Mengakhiri Fast Fashion, Memasukan Hak Asasi Manusia ke Keranjang Kuning

Di balik gemerlap dunia fashion yang memancarkan gaya, tren, dan ekspresi diri, tersimpan ironi yang pekat. Fast fashion, fenomena industri yang merajalela, memuaskan hasrat kita untuk tampil “kekinian” namun diam-diam mengorbankan lingkungan dan kemanusiaan. Dalam hiruk pikuk konsumsi yang tak terkendali, kita lupa bahwa setiap pakaian murah yang kita beli bisa jadi membawa cerita kelam: pencemaran air, kerusakan ekosistem, dan pelanggaran hak asasi manusia. Salah satu dampak buruk dalam fast fashion menurut World Research Institute adalah untuk memproduksi 1 kaos katun membutuhkan 2700 liter air, setara dengan air yang diminum 1 orang selama 2.5 tahun.[1]

Menurut laporan United Nations Environment Programme (UNEP), industri fashion menyumbang hingga 8-10 persen emisi karbon dunia, lebih banyak dari emisi karbon yang diakibatkan oleh penerbangan internasional dan pengiriman jalur laut di kombinasikan. Tak hanya itu, limbah pewarna tekstil dan bahan kimia beracun yang dibuang ke sungai-sungai kita mencemari sumber air, meracuni kehidupan liar, dan bahkan berdampak langsung pada kesehatan manusia.[2] Dalam konteks Indonesia, dampak ini bertentangan dengan hak atas lingkungan hidup yang sehat sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

 

Namun, cerita ini belum selesai. Di sudut-sudut pabrik, pekerja yang terjebak dalam lingkaran produksi fast fashion sering kali menghadapi kondisi kerja yang buruk, upah rendah, dan perlakuan tidak manusiawi. Salah satu contoh pelanggaran HAM di Industri Garmen dapat dilihat di Bangladesh, dari Keruntuhan Rana Plaza pada 2013 akibat mengutamakan profit dibanding keselamatan buruh yang menyebabkan 1,138 orang meninggal termasuk Perempuan dan anak-anak.[3] Perusahaan-perusahaan Garment yang ada di Rana Plaza merupakan supplier terhadap beberapa nama besar seperti H&M, Zara, Walmart dan beberapa brand besar lainnya.[4] Di tahun 2024, 11 tahun sejak Keruntuhan Rana Plaza kondisi pekerja garment masih tidak berubah, mereka masih menghadapi kondisi kerja yang ekstrim dan membahayakan, upah yang dibawah standar kehidupan, hingga represi dan kriminalisasi ketika menyuarakan hak-hak buruh.[5]

Di sini, fast fashion bukan hanya masalah lingkungan tetapi juga pelanggaran hak asasi manusia. Ketika rakyat harus meminum dari sumber air yang tercemar, menghirup udara yang penuh polusi dan meresikokan keselamatan hingga nyawa untuk upah yang tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Sustainable Fashion: Jalan Menuju Masa Depan yang Lebih Adil

Fashion berkelanjutan atau sustainable fashion menawarkan jalan keluar dari keruwetan ini. Pendekatan ini menantang kita untuk memproduksi dan mengonsumsi secara bertanggung jawab—memilih bahan ramah lingkungan, memprioritaskan proses produksi yang etis, dan memastikan bahwa setiap keputusan dalam rantai pasok menghormati hak manusia dan alam.[6]

  • Bahan yang digunakan: Beralihlah ke bahan-bahan seperti serat alami yang mudah terurai, misalnya kapas organik atau viscose rayon. Ini adalah langkah kecil tapi berarti dalam mengurangi polusi plastik mikro di lautan kita.
  • Proses produksi: Sistem manufaktur yang tertutup dan efisien memungkinkan daur ulang bahan kimia dan energi, mengurangi limbah dan dampak ekologis.
  • Peran masyarakat: Sebagai konsumen, kita memiliki kuasa untuk mendukung merek-merek yang memprioritaskan keberlanjutan dan keadilan sosial.

 

Hak Asasi Manusia adalah Tanggung Jawab Kita Bersama

Hak atas lingkungan hidup yang sehat adalah bagian tak terpisahkan dari hak asasi manusia. Indonesia, sebagai negara demokrasi yang telah meratifikasi berbagai instrumen HAM internasional, harus memimpin upaya ini dengan regulasi yang lebih ketat terhadap industri fast fashion. Namun, perubahan sejati tidak bisa hanya datang dari kebijakan. Ia membutuhkan dorongan dari bawah—dari kita, generasi muda Indonesia.

Call to Action: Rajut Perubahan dari Kini

Kawan muda Indonesia, mari kita bangkit dari siklus konsumsi tanpa henti ini. Mari kita bertanya sebelum membeli: siapa yang membuat pakaian ini? Apa dampaknya terhadap bumi dan sesama kita?

  • Dukung lokal: Pilih produk fashion lokal yang mendukung keberlanjutan dan keadilan.
  • Kurangi, pakai ulang, daur ulang: Jadikan kebiasaan kita lebih ramah lingkungan dengan membeli lebih sedikit, memakai lebih lama, dan mendaur ulang pakaian lama.
  • Kampanye bersama: Gunakan suara kita di media sosial, di komunitas, dan di jalanan untuk menuntut industri fashion bertanggung jawab.

Sebagai generasi yang diwarisi bumi ini, kita punya tugas moral untuk melindungi dan memulihkannya. Mari kita tinggalkan warisan berupa dunia yang lebih sehat dan adil. Ingatlah, perubahan dimulai dari langkah kecil yang konsisten.

Maka dari itu, tanyakan pada dirimu: hari ini, apa yang bisa kulakukan untuk menjahit dunia yang lebih baik? 🌏

 

Referensi

[1] https://www.wri.org/insights/apparel-industrys-environmental-impact-6-graphics

[2] https://earth.org/fast-fashions-detrimental-effect-on-the-environment/#:~:text=According%20to%20the%20UN%20Environment%20Programme%20(UNEP)%2C,all%20international%20flights%20and%20maritime%20shipping%20combined.

[3] https://cleanclothes.org/news/2024/11-years-since-the-rana-plaza-collapse-factories-are-safer-but-the-root-causes-of-tragedy-persist#:~:text=24%20April%202024%20will%20mark,Plaza%20building%2C%20killing%201%2C138%20people.

[4]https://en.wikipedia.org/wiki/Rana_Plaza_collapse#:~:text=The%20factories%20manufactured%20apparel%20for,Matalan%2C%20Primark%2C%20and%20Walmart.

[5] https://cleanclothes.org/news/2024/11-years-since-the-rana-plaza-collapse-factories-are-safer-but-the-root-causes-of-tragedy-persist#:~:text=24%20April%202024%20will%20mark,Plaza%20building%2C%20killing%201%2C138%20people.

[6] https://www.oxfam.org.uk/oxfam-in-action/oxfam-blog/7-facts-about-sustainable-fashion/

Kategori :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *