Mengungkap Kebenaran Pemagaran Laut di Tangerang

Sosial media belakangan ini ramai membincangkan pembongkaran pagar laut di perairan Kabupaten Tangerang, Banten. Pagar laut sepanjang 30,16 km yang mengelilingi pesisir 6 kecamatan dengan total 16 desa tersebut telah mempersulit nelayan mencari ikan berdasarkan laporan warga 14 Agustus 2024 lalu. Selain nelayan, terdapat pula 502 pembudidaya ikan kecil di wilayah yang terpasang pagar laut tersebut. Padahal, hak nelayan dan pembudidaya ikan kecil telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (UU Perikanan), tepatnya Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2) yang menyatakan bahwa nelayan dan pembudidaya ikan kecil berhak melakukan kegiatan usahanya di seluruh wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia.

Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menetapkan pemasangan pagar laut tersebut ilegal memancing respon berbagai lapisan masyarakat mulai dari warga sekitar, netizen, hingga anggota DPR RI. Dilansir melalui website resmi DPR RI, anggota Komisi II Fraksi PKB, Indrajaya menyebutkan adanya kepentingan ekonomi besar di balik pemasangan pagar laut tersebut karena tidak mungkin dibiayai oleh pengusaha kecil atau masyarakat biasa. Pernyataan Indrajaya tersebut bukan tanpa alasan. Pasalnya pemasangan pagar laut dapat memakan biaya hingga 500 ribu rupiah per meternya, sehingga untuk membuat pagar laut sebagaimana terpasang pada perairan Kabupaten Tangerang tersebut biaya yang timbul dapat mencapai 15 miliar rupiah. Menurutnya, Menteri ATR/BPN seharusnya secara aktif menelusuri siapa dalang di balik pemasangan pagar laut tersebut. Sementara itu, Menteri ATR/BPN, Nusron, menyatakan bahwa pihaknya belum dapat menindak pelaku pembangun pagar laut karena belum terdapat aksi illegal apapun terkait pagar laut tersebut. Pihaknya juga belum menerima laporan bahwa pagar laut dibangun dalam rangka reklamasi sehingga hal tersebut masih berupa dugaan yang belum terbukti.

Komentar lainnya datang dari anggota Komisi I Fraksi PDIP, Mayjen TNI (Purn) TB Hasanuddin yang mempertanyakan dasar hukum pembongkaran pagar laut karena dianggap sebagai upaya penghilangan alat bukti lantaran penanggungjawab pemasangan pagar laut tersebut belum diketahui. Apa yang dikatakan TB Hasanuddin tidak salah, mengingat alat bukti merupakan benda utama dalam proses pembuktian suatu tindak pidana untuk menentukan dapat atau tidak dapatnya seseorang dijatuhi hukuman pidana oleh hakim.

Meski menuai respon negatif, terdapat ormas yang mengklaim dirinya sebagai pembangun pagar laut tersebut dengan tujuan mencegah abrasi. Ormas yang bernama Jaringan Rakyat Pantura (JRP) itu melalui koordinatornya, Sandi Martapraja, menerima tudingan sebagai organisasi masyarakat (ormas) bodong usai mengaku sebagai pihak yang bertanggungjawab atas pembangunan pagar laut di Kabupaten Tangerang. Menurutnya, masyarakat berhak berpendapat dan berspekulasi, namun JRP selama ini memang aktif memberi edukasi kepada nelayan meski tidak sering diliput oleh media.

Terbaru, pada 20 Januari 2025 Menteri ATR/BPN, Nusron, melalui konferensi pers mengakui adanya temuan 263 bidang Sertipikat Hak Guna Bangunan (SHG) atas nama PT Intan Agung Makmur sebanyak 234 bidang, PT Cahaya Inti Sentosa sebanyak 20 bidang, serta atas nama perorangan sebanyak 9 bidang. Selain itu SHGB terdapat juga Sertipikat Hak Milik (SHM) sebanyak 17 bidang. Nusron membenarkan keabsahan sertipikat serta lokasi bidang tanah, yaitu di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang, dan menginformasikan bahwa identitas orang-orang di balik perseroan tersebut dapat diperiksa melalui sistem Administrasi Hukum Umum (AHU) milik Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. 

Terhadap SHGB dan SHM tersebut, Kementerian ATR/BPN akan melakukan koordinasi dengan Badan Informasi Geospasial (BIG) mengenai masalah garis pantai di kawasan Desa Kohod tersebut mengenai apakah sertipikat bidang tersebut berada di dalam atau di luar garis pantai. Selain itu, karena di dalam proses pengajuan sertipikat terdapat dokumen-dokumen yang terbit dari 1982, maka dilakukan pemeriksaan batas pantai mulai tahun 1982 sampai dengan tahun 2024. Jika hasil koordinasi dengan BIG terdapat membuktikan bahwa SHGB dan SHM berada di luar garis pantai, yang berarti memasuki wilayah laut, maka Kementerian ATR/BPN akan melakukan evaluasi dan peninjauan ulang terhadap sertipikat-sertipikat tersebut. Apabila ditemukan bukti faktual adanya cacat hukum administratif maka Kementerian ATR/BPN dapat membatalkan sertipikat tanpa putusan pengadilan. Kemudian, terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam proses penerbitan sertipikat akan ditindak sesuai ketentuan yang berlaku apabila terbukti menyimpangi prosedur dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Pada UU Perikanan, pemagaran laut secara tersirat diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU PWPPPK). Dalam hal seseorang memanfaatkan wilayah pesisir, ia secara langsung atau tidak langsung dilarang melakukan pembangunan fisik yang menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya. Adapun, pelanggaran terhadap ketentuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 10 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,- dan paling banyak Rp10.000.000.000,-. Kemudian, setiap orang yang melakukan pemanfaatan ruang dari sebagian perairan pesisir dan pemanfaatan sebagian pulau-pulau kecil secara menetap wajib memiliki Izin Lokasi yang menjadi dasar pemberian Izin Pengelolaan.

Meski nantinya terbukti bahwa lokasi bidang tanah di pesisir perairan Kabupaten Tangerang berada di dalam garis pantai, pemasangan pagar laut tak berizin tetap tidak dapat dibenarkan. Apalagi ketika secara nyata telah muncul kerugian berupa terganggunya masyarakat sekitar dalam mencari mata pencaharian.

 

Referensi

[1] “Menengok Pagar Laut dan Fungsinya Menurut Penelitian Ilmiah”, tempo.co, 19 Januari 2025, tersedia pada https://www.tempo.co/lingkungan/menengok-pagar-laut-dan-fungsinya-menurut-penelitian-ilmiah-1196211,  diakses pada tanggal 20 Januari 2025.

[2] “Sebut Pagar Laut Bukan Aksi Pencurian, Indrajaya: Menteri ATR Jangan Lepas Tangan!”, emedia DPR RI, 19 Januari 2025, tersedia pada https://emedia.dpr.go.id/2025/01/19/sebut-pagar-laut-bukan-aksi-pencurian-indrajaya-menteri-atr-jangan-lepas-tangan/, diakses pada tanggal 20 Januari 2025.

[3] Bambang Waluyo, Sistem Pembuktian Dalam Peradilan Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1992), hlm. 1.

[4] “Setelah Ramai Menuai Protes, Jaringan Rakyat Pantura Klaim Bangun Pagar Laut di Tangerang”, tempo.co, 12 Januari 2025, tersedia pada https://www.tempo.co/ekonomi/setelah-ramai-menuai-protes-jaringan-rakyat-pantura-klaim-bangun-pagar-laut-di-tangerang-1192986, diakses pada tanggal 20 Januari 2025.

[5] Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan, Pasal 104 ayat (2).

[6] Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana diubah dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, selanjutnya disebut UU PWPPPK, Pasal 35 huruf l.

[7] UU PWPPPK, Pasal 73 ayat (1) huruf g.

[8] UU PWPPPK, Pasal 16 ayat (1) jo. ayat (2).

Kategori :

Tag : , ,

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *