Indonesia sebagai negara yang menjunjung tinggi hak kebebasan menyampaikan pendapat, setiap warga negara dijamin dan dilindungi oleh Konstitusi maupun Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia untuk menyampaikan pendapat di muka umum dengan lisan, tulisan, dan sebagainya. Lebih lanjut, hukum normatif di Indonesia mengatur secara khusus terkait menyampaikan pendapat di muka umum yaitu Undang-Undang No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Akan tetapi, meskipun kebebasan berpendapat diakomodir dalam Konstitusi negara kita dan masuk dalam kategori hak dasar yang dilindungi, kebebasan berpendapat merupakan hak yang dapat dibatasi (derogable rights).
Dalam era Globalisasi saat ini, menyampaikan pendapat di muka umum memiliki implikasi yang lebih luas. Globalisasi telah menjadi pendorong lahirnya era perkembangan teknologi informasi yang sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat dengan kehadiran internet. Dengan adanya teknologi internet, seseorang sekarang dapat lebih mudah menyebarkan pendapat mereka. Akan tetapi, dengan adanya kemudahan dalam menyampaikan pendapat di internet, seringkali disalahgunakan oleh seseorang untuk melakukan cyberbullying.
Cyberbullying adalah sebuah bentuk dari bullying yang diperluas, dimana bullying itu sendiri merupakan tindakan intimidasi. Di Indonesia, regulasi hukum yang mengatur tentang tindakan intimidasi ini dapat ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta dalam Undang-Undang No.11 Tahun 2008 yang telah direvisi oleh Undang-Undang No.19 Tahun 2016 mengenai Informasi dan Transaksi Elektronik.
Cyberbullying, yaitu perilaku berulang yang bertujuan untuk menakut-nakuti, membuat marah, atau mempermalukan korbannya, telah menjadi kenyataan dalam masyarakat, terutama di kalangan remaja. Bullying dapat terjadi secara fisik, seperti dengan menampar atau melukai, serta secara verbal, misalnya dengan menghina, mengejek, atau mengancam. Namun, bentuk bullying melalui media siber ini lebih sering berupa tindakan verbal.
Penelitian yang dilakukan oleh Badan Litbang SDM, Kementerian Komunikasi dan Informatika yang didukung oleh UNICEF tentang “Studi penggunaan internet di kalangan anak-anak dan remaja di Indonesia” yang dirilis pada tahun 2014 menyebutkan korban cyberbullying tertinggi terjadi pada anak-anak.
Cyberbullying dianggap sebagai kejahatan siber karena menggunakan internet dan perangkat informasi seperti komputer dan telepon seluler. Meskipun Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum sepenuhnya mencakup ketentuan mengenai cyberbullying, KUHP sudah mengatur pasal tentang pengancaman dan penghinaan. Pasal 368 ayat (1) memberikan ancaman pidana hingga sembilan tahun penjara, sementara Pasal 310 ayat (1) mengatur hukuman penjara maksimal sembilan bulan atau denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Namun, sebagai lex specialis dari KUHP, cyberbullying diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. dalam Pasal 29 berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi”.
Ketentuan sanksi dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ini mempunyai sanksi pidana sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 45B Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang berbunyi: “Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dipidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 750.000.000,00. (tujuh ratus lima puluh juta).”
Perlu diketahui bahwa cyberbullying memiliki ciri-ciri khusus yang di antaranya sebagai berikut:
- Non-violence (tanpa kekerasan)
- Sedikit melibatkan kontak fisik (Minimize of physical contact)
- Menggunakan peralatan (equipment) dan teknologi
- Memanfaatkan jaringan telematika (telekomunikasi, media dan informatika) global
Berbagai upaya pencegahan yang dapat dilakukan meliputi kontrol sosial, memahami alasan di balik perilaku pelaku, mengurangi frekuensi posting, menghindari konten yang mencurigakan atau berpotensi menimbulkan masalah, dan bijaksana dalam memilih teman di media sosial. Sebagai korban, penting untuk berani menghadapi segala bentuk perundungan, menjauh dari lingkungan yang memberikan pengaruh negatif, dan memilih teman-teman yang memiliki dampak positif.
Untuk memperbaiki kesehatan mental yang terganggu, korban disarankan untuk mencatat hal-hal positif dalam hidup mereka, memastikan cukup istirahat, dan terlibat dalam kegiatan yang membawa emosi positif. Untuk memulihkan kondisi mental yang rusak akibat cyberbullying, korban dianjurkan berbicara dengan orang-orang terdekat. Jika dampaknya sudah terlalu parah, korban juga bisa berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater.
Sumber:
Mediajustitia.com. 2022. Maraknya Cyberbullying di Kalangan Remaja, Ini Sanksi Pidana bagi Pelakunya. mediajustitia (28Juli). https://www.mediajustitia.com/uncategorized/sanksi-pidana-bagi-pelaku-cyberbullying/ (diakses pada 13 Mei 2024).
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Dysa Adynta, Meirisya Tahara, Pratama Rizky, dkk. 2021. Cyberbullying Di Kalangan Remaja. Fakultas Ekonomi dan Bisnis UPN Veteran Jakarta. https://repository.upnvj.ac.id/14640/1/Kelompok%2026A_Cyberbullying%20di%20Kalangan%20Remaja_Prospektiv.pdf (diakses pada 13 Mei 2024).