Pada 12 November 2024, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan permohonan praperadilan Sahbirin Noor, atau yang akrab disapa Paman Birin, Gubernur Kalimantan Selatan. Putusan ini membatalkan status tersangkanya dalam dugaan kasus suap dan gratifikasi yang sebelumnya ditetapkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menariknya, putusan ini bertepatan dengan hari ulang tahunnya, menjadi semacam “hadiah” yang sangat strategis dan simbolis. Namun, di balik selebrasi tersebut, muncul kritik tajam tentang bagaimana hukum bisa dimanfaatkan untuk melemahkan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Konteks Kasus
Sebelum gugatan praperadilan diajukan, KPK menetapkan Sahbirin sebagai tersangka berdasarkan dugaan keterlibatan dalam suap proyek infrastruktur di Kalimantan Selatan. Penetapan ini diklaim berdasarkan minimal dua alat bukti yang sah, sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 44 Undang-Undang KPK. Namun, Sahbirin tidak pernah dipanggil atau diperiksa oleh KPK sebelum ditetapkan sebagai tersangka.
Langkah Sahbirin mengajukan praperadilan pun membuahkan hasil. Dalam putusannya, hakim menyatakan bahwa penetapan tersangka terhadap dirinya cacat prosedur, karena tidak diawali dengan pemeriksaan langsung. Putusan ini memaksa KPK untuk mencabut status tersangka Sahbirin, meskipun KPK sendiri mengklaim telah bekerja sesuai prosedur hukum yang berlaku.
Hukum dalam Akrobat Prosedural
Keputusan praperadilan ini memperlihatkan bagaimana hukum dapat digunakan sebagai senjata defensif untuk melawan lembaga pemberantas korupsi. Di satu sisi, langkah ini menggarisbawahi pentingnya prosedur hukum yang adil—tidak ada yang boleh dinyatakan bersalah tanpa proses yang tepat. Namun di sisi lain, keputusan tersebut menimbulkan kesan bahwa tersangka dengan kekuatan politik dan sumber daya cukup besar dapat memanfaatkan celah hukum untuk melindungi diri.
Putusan hakim menekankan pentingnya pemeriksaan langsung terhadap Sahbirin sebelum ditetapkan sebagai tersangka. Meski secara prosedural argumen ini memiliki dasar, pertanyaan lebih besar yang muncul adalah: apakah syarat tersebut absolut dalam konteks pemberantasan korupsi? Dalam kasus-kasus OTT (Operasi Tangkap Tangan), KPK sering kali tidak memeriksa semua pihak yang diduga terlibat sebelum menetapkan status tersangka. Apakah standar ini harus diterapkan sama untuk semua kasus, atau adakah pengecualian?
KPK yang “Tak Berkutik”?
KPK dalam beberapa tahun terakhir menghadapi tantangan besar, mulai dari revisi UU KPK yang dinilai melemahkan hingga keterbatasan dalam penindakan kasus-kasus besar. Kasus praperadilan Paman Birin menjadi salah satu pukulan tambahan. Dengan putusan ini, KPK terkesan tidak berdaya melawan strategi hukum yang memanfaatkan celah prosedural.
Namun, patut dicatat bahwa KPK sendiri tetap mempertahankan klaim bahwa mereka memiliki bukti yang cukup untuk menetapkan Sahbirin sebagai tersangka. KPK juga mengindikasikan akan mempelajari putusan ini untuk menentukan langkah hukum selanjutnya. Meski demikian, upaya KPK untuk kembali menetapkan Sahbirin sebagai tersangka kemungkinan akan menghadapi hambatan lebih besar, baik dari sisi teknis hukum maupun tekanan politik.
“Hadiah Ulang Tahun” yang Kontroversial
Berbagai pihak menyebut putusan ini sebagai “hadiah ulang tahun” untuk Sahbirin Noor. Momentum ini memperkuat persepsi publik bahwa kekuatan politik dan jaringan hukum yang kuat dapat digunakan untuk memengaruhi hasil proses hukum. Kritik ini semakin tajam ketika mengingat bahwa kasus korupsi yang diduga melibatkan Sahbirin menyentuh ranah anggaran publik—dana yang seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat luas.
Pendukung Sahbirin memanfaatkan momen ini untuk menggambarkannya sebagai tokoh yang berhasil “memenangkan keadilan.” Namun, bagi banyak pihak, keputusan ini lebih mencerminkan bagaimana hukum dapat dimanipulasi untuk keuntungan pihak tertentu, terutama mereka yang memiliki akses pada sumber daya hukum dan politik.
Dampak terhadap Pemberantasan Korupsi
Putusan ini berpotensi menjadi preseden buruk bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Tersangka lain dapat memanfaatkan argumen serupa untuk menggugat prosedur KPK, terutama dalam kasus-kasus yang tidak melibatkan OTT. Jika putusan ini menjadi tren, efektivitas KPK dalam menetapkan tersangka dapat semakin terkikis, memperlemah kepercayaan publik terhadap lembaga tersebut.
Di sisi lain, putusan ini juga menyoroti perlunya reformasi dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Bagaimana pengadilan harus menyeimbangkan antara kepastian hukum, hak-hak individu, dan kepentingan publik dalam memberantas korupsi? Perdebatan ini menjadi semakin relevan ketika menyangkut tokoh politik dengan kekuasaan besar seperti Sahbirin Noor.
Kesimpulan: Keadilan atau Kemenangan Kekuasaan?
Kasus praperadilan Paman Birin menunjukkan dua sisi tajam dari sistem hukum di Indonesia. Di satu sisi, keputusan ini mencerminkan pentingnya menjaga prosedur hukum yang adil, bahkan untuk tersangka kasus korupsi. Namun di sisi lain, putusan ini juga memperlihatkan bagaimana hukum bisa dijadikan alat untuk melemahkan upaya pemberantasan korupsi, terutama oleh pihak-pihak dengan akses politik dan hukum yang kuat. Bagi publik, kasus ini menjadi pengingat bahwa perjuangan melawan korupsi di Indonesia masih menghadapi tantangan besar—bukan hanya dari luar sistem hukum, tetapi juga dari dalamnya.