Pada 29 April 2025, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan penting yang membatasi ruang bagi pemerintah, korporasi, atau institusi publik untuk mengajukan gugatan pencemaran nama baik (defamation) terhadap individu.
Putusan itu tidak membatalkan pasal pencemaran (masih ada landasan hukumnya), tetapi membatasi siapa yang boleh mengajukan gugatan, yaitu hanya orang pribadi yang merasa dirugikan langsung. MK menekankan bahwa pembatasan ini dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan hukum (legal abuse) terhadap kritik dan ekspresi.
Dalam konteks Indonesia, penggunaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagai sarana pidana atau perdata atas kritik terhadap pejabat atau kebijakan sering dikritik sebagai alat “membungkam” kebebasan berekspresi. Putusan MK ini dianggap sebagai respons terhadap kekhawatiran bahwa pemerintah dan entitas besar selama ini menggunakan pasal pencemaran nama baik untuk menekan lawan kritik.
1) Implikasi terhadap kebebasan berekspresi & kontrol kekuasaan hukum
Putusan ini memiliki makna simbolis kuat, yaitu bahwa negara atau lembaga besar tidak bisa dengan mudah memakai kekuatan hukum melawan individu dalam kasus pencemaran. Artinya, suara kritis terhadap kebijakan publik – selama tidak melanggar batas hukum — punya ruang lebih leluasa.
Namun, batasan ini juga bisa menciptakan “zona abu-abu” dalam penegakan hak reputasi institusi. Misalnya, jika sebuah lembaga publik dianggap difitnah dalam konteks kebijakan publik (misalnya tentang korupsi, maladministrasi), bagaimana lembaga tersebut bisa menuntut secara perdata? Haruskah institusi publik hanya menggunakan mekanisme administratif atau bentuk tanggapan publik lain?
2) Risiko kekosongan perlindungan hak institusi
Dengan tidak bisa menggugat untuk pencemaran, apakah institusi publik atau perusahaan kehilangan hak gugat ketika terfitnah secara serius? Ada risiko bahwa insiden pencemaran berat terhadap institusi tak bisa ditindak secara hukum, sehingga reputasi bisa rusak tanpa pertanggungjawaban.
MK kemungkinan mengandaikan bahwa perlindungan reputasi institusi bisa dijaga melalui mekanisme internal (media, klarifikasi, pertanggungjawaban publik) atau undang-undang khusus, bukan klaim perdata pencemaran. Tetapi apakah itu cukup, terutama di era media digital dan “viral”?
3) Konflik antara perlindungan individu vs kepentingan publik/institusi
Putusan memperkuat perlindungan terhadap individu kritikus, namun juga membuka dilema: di mana batas antara kebebasan berekspresi dan hak institusi menjaga reputasi? Misalnya, jika kritik mengandung fitnah atau disinformasi nyata terhadap institusi publik, apakah institusi tidak punya ruang untuk mencari ganti rugi atau pemulihan nama baik?
MK tampaknya mengedepankan bahwa trauma reputasi lembaga lebih rendah dibanding risiko penyalahgunaan hukum terhadap kebebasan individu. Namun dalam praktiknya, institusi harus lebih hati-hati merumuskan strategi respons terhadap kritik agar tidak digugat balik sebagai pencemaran.
4) Peluang revisi UU ITE dan kebijakan pendukung
Putusan itu membuka ruang bagi legislator atau pembuat kebijakan untuk merevisi UU ITE agar selaras dengan putusan MK dan prinsip kebebasan ekspresi. UU ITE dianggap selama ini multitafsir dan sering digunakan untuk menjerat kritik.
Namun, tantangannya adalah memastikan bahwa revisi undang-undang tidak hanya memperbaiki lemahnya perlindungan kebebasan, tetapi juga menyediakan mekanisme yang jelas untuk menangani pencemaran yang benar-benar merugikan, baik terhadap individu maupun institusi. Jika tidak, bisa timbul konflik normatif dan ketidakpastian hukum.
Putusan MK yang membatasi gugatan pencemaran nama baik oleh institusi besar adalah terobosan dalam merestorasi keseimbangan antara kebebasan berpendapat dan perlindungan reputasi. Tetapi keberhasilan implementasinya tergantung pada:
- Kepastian norma dalam UU ITE — agar tidak ada celah penyalahgunaan pasal pencemaran.
- Sistem alternatif penyelesaian sengketa reputasi — misalnya mediasi publik, klarifikasi, koreksi media, atau lembaga ombudsman.
- Pengawasan yudisial yang progresif — agar hakim dalam perkara pencemaran individu tetap mampu menimbang konteks kebebasan ekspresi dan kepentingan umum.
- Kesadaran institusi publik / perusahaan — agar strategi komunikasi dan transparansi menjadi bagian pencegahan daripada litigasi defensif.
Sumber
Reuters. (29 April 2025). Mahkamah Konstitusi larang pemerintah dan perusahaan ajukan gugatan pencemaran nama baik.
Human Rights Watch. (8 Mei 2025). Mahkamah Konstitusi Batasi Gugatan Pidana Pencemaran Nama Baik di Indonesia.
Mahkamah Konstitusi RI. (29 April 2025). Court Reinterprets Defamation in EIT Law. Link
The Jakarta Post. (1 Mei 2025). The Constitutional Court bans government companies from using ITE law.
DPR RI. (Mei 2025). Defamation Offenses Through Electronic Media After the Constitutional Court Decision.
South China Morning Post. (2025). Victory for free speech in Indonesia as court curbs defamation law.




