

Perpres 60 Tahun 2023 tentang Strategi Nasional Bisnis dan HAM membawa perubahan penting bagi iklim bisnis di Indonesia dengan menekankan kepatuhan pada standar internasional yang memiliki tiga pillar yaitu untuk melindugi, menghormati dan memberikan akses pemulihan terhadap korban pelanggaran HAM oleh sektor bisnis. Perusahaan diharapkan lebih transparan dan bertanggung jawab dalam mengidentifikasi dan mengelola dampak sosial serta HAM dari aktivitas bisnis mereka, terutama melalui penerapan Human Rights Due Diligence (uji tuntas HAM). Hal ini meningkatkan daya saing global perusahaan Indonesia dengan memperbaiki reputasi dan menarik perhatian konsumen serta investor internasional yang peduli pada keberlanjutan.

Regulasi ini juga mengurangi risiko hukum dan reputasi bagi perusahaan, karena pelanggaran HAM dapat memicu konsekuensi hukum serius. Perpres ini mempromosikan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan organisasi masyarakat sipil untuk menciptakan lingkungan bisnis yang lebih inklusif dan adil, serta memberikan perlindungan khusus bagi kelompok rentan, seperti perempuan, anak-anak, dan masyarakat adat yang sering terkena dampak dari proyek bisnis yang tidak bertanggung jawab.

Secara keseluruhan, Perpres ini mendorong perusahaan untuk meningkatkan kesadaran dan kapasitas dalam mengintegrasikan prinsip-prinsip HAM ke dalam bisnis mereka, menciptakan iklim bisnis yang lebih transparan, berkelanjutan, dan berbasis hak asasi manusia di Indonesia.

Dan kini, kita berdiri di persimpangan waktu yang genting—seumpama bunga yang tumbuh di sela tembok, perjuangan untuk keadilan dan penegakan hak asasi manusia tidak akan pernah mudah. Namun, semakin lama dibiarkan, semakin kokoh pula tembok yang menutupi kebenaran. Dalam bayang-bayang pergantian rezim yang enggan menoleh ke masa lalu, kita tak boleh membiarkan harapan itu layu.

Sebagai rakyat, tanggung jawab kita bukanlah sekadar menjadi saksi, melainkan menjadi penjaga—watchdog—bagi pemerintahan, agar luka lama diobati, pelanggaran HAM masa kini diusut, dan masa depan dipagari dengan penghormatan terhadap Hak Asasi yang nyata. Ketika ada pelanggaran HAM oleh Negara kita harus berteriak serentak Kembali mengingatkan kenapa mereka duduk di kursi itu.

Saat penegakan HAM menjadi janji yang berulang kali diabaikan, kita adalah mereka yang terus mengingatkan, bahwa keadilan bukan sekadar utopia, tapi tuntutan moral yang harus dijawab oleh setiap rezim yang berkuasa. Perjuangan ini belum usai; dan bunga itu, harus kita pastikan tumbuh, menembus tembok kekuasaan. Kita harus tetap ada dan berlipat ganda agar saya, kamu, dan mereka senantiasa dilindungi oleh prinsip dan nilai Pemerintahan yang menghormati Hak Asasi Manusia dalam setiap proses pengambilan kebijakannya.

 

REFERENSI

[1] https://koran.tempo.co/read/cover-story/490362/cuci-dosa-pelanggaran-ham

[2] https://www.bbc.com/indonesia/articles/c8vzzmrz985o

[3] https://narasi.tv/read/narasi-daily/bukan-kamisan-terakhir#google_vignette

[4] https://economica.id/aksi-kamisan-ke-836-surat-terakhir-aksi-kamisan-untuk-presiden-ri/

[5] https://www.kompas.id/baca/ekonomi/2024/01/15/lapar-lahan-proyek-strategis-nasional-picu-konflik

[6] https://www.walhi.or.id/demi-genjot-proyek-strategis-jokowi-terbitkan-peraturan-percepat-perampasan-tanah-rakyat-1

[7] https://www.cnbcindonesia.com/opini/20241018113127-14-580767/target-pertumbuhan-ekonomi-8-prabowo-gibran-ilusi-atau-realistis

Kategori :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *