Apa itu Dwangsom?
Dwangsom dalam Hukum Perdata—Sebuah putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap yang dikeluarkan oleh pengadilan sejatinya memang harus ditaati, hal ini tidak terkecuali dalam sebuah putusan pengadilan perdata. Putusan perdata harus dapat dihormati oleh kedua belah pihak yang berperkata, terlebih dalam putusan yang bersifat condemnatoir, pihak yang kalah wajib menjalankan hukuman demi kepentingan pihak yang menang dalam perkara. Nah, dalam hal inilah hampir selalu ditemui adanya permintaan uang paksa (Dwangsom) dalam sebuaah gugatan dan putusan. Lalu apa itu Dwangsom? Mari kita bahas.
Dwangsom atau Uang Paksa
Dwangsom diambil dari Bahasa Belanda. Di Prancis, Dwangsom dikenal dengan nama astreinte yang artinya adalah uang paksa. Penjelesan mengenai Dwangsom diatur dalam Pasal 606a dan Pasal 606b Wetboek op de Burgerlijke Rechtvordering (Rv) yakni:
Pasal 606a Rv:
“Sepanjang suatu keputusan hakim mengandung hukuman untuk sesuatu yang lain daripada membayar sejumlah uang maka dapat ditentukan bahwa sepanjang atau setiap kali terhukum tidak memenuhi hukuman tersebut, olehnya harus diserahkan sejumlah uang yang besarnya ditetapkan dalam keputusan hakim, dan uang tersebut dinamakan uang paksa.”
Pasal 606b Rv:
“Bila keputusan tersebut tidak dipenuhi, maka pihak lawan dari terhukum berwenang untuk melaksanakan keputusan terhadap sejumlah uang paksa yang telah ditentukan tanpa terlebih dahulu memperoleh alas hak baru menurut hukum.”
Abdul Manan (2008) dalam bukunya, “Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama” menyebutkan beberapa sifat Dwangsom yakni:
Bersifat sebagai accesoir, yakni dwangsom tiada apabila tidak ada hukuman pokok. Hal ini karena dwangsom berkaitan erat dengan hukuman pokok, lebih lanjut apabila hukuman pokok telah terlaksana maka dwangsom yang ditetapkan bersamaan dengan hukuman pokok tersebut tidak lagi perlu dilaksanakan (tidak mempunyai kekuatan hukum lagi).
Bersifat sebagai hukuman tambahan, yakni apabila hukuman pokok dalam amar putusan tidak dijalankan oleh tergugat, maka dwangsom dapat dijalankan (mempunyai kekuatan hukum).
Bersifat sebagai penekan psikis, yakni adanya dwangsom sebagai hukuman tambahan yang dijalankan oleh tergugat apabila tidak belum melaksanakan hukuman pokok dalam putusan, dapat menekan psikis tergugat untuk menyegerakan menjalankan hukuman pokok yang telah ditentukan hakim dalam putusan.
Kegunaan Dwangsom
Dwangsom ini dapat dikatakan sebagai upaya tekanan oleh pihak penggugat kepada tergugat. Apabila dalam gugatan, penggugat meminta adanya Dwangsom, hakim dapat mengabulkannya karena kewenangan pengabulannya ada pada majelis hakim yang memeriksa perkara. Lebih lanjut, besaran uang yang harus dibayarkan sebagai Dwangsom juga bergantung pada kebijaksanaan (diskresioner) dari majelis hakim yang memeriksa perkara hal ini dikarenakan tidak adanya aturan yang secara merinci mengantur mengenai ketentuan Dwangsom.
Namun begitu, ada perkara yang tidak dapat dijatuhi hukuman Dwangsom dalam putusannya, walaupun pihak penggugat meminta adanya wangsom dalam surat gugatan. Hal ini kembali mengacu pada Pasal 606a Rv yakni apabila perkara yang hukuman pokok dalam putusannya berisi pembayaran sejumlah uang. Hal ini dikarenakan hukuman pembayaran sejumlah uang dapat dilakukan melalui upaya eksekusi biasa, yakni sita eksekusi dan lelang eksekusi, karenanya Dwangsom atau uang paksa sejatinya tidak diperlukan karena pihak pengadilan sendiri dapat mengeksekusi putusannya.
Dari penjabaran di atas, kita dapat mengetahui bahwa Dwangsom bertujuan untuk membuat pihak tergugat melakukan kewajibannya dalam menjalani hukuman pokok dalam putusan dan agar pihak penggugat tidak mengalami kerugian berlarut-larut akibat tidak dipenuhi haknya untuk menerima ganti kerugian.
Referensi:
Wetboek op de Burgerlijke Rechtvordering
Manan, Abdul. 2008. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: Kencana.