Problematika Hukum Pengesampingan Pasal 1266 & 1267 KUHPerdata

Pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) lazim dilakukan dalam praktik pembuatan perjanjian, terutama kontrak bisnis. Pengesampingan Pasal 1266 umumnya diikuti Pasal 1267 KUHPerdata secara bersamaan. Kedua pasal tersebut merupakan bagian dari Buku Ketiga KUHPerdata mengenai Perikatan yang banyak memuat ketentuan hukum yang bersifat terbuka (aanvullend recht). Berikut isi dan maksud ketentuan dalam Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUHPerdata:

  1. Pasal 1266 KUHPerdata menyatakan:
    Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal balik, andaikata salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada Pengadilan.

Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam persetujuan. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, maka Hakim dengan melihat keadaan, atas permintaan tergugat, leluasa memberikan suatu jangka waktu untuk memenuhi kewajiban, tetapi jangka waktu itu tidak boleh lebih dan satu bulan.”

Jika pasal tersebut dikesampingkan maka apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya, maka perikatan tidak serta-merta batal demi hukum melainkan harus dimintakan pembatalan ke pengadilan.

  1. Pasal 1267 KUHPerdata menyatakan:

Pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih; memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan persetujuan, dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga.

Jika pasal tersebut dikesampingkan maka pihak yang haknya tidak dipenuhi tidak perlu memilih untuk memaksa pihak lainnya memenuhi perjanjian atau menuntut pembatalan perjanjian dengan ganti rugi.

Mengenai pengesampingan ini, pengadilan di Indonesia memberikan sikap yang berbeda-beda karena terdapat putusan yang menerima dan menolak pengesampingan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUHPerdata. Pada perkara PT Hosseldy Rabel (penggugat) melawan PT Kereta Api Indonesia (tergugat) dengan nomor perkara 153 PK/Pdt/2012, Majelis Hakim menerima pengesampingan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUHPerdata pada perjanjian sewa menyewa tanah seluas 3.096 m² pada 23 November 1995. Tanah yang disewakan adalah tanah milik tergugat yang terletak di Jalan Nyi Raja Permas, Kota Bogor. Majelis Hakim berpendapat bahwa pasal-pasal dalam perjanjian disepakati bersama oleh para pihak yang diikuti dengan pembubuhan tanda tangan. Dengan demikian, klausul pengesampingan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUHPerdata harus dipandang mengikat para pihak sehingga pembatalan perjanjian tidak perlu dimintakan ke pengadilan. Pertimbangan tersebut didasarkan pada asas konsensualisme, asas kebebasan berkontrak, dan asas kekuatan mengikatnya perjanjian (pacta sunt servanda) sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata.

Di sisi lain, pengadilan juga pernah memutus perkara dengan menolak pengesampingan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUHPerdata. Salah satunya dalam perkara Soegianto dan Ellies Soegianto (penggugat) melawan Eka Gunawan dan Linda Soetanto (tergugat) dengan nomor perkara 2821 K/Pdt/2009. Mulanya penggugat mengadakan perjanjian dengan tergugat mengenai mekanisme peralihan aset akibat adanya pecah kongsi antara dua pihak tersebut. Dalam perjanjian, para pihak sepakat untuk mengesampingkan ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata. Sengketa timbul ketika penggugat terlambat melakukan pembayaran sebanyak dua kali. Pertama, cicilan keenam yang jatuh tempo tanggal 30 November 2006 namun dibayarkan tanggal 28 Maret 2008. Kedua, cicilan ketujuh yang jatuh tempo tanggal 28 Februari 2007 namun dibayarkan tanggal 31 Maret 2008. Dengan demikian, penggugat telah melakukan wanprestasi karena tidak membayar cicilan melebihi batas waktu 12 bulan. Oleh karena itu, tergugat berhak membatalkan perjanjian secara sepihak tanpa melalui pengadilan, seluruh keadaan kembali seperti semula, serta seluruh uang yang telah dibayarkan penggugat menjadi hak tergugat tanpa dapat dituntut kembali oleh penggugat. Namun, Majelis Hakim berpendapat bahwa Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUHPerdata adalah ketentuan yang bersifat memaksa (dwingend recht) sehingga tidak dapat disimpangi. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung memutus tergugat telah wanprestasi, wajib menerima pembayaran dari penggugat, dan dihukum melaksanakan isi perjanjian. Putusan tersebut kemudian dibatalkan oleh pengadilan tingkat banding dan kembali dikuatkan pada upaya hukum peninjauan kembali.

Hingga saat ini memang tidak terdapat ketentuan hukum tertulis yang memisahkan pasal-pasal KUHPerdata sebagai ketentuan hukum memaksa yang tidak dapat disimpangi dan ketentuan hukum pelengkap yang dapat disimpangi. Buku Ketiga KUHPerdata berjudul Perikatan bersifat terbuka sehingga ketentuan-ketentuan hukum di dalamnya hanya bersifat pelengkap (aanvullend recht) dan dapat disimpangi. Hal ini menjadi salah satu hambatan pelaksanaan perjanjian dengan pengesampingan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUHPerdata karena masih terdapat perbedaan penafsiran di antara para hakim di pengadilan ketika timbul sengketa. Selain itu, meski pengesampingan Pasal 1266 umumnya selalu diikuti dengan Pasal 1267 KUHPerdata, kedua pasal tersebut memiliki makna yang sangat berbeda dan pengesampingan Pasal 1267 KUHPerdata justru dapat mendatangkan kerugian.

Implikasi pengesampingan Pasal 1267 KUHPerdata pada kontrak bisnis menyebabkan pihak yang haknya tidak dipenuhi kehilangan hak untuk:

  1. memaksa pihak lainnya memenuhi perjanjian; atau
  2. menuntut pembatalan perjanjian dengan ganti biaya, rugi, dan bunga.

Hal ini berpotensi mendatangkan kerugian yang lebih banyak kepada pihak yang sedari awal telah mengalami kerugian akibat haknya tidak dipenuhi oleh pihak lainnya. Oleh karena itu, untuk menghindari potensi kerugian berlebih pengesampingan Pasal 1266 dan/atau Pasal 1267 KUHPerdata harus dilakukan sesuai konteks dan kebutuhan masing-masing pihak. Para pihak juga dapat memilih untuk mengesampingkan kedua pasal tersebut atau hanya Pasal 1266 KUHPerdata.

Meski pengesampingan Pasal 1266 dan Pasal 1267 KUHPerdata telah umum dilakukan dan seringkali menjadi format baku suatu perjanjian, masing-masing pihak tetap berhak menentukan untuk mengesampingkan atau tidak mengesampingkan kedua atau salah satu pasal tersebut. Para pihak dilindungi dengan asas kebebasan berkontrak yang penerapannya berpedoman pada beberapa hal, yaitu terpenuhinya persyaratan keabsahan perjanjian, tidak melanggar norma adat, ketertiban umum, dan kesusilaan yang baik, serta pelaksanaannya berdasarkan itikad baik. Pembatasan terhadap asas kebebasan berkontrak tersebut dilakukan untuk melindungi kepentingan pihak ketiga yang secara tidak langsung terikat dengan perjanjian.

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *