Krisis ketimpangan global yang semakin melebar, di mana 1% orang terkaya memiliki kekayaan lebih besar dari sisa populasi dunia, berhubungan erat dengan pelanggaran hak asasi manusia, termasuk di Indonesia. Praktik bisnis yang mengutamakan keuntungan di atas keadilan menyebabkan maraknya konflik agraria, eksploitasi tenaga kerja, dan kerusakan lingkungan.
Perusahaan-perusahaan besar sering kali tidak bertanggung jawab terhadap dampak sosial dan lingkungan dari kegiatan mereka, memperburuk ketimpangan dan memperpanjang ketidakadilan struktural. Untuk mengatasi kemiskinan dan ketimpangan, perlu ada penegakan hak asasi manusia dalam setiap praktik bisnis, dengan perusahaan bertanggung jawab atas dampak yang ditimbulkan terhadap masyarakat dan lingkungan.
Di Asia terutama Indonesia pelanggaran HAM tersebut kerapkali dilakukan oleh korporasi-korporasi besar yang menyumbang kekayaan 50 orang superkaya di Indonesia. Sebagai gambaran potentsi alokasi 2% pajak dari 50 orang superkaya di Indonesia akan menghasilkan Rp81,6 Trilliun per tahunnya, jumlah uang tersebut dapat mendanai program makan siang gratis ala Prabowo untuk 15.103.800 orang selama 1 tahun penuh.
Alangkah elok jika hal tersebut bisa terealisasikan namun alih-alih mendorong kerangka operasional bisnis yang berbasis HAM, korporasi-korporasi tersebut diberikan berbagai kelowongan untuk terus menimbulkan kerusakan alam yang permanen, eksploitasi pekerja serta melakukan Tindakan-tindakan yang berbau Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
Namun, di tengah tantangan tersebut, ada ruang besar untuk harapan dan kolaborasi. Forum Bisnis dan Hak Asasi Manusia PBB 2024 yang berlangsung di Bangkok mengusung tema “The Remedy Blueprint : Bridging Gaps and Accelerating Access” Tema ini menggarisbawahi bahwa upaya kolektif sangat dibutuhkan untuk menciptakan solusi yang benar-benar memberikan keadilan bagi semua pihak, terutama mereka yang terdampak langsung oleh pelanggaran hak asasi manusia.
Ketimpangan Sistemik di Balik Eksploitasi
Pelanggaran hak asasi manusia oleh korporasi di Indonesia mencakup konflik agraria, eksploitasi buruh, korupsi, hingga perusakan lingkungan. Antara tahun 2019 hingga 2021, ratusan kasus dilaporkan setiap tahun—435 kasus di tahun 2019, 455 kasus di tahun 2020, dan 428 kasus di tahun 2021.
Contohnya, di Sumatra Utara, masyarakat adat Batak Toba harus berhadapan dengan Toba Pulp Lestari (TPL), sebuah perusahaan besar yang telah merampas tanah adat mereka dan menghancurkan hutan yang telah mereka jadikan sumber kehidupan selama generasi ke generasi. Dalam forum tersebut saya mendengar kesaksian dari Delima Silalahi selaku Ketua Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM) yang telah aktif mengadvokasikan konflik agraria yang ada di Tana Adat Batak Toba, Sumatera Utara melawan PT TPL. Dalam kesaksiannya ia mengatakan “Dulu kami tinggal di surga, tapi sejak perusahaan datang ke tanah kami, kami hidup di neraka” ucap Delima.
Meski hukum Indonesia melindungi tanah adat, pemberian izin sering kali dilakukan tanpa konsultasi yang layak dengan masyarakat adat, mengabaikan prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC). Prinsip ini telah diatur dalam berbagai instrumen hukum, seperti:
United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP),
Konvensi ILO No. 169 tentang Masyarakat Adat dan Suku (1989),
Panduan IFC tentang Kinerja Sosial dan Lingkungan (Performance Standard 7, 2012),
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012, dan
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.62/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2019.
Ketika FPIC diabaikan, masyarakat adat menjadi korban ketidakadilan struktural demi kepentingan bisnis.
Korupsi memperburuk eksploitasi oleh korporasi. Dalam banyak kasus, kolusi antara pejabat pemerintah dan perusahaan memungkinkan pelanggaran hukum yang merugikan masyarakat dan lingkungan. Beberapa contoh kasus korupsi korporasi yang mencuat di Indonesia adalah:
Kasus Korupsi Sektor Minerba (2021)
Dalam kasus tambang ilegal di Kalimantan Timur, perusahaan tambang bekerja sama dengan pejabat lokal untuk mendapatkan izin operasi tanpa prosedur yang sah. Akibatnya, hutan dirusak tanpa pengawasan, dan masyarakat adat kehilangan tanah mereka. Hal ini melanggar Pasal 2 dan 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta prinsip FPIC yang tercantum dalam UNDRIP.
Kasus Korupsi Jiwasraya (2020)
Korupsi ini menunjukkan bagaimana korporasi yang bekerja sama dengan pejabat bisa melakukan manipulasi dana investasi yang merugikan rakyat. Ini melanggar Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC), yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 7 Tahun 2006.
Korupsi Kehutanan oleh Asian Agri (2008)
Perusahaan ini terbukti menggelapkan pajak dan mengeksploitasi hutan secara ilegal. Ini melanggar Pasal 2 UNCAC, yang menekankan integritas dalam pengelolaan sumber daya, serta Pasal 33 UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999 yang melarang penggunaan hutan tanpa izin sah.
Kasus Korupsi Petral (2015)
Petral, sebuah anak perusahaan dari Pertamina, menjadi simbol dari salah satu skandal terbesar dalam sejarah pengadaan minyak mentah di Indonesia. Dalam kasus ini, Petral diduga memanipulasi proses pengadaan dengan bekerja sama dengan pihak ketiga untuk memperkaya diri melalui praktik mark-up harga, sebuah tindakan yang merugikan negara hingga triliunan rupiah. Praktik ini tidak hanya mencoreng integritas sektor energi nasional, tetapi juga menimbulkan kerugian besar bagi rakyat yang seharusnya diuntungkan oleh pengelolaan sumber daya alam secara transparan.
Skandal ini mencerminkan pelanggaran serius terhadap Pasal 12 UU No. 31 Tahun 1999, yang mengatur larangan suap dalam pengadaan barang dan jasa. Di sisi lain, tindakan Petral juga melanggar prinsip-prinsip dalam United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs), khususnya tanggung jawab korporasi untuk memastikan bahwa seluruh operasi bisnis mereka bebas dari korupsi dan memberikan kontribusi positif kepada masyarakat. Kasus ini menjadi peringatan bahwa ketika korporasi melanggar etika dan hukum, dampaknya tidak hanya merusak perekonomian negara tetapi juga melemahkan kepercayaan publik terhadap sistem pengelolaan sumber daya yang seharusnya adil dan bertanggung jawab.
Mengubah Komitmen Menjadi Tindakan
“Corporate social responsibility” sering kali hanya menjadi sekadar jargon. Di balik slogan tentang keberlanjutan, banyak perusahaan masih mengeksploitasi buruh, merusak lingkungan, dan mengabaikan hak-hak masyarakat. Prinsip-prinsip seperti “Protect, Respect, Remedy” dari Prinsip-Prinsip Panduan PBB (UNGPs) memang memberikan kerangka kerja, tetapi tanpa mekanisme hukum yang kuat, prinsip ini hanyalah wacana.
Yang dibutuhkan adalah sistem akuntabilitas yang nyata. Perusahaan harus menyediakan mekanisme pemulihan yang mudah diakses bagi para korban. Lebih dari itu, pemerintah harus membuat hukum yang mengikat untuk memastikan pelanggaran hak asasi manusia tidak lagi menjadi “Business as usual”.
Namun, perubahan besar sering kali tidak dimulai dari atas. Aktivisme akar rumput dan gerakan yang dipimpin oleh kaum muda adalah kunci untuk memaksa perusahaan dan pemerintah bertanggung jawab.
Kaum Muda Bersatulah!, Pembelajaran Dari Bangkok
Kaum muda sering kali dianggap kurang pengalaman, tetapi di forum ini, suara mereka menjadi sorotan. Mereka menolak untuk berdiam diri saat narasi korporasi terus mendominasi diskusi. Sebagai generasi yang akan mewarisi dampak dari kegagalan sistem saat ini, kaum muda memiliki urgensi untuk bertindak.
Dalam forum tersebut, saya menyoroti kelemahan political will yang dimiliki oleh Pemerintah Indonesia untuk menegakan prinsip-prinsip yang ada dalam United Guiding Principles on Business and Human Rights yang memberikan ruang bagi korporasi untuk mengeksploitasi manusia dan alam serta bebas melakukan korupsi tanpa konsekuensi. Saya juga berbagi tentang bagaimana kaum muda dapat menjadi penggerak perubahan dalam mengorganisir dan mengkampanyekan terkait konflik agraria yang disebabkan oleh korporasi yang turut juga hadir dalam forum tersebut.
Saya turut menyoroti tentang pentingnya kolaborasi yang melibatkan semua pihak, termasuk korporasi, pemerintah, masyarakat sipil, dan Kaum Muda. Bukan untuk mencari siapa yang salah, tetapi untuk bersama-sama mencari jalan keluar. Sebagai Kaum Muda, kita memiliki tanggung jawab besar untuk menjadi jembatan antara semua pihak.
Dengan inovasi, kreativitas, dan semangat kolektif, kita bisa membantu membangun ruang dialog yang inklusif dan solutif. Mensimplifikasi Bahasa Hukum dan Action Plan yang kompleks menjadi Bahasa Sehari-Hari yang mudah dimengerti semua orang serta mempublikasikan dengan kreatif pelanggaran serta Good Practices dari Inclusive and Responsible Business Practices.