Kecelakaan pesawat terbang merupakan peristiwa yang tidak hanya mengundang perhatian publik, tetapi juga melibatkan berbagai aspek hukum, termasuk pertanggungjawaban dari pihak-pihak yang terlibat. Dalam sistem hukum internasional maupun nasional, tanggung jawab atas kecelakaan pesawat sering kali menjadi fokus utama, baik dari segi kompensasi korban maupun investigasi penyebab insiden. Keselamatan sebuah penerbangan tak bisa lepas dari peran Pengatur Lalu Lintas Udara (Air Traffic Controller (ATC) atau menara pengatur lalu lintas udara. Di sini para petugas menara ATC mengatur dan melayani pilot yang sedang mengudara di pesawat. Sejak akan mengudara hingga mendarat kembali, pilot pesawat tak lepas dari komunikasi dengan para petugas di menara pengatur lalu lintas udara tersebut. Para petugas ATC memantau dan mengatur ratusan jalur pesawat yang bak benang kusut ini seperti ini jadi makanan sehari-hari. Kasus kecelakaan pesawat terbang yang terjadi di Indonesia telah menyita perhatian masyarakat luas, karena selain interval waktu yang berdekatan dan melanda hampir seluruh maskapai penerbangan, juga yang paling menyorot perhatian publik adalah timbulnya korban jiwa dalam kecelakaan tersebut. Di Indonesia juga tidak kebal terhadap kecelakaan pesawat udara.
Kepercayaan masyarakat atas kenyamanan dan keselamatan dalam penggunaan transportasi udara tersebut semakin berkurang, meskipun kebutuhan atas penggunaannya sangat tinggi. Perusahaan penerbangan selaku operator, oleh masyarakat dianggap lalai dan tidak profesional dalam pengelolaan perusahaan, disisi lain Pemerintah selaku regulator juga dianggap lamban dalam mengambil tindakan atas kondisi yang terjadi di lapangan serta tidak memiliki ketegasan dalam Pengaturan atas perusahaan-perusahaan penerbangan yang tidak memenuhi standar keselamatan. Tenaga professional di bidang penerbangan merupakan asset perusahaan penerbangan yang sangat menentukan kelangsungn hidup perusahaan. Secara garis besar, hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan sektor penerbangan di Indonesia terkait kualitas dari sumber daya manusia operator penerbangan dan pembuat regulasi sangat rendah. Lemahnya kualitas sumber daya manusia itu menjadi bahaya laten dalam industri penerbangan. Kelemahan itu diduga merupakan tindakan melanggar hukum dan atau tidak sesuai dengan norma etika kerja dari industri penerbangan secara mayoritas.
Dalam hukum internasional, Konvensi Montreal 1999 menjadi kerangka utama yang mengatur tanggung jawab maskapai penerbangan terhadap penumpang dalam kasus kecelakaan pesawat. Konvensi ini menggantikan Konvensi Warsawa 1929, dengan tujuan memberikan perlindungan yang lebih baik kepada penumpang. Salah satu prinsip utama dalam Konvensi Montreal adalah penerapan tanggung jawab ketat (strict liability) hingga batas tertentu, yang saat ini ditetapkan sebesar 113.100 SDR (Special Drawing Rights) per penumpang. Jika klaim melebihi jumlah ini, maskapai dapat membela diri dengan membuktikan bahwa mereka tidak lalai atau bahwa kecelakaan terjadi karena faktor di luar kendali mereka.
Di Indonesia, dasar hukum yang relevan meliputi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, yang mengadopsi prinsip-prinsip Konvensi Montreal. Pasal 141 UU Penerbangan mengatur bahwa pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang, bagasi, dan kargo selama dalam pengangkutan udara. Selain itu, Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 menetapkan besaran ganti rugi yang harus diberikan oleh maskapai penerbangan kepada korban atau ahli warisnya.
Dalam kasus tertentu, kecelakaan pesawat dapat melibatkan tanggung jawab pidana. Misalnya, jika kecelakaan disebabkan oleh kelalaian berat atau tindakan sengaja, individu seperti pilot, petugas kontrol lalu lintas udara, atau bahkan manajemen maskapai dapat menghadapi tuntutan pidana. Di Indonesia, Pasal 308 KUHP mengatur sanksi pidana untuk tindakan yang menyebabkan kematian akibat kelalaian.
