Pada tanggal 14 Februari 2024 telah dilaksanakan Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia. Agenda lima tahunan ini diadakan guna memilih Calon Presiden dan Wakil Presiden (Capres-Cawapres), dan Calon Anggota Legislatif (Caleg) untuk DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. Kegiatan Pemilu ini diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia, dan diadakan secara serentak di seluruh wilayah Indonesia.
Dalam Pilpres Tahun 2024 ini ada 3 pasangan capres-cawapres yang maju dalam kontestasi politik 5 tahunan ini. Adapun penentuan dari pasangan calon yang terpilih menjadi Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana ketentuan Pasal 416 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyatakan :
“Pasangan Calon terpilih adalah Pasangan Calon yang memperoleh suara lebih dari 50% (lima puluh persen) dari jumlah suara dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan sedikitnya 20% (dua puluh persen) suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari ½ (setengah) jumlah provinsi di Indonesia.”
Namun ada yang menarik dalam Pilpres 2024 ini, ada pasangan calon yang mengatakan akan mengajukan permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres ke Mahkamah Konstitusi (MK), dan ada pasangan calon yang mendorong DPR RI untuk melakukan hak angket untuk mengusut dugaan kecurangan dalam Pilpres 2024.
Pertanyaannya, Bagaimana penyelesaiannya apabila ada pasangan calon presiden dan wakil presiden yang keberatan atas keputusan KPU tentang penetapan hasil penghitungan suara pilpres ? Mana yang lebih efektif digunakan dan memiliki kepastian hukum ?
Dalam ketentuan Pasal 475 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyatakan :
“Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Pasangan Calon dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Konstitusi dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari setelah penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh KPU.” Berdasarkan isi pasal tersebut jelas dikatakan bahwa Undang-Undang Pemilu mengatur dalam hal terjadi perselisihan perolehan hasil suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden maka pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden dapat mengajukan keberatan ke Mahkamah Konstitusi.
Proses pengajuan keberatan atas hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden oleh KPU diajukan dalam bentuk permohonan di Mahkamah Konstitusi dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) hari setelah KPU mengumumkan penetapan hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Kemudian setelah permohonan keberatan diterima oleh Mahkamah Konstitusi dan telah diberi nomor register perkara, maka kemudian Mahkamah Konstitusi mulai memeriksa dan memutus permohonan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari, hal ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 475 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan:
“Mahkamah Konstitusi memutus perselisihan yang timbul akibat keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) paling lama 14 (empat belas) hari sejak diterimanya permohonan keberatan oleh Mahkamah Konstitusi.”
Selanjutnya setelah Mahkamah Konstitusi memberikan putusan atas permohonan keberatan yang diajukan maka KPU wajib menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, apabila dalam putusannya Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan maka KPU harus segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dan jadwal penetapan calon terpilih bisa saja berubah, namun apabila Mahkamah Konstitusi menolak permohonan keberatan yang diajukan, maka KPU juga harus menindaklanjuti putusan Mahkamah Konstitusi dengan melakukan persiapan penetapan calon terpilih. Karena pada dasarnya putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat.
Lantas bagaimana dengan Hak Angket DPR RI ? Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, khususnya terkait pelaksanaan fungsi pengawasan, DPR dibekali 3 (tiga) hak, yakni Hak Interpelasi, Hak Angket, dan Hak Menyatakan Pendapat.
Hak angket DPR merupakan kebijakan terbuka pembentuk undang-undang (Pemerintah dan DPR). Pasal 20A UUD 1945, lanjutnya, telah memberikan kewenangan yang bersifat open legal policy kepada pemerintah dan juga DPR untuk mengatur mengenai hak angket DPR. Ia melanjutkan tidak ada batasan atau limitasi mengenai pihak yang dapat diselidiki melalui penggunaan hak angket tersebut sepanjang dalam rangka melaksanakan kepentingan bangsa dan negara serta sejalan dengan UUD 1945.
Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang/kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Hak angket menjadi salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meminta pertanggungjawaban KPU dan Bawaslu terkait dengan penyelenggaraan Pilpres 2024 yang diduga sarat dengan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
Jika hak angket diterima maka dibentuk panitia khusus untuk melakukan penyelidikan, dan melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPR paling lama 60 hari sejak dibentuknya panitia. Apabila rapat paripurna memutuskan terjadi pelanggaran, DPR dapat menggunakan hak ketiganya, yaitu hak menyatakan pendapat.
Hak menyatakan pendapat, yaitu hak DPR untuk menyatakan pendapat atas kebijakan pemerintah atau mengenai kejadian luar biasa yang terjadi di dalam negeri atau di dunia internasional. Hak ini juga dapat menjadi sikap atas tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket, atau dugaan bahwa presiden dan atau wakil presiden melakukan pelanggaran hukum.
Jika rapat paripurna DPR memutuskan menerima laporan panitia khusus yang menyatakan bahwa presiden dan/atau wakil presiden melakukan pelanggaran hukum maka DPR menyampaikan pendapat itu kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk mendapatkan putusan. Jika MK memutuskan pendapat DPR itu terbukti maka DPR menyelenggarakan rapat paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian presiden dan atau wakil presiden kepada MPR.
Berdasarkan uraian penjelasan diatas, maka dapat kita ketahui bahwa ada 2 (dua) upaya yang dapat dilakukan oleh pasangan calon presiden dan wakil presiden maupun koalisi partai politik pengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden yang keberatan atas keputusan KPU tentang penetapan hasil penghitungan suara, yang Pertama yaitu upaya pengajuan keberatan ke Mahkamah Konstitusi yakni upaya hukum yang telah diatur dalam Undang-Undang Pemilu apabila ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang keberatan atas Keputusan KPU tentang hasil Rekapitulasi Penghitungan Suara baik mengenai dugaan adanya kecurangan maupun kekeliruan KPU dalam proses penghitungan suara. Sedangkan yang Keduaadalah pengajuan hak angket DPR yang merupakan upaya politis untuk menyelidiki apakah ada indikasi pelanggaran hukum oleh presiden dan atau wakil presiden seperti kecurangan secara Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM) dalam penyelenggaraan Pemilu, jika ternyata terbukti maka muara dari penggunaan hak angket tersebut bisa mengarah kepada proses pemakzulan presiden dan atau wakil presiden.
Sehingga kesimpulannya jika kita ingin mengetahui upaya mana yang lebih efektif digunakan dan bisa memberikan kepastian hukum atas penyelesaian keberatan terhadap keputusan KPU tentang Penetapan Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden adalah dengan cara pengajuan permohonan keberatan ke Mahkamah Konstitusi, upaya tersebut adalah cara terbaik untuk mendapatkan kepastian hukum karena putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, serta penyelesaian di Mahkamah Konstitusi memiliki relatif waktu penyelesaian yang lebih cepat. Sedangkan upaya hak angket memiliki relatif waktu penyelesaian yang lebih lama.
Kita sebagai masyarakat harus memantau dengan cermat dan terus mengawal proses penyelenggaraan pemilu sampai akhir, bahkan asas-asas tentang pemilu yang Langsung, Bersih, Jujur dan Adil (Luber Jurdil) dalam Pemilihan presiden dan wakil presiden harus ditegakkan dan dilaksanakan dengan benar dengan menjunjung tinggi hukum dan etika, serta menjaga agar tercipta proses demokrasi yang sehat, karena kecurangan pemilu akan mencederai nilai-nilai hukum dan demokrasi itu sendiri.