Selain itu, berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, petugas yang mengatur lalu lintas penerbangan juga dapat dimintai pertanggungjawaban pidana apabila kelalaian mereka secara langsung menyebabkan kecelakaan pesawat. Pertanggungjawaban pidana dalam kecelakaan pesawat memiliki dimensi yang signifikan, terutama jika kecelakaan tersebut melibatkan kelalaian atau tindakan melanggar hukum oleh pihak tertentu. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, terdapat ketentuan yang jelas mengenai pertanggungjawaban pidana, khususnya terhadap pengaturan lalu lintas penerbangan. Pasal 344 UU Penerbangan secara tegas menyatakan bahwa setiap orang yang karena kelalaiannya menyebabkan terganggunya keselamatan penerbangan dapat dikenakan sanksi pidana. Ketentuan ini mencakup berbagai situasi, termasuk kelalaian dalam pengaturan lalu lintas penerbangan. Sebagai contoh, petugas Air Traffic Control (ATC) yang gagal menjalankan tugasnya sesuai prosedur sehingga mengakibatkan kecelakaan pesawat dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
Sanksi pidana yang diatur dalam pasal ini mencakup dua bentuk utama. Pertama, hukuman pidana penjara yang diberikan untuk kasus kelalaian berat atau tindakan sengaja yang menyebabkan kecelakaan. Durasi hukuman ini ditentukan berdasarkan tingkat kesalahan serta akibat yang ditimbulkan. Kedua, denda yang dapat dijatuhkan sebagai hukuman alternatif atau tambahan, sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam undang-undang. Untuk menetapkan pertanggungjawaban pidana, diperlukan pembuktian terhadap beberapa unsur penting. Salah satu unsur tersebut adalah adanya kelalaian atau kesengajaan. Contohnya adalah ketika petugas ATC gagal memberikan instruksi yang benar kepada pilot, atau terjadi pelanggaran terhadap standar operasional prosedur (SOP) yang telah ditetapkan. Selain itu, unsur hubungan kausalitas juga menjadi hal yang harus dibuktikan. Dalam hal ini, perlu adanya kaitan langsung antara kelalaian yang dilakukan dengan kecelakaan pesawat yang terjadi. Bukti-bukti yang mendukung hubungan kausalitas ini menjadi elemen kunci dalam proses hukum.
Proses penyelidikan dan penegakan hukum dalam kasus kecelakaan pesawat yang melibatkan kelalaian pengaturan lalu lintas penerbangan melibatkan beberapa pihak berwenang. Salah satu pihak utama adalah Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), yang bertugas melakukan investigasi teknis untuk menentukan penyebab kecelakaan. Hasil investigasi ini menjadi dasar untuk menentukan tanggung jawab pihak-pihak yang terkait. Selain KNKT, kepolisian dan kejaksaan juga berperan penting dalam menindaklanjuti hasil investigasi. Mereka memiliki wewenang untuk memproses kasus ini secara pidana, memastikan bahwa pelaku kelalaian atau pelanggaran hukum mendapatkan sanksi yang setimpal sesuai dengan aturan yang berlaku. Kolaborasi antara KNKT dan lembaga penegak hukum lainnya sangat penting untuk menjamin proses hukum yang transparan dan akuntabel.
Pertanggungjawaban dalam kecelakaan pesawat adalah isu yang kompleks dan melibatkan berbagai aspek hukum, teknis, dan kemanusiaan. Meskipun kerangka hukum seperti Konvensi Montreal dan UU Penerbangan di Indonesia telah memberikan dasar yang kuat, tantangan dalam penegakan hukum dan perlindungan korban tetap ada. Oleh karena itu, kolaborasi antara pemerintah, industri penerbangan, dan masyarakat internasional sangat diperlukan untuk menciptakan sistem yang lebih adil dan aman bagi semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Asnita, R., Artis, A., Tessa, N., Azzura, I. P., Saragih, M. F., Zikri, F., & Qanita, A. (2024). Strategi manajemen public relations dalam membangun reputasi korporat di industri penerbangan Indonesia. Bundling: Jurnal Manajemen dan Bisnis, 1(1), 24-35.
Cecil, A. R. (2024). Penegakan Hukum Lalu-Lintas: Panduan bagi Para Polisi dan Pengendara. Nuansa Cendekia.
Dewi, A. R., & Gultom, P. (2024). HUKUM PEMBERIAN GANTI KERUGIAN TERHADAP PENUMPANG DALAM KECELAKAAN PESAWAT UDARA SIPIL INDONESIA DAN KEWAJIBAN ASURANSI OLEH MASKAPAI PENERBANGAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANG. IBLAM LAW REVIEW, 4(3), 80-90.
Herwin, H., Gultom, P., & Mardianis, M. (2023). TINJAUAN YURIDIS PERTANGGUNGJAWABAN MASKAPAI PENERBANGAN ATAS KECELAKAAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2009 TENTANG PENERBANGAN. IBLAM LAW REVIEW, 3(3), 460-471.
Mutiarani, M. F. P., & Masyi’ah, A. N. (2023). Analisis Pelayanan Personel AMC Dalam Menjaga Keselamatan Penerbangan Sisi Udara Di Bandar Udara Jenderal Ahmad Yani Semarang. Student Research Journal, 1(4), 413-427.