Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan, khususnya dalam Pasal 434 Ayat (1) huruf c diatur mengenai larangan untuk menjual produk tembakau secara eceran atau ketengan kecuali bagi produk cerutu dan rokok elektronik. Kebijakan ini dikeluarkan sebagai bagian dari upaya pemerintah untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan mengurangi prevalensi perokok di Indonesia. Rokok merupakan salah satu penyebab utama dari berbagai penyakit kronis seperti kanker paru-paru, penyakit jantung, dan penyakit gangguan pernapasan.[1] Dengan adanya pemberlakuan regulasi ini, diharapkan akses masyarakat terhadap rokok dapat dikurangi sehingga dapat menurunkan angka perokok. Pada dasarnya, dapat dilihat bahwa dengan diberlakukannya Pasal 434 Ayat (1) tersebut dapat mengurangi akses dan ketersediaan rokok yang terjangkau karena dapat dibeli secara eceran atau dalam jumlah kecil sehingga mudah untuk diakses oleh anak-anak dan remaja. Akses yang mudah terhadap rokok murah menjadi salah satu faktor utama yang mendorong peningkatan angka perokok muda. Dengan melarang penjualan rokok eceran, pemerintah berharap dapat menurunkan angka perokok muda dan mencegah dampak negatif jangka panjang terhadap kesehatan masyarakat.
Dalam Pasal 4 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk hidup sehat secara fisik, jiwa, dan sosial, mendapatkan lingkungan yang sehat pagi pencapaian derajat kesehatan, dan mendapatkan perlindungan dari risiko kesehatan. Diketahui bahwa rokok adalah suatu produk yang mengandung zat adiktif sehingga dapat merusak kesehatan dan lingkungan.[2] Berdasarkan hal tersebut, regulasi larangan penjualan rokok eceran yang membatasi akses terhadap rokok sejalan dengan upaya pemerintah untuk melindungi hak kesehatan masyarakat. Selain regulasi melarang penjualan rokok eceran, dalam Pasal 434 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan tersebut juga melarang penjualan kepada setiap individu yang berusia di bawah 21 tahun. Hal tersebut sejalan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak yang memuat terkait perlindungan anak dari paparan zat adiktif, termasuk rokok.
Regulasi larangan penjualan rokok eceran dan menjual terhadap anak di bawah usia 21 tahun ini merupakan upaya untuk melindungi anak dari risiko penyakit dalam rentang waktu jangka panjang. Akan tetapi, implementasi dari regulasi tersebut memiliki dampak terhadap masyarakat luas, baik positif maupun negatif. Dilihat dari sisi positif, kebijakan ini diharapkan dapat menurunkan prevalensi perokok, terutama di kalangan anak-anak dan remaja. Penurunan angka perokok ini pada akhirnya akan mengurangi beban kesehatan masyarakat akibat penyakit terkait rokok, seperti kanker, penyakit jantung, dan penyakit pernapasan kronis. Selain itu, kebijakan ini juga dapat mengurangi beban ekonomi masyarakat akibat pengeluaran yang ditujukan untuk membeli rokok. Rokok seringkali menjadi pengeluaran yang tidak produktif atau pada dasarnya tidak perlu. Namun, karena rokok bersifat adiktif, masyarakat yang sudah kecanduan akan sulit untuk berhenti merokok. Dengan membatasi akses terhadap rokok, diharapkan masyarakat dapat mengalokasikan pengeluaran mereka untuk kebutuhan yang lebih produktif, misalnya untuk pendidikan dan kesehatan. Berbanding terbalik, kebijakan larangan penjualan rokok eceran ini menimbulkan dampak negatif atau resistensi bagi para pedagang kecil. ang bergantung pada penjualan rokok eceran sebagai sumber penghasilan. Banyak warung dan pedagang kecil di Indonesia yang menjual rokok eceran karena margin keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan dengan penjualan rokok dalam kemasan besar. Larangan ini berpotensi menurunkan pendapatan mereka dan menimbulkan ketidakstabilan ekonomi bagi pedagang kecil.
Salah satu tantangan utama dalam implementasi kebijakan larangan penjualan rokok eceran adalah pengawasan dan penegakan hukum.[3] Di Indonesia, penjualan rokok eceran sudah menjadi praktik umum, terutama di daerah-daerah pedesaan dan pelosok. Oleh karena itu, diperlukan upaya pengawasan yang intensif untuk memastikan kebijakan ini dapat berjalan efektif. Pemerintah perlu bekerja sama dengan berbagai pihak, termasuk aparat penegak hukum, pemerintah daerah, dan organisasi masyarakat, untuk melakukan sosialisasi dan pengawasan yang efektif. Perilaku masyarakat juga menjadi tantangan tersendiri. Kebiasaan merokok sudah menjadi bagian dari budaya di beberapa kelompok masyarakat. Guna mengatasi hal tersebut, diperlukan pendekatan yang holistik dan komprehensif untuk mengubah perilaku merokok, termasuk melalui edukasi kesehatan, kampanye anti-rokok, dan penyediaan alternatif kegiatan yang sehat.
Di samping tantangan implementasi yang datang dari masyarakat luas, tantangan penerapan regulasi larangan penjualan rokok eceran juga datang dari Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan itu sendiri. Dalam Peraturan Pemerintah tersebut tidak ada pasal yang mengatur terkait sanksi administratif maupun pidana apabila melanggar Pasal 434 Ayat (1) huruf c, yakni bagi setiap orang yang masih menjual ataupun melakukan transaksi rokok eceran. Ketiadaan ketentuan mengenai sanksi ini dapat mengakibatkan regulasi menjadi kurang efektif karena tidak adanya konsekuensi hukum yang jelas bagi pelanggar. Hal ini membuka peluang bagi pedagang yang enggan mematuhi aturan untuk terus menjalankan praktik penjualan rokok eceran tanpa khawatir akan adanya penindakan hukum yang tegas. Ketidakjelasan mengenai sanksi bagi pelanggaran Pasal 434 Ayat (1) huruf c juga dapat menimbulkan kebingungan di tingkat penegakan hukum. Aparat penegak hukum dapat mengalami kesulitan dalam menentukan langkah yang harus diambil ketika menemukan pelanggaran regulasi ini. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah perlu mempertimbangkan revisi atau penambahan pasal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 yang secara eksplisit mengatur sanksi administratif maupun pidana bagi pelanggar aturan penjualan rokok eceran. Dengan demikian, implementasi regulasi dapat berjalan lebih efektif dan memberikan efek jera bagi para pelanggar, serta mendukung tujuan utama kebijakan ini dalam meningkatkan kesehatan masyarakat.
Referensi
[1] Shabah, M. A. A., Ajizah, V. N.,& Khasanah, U. (2023). Perilaku Perokok Terhadap Kesadaran Kesehatan Lingkungan Dalam Perspektif Fatwa MUI. Student Research Journal, 1, 01-14. Diakses dari https://journal-stiayappimakassar.ac.id/index.php/srj/article/download/460/467/1208 pada tanggal 8 Agustus 2024 Pukul 15:24 WIB
[2] Nabila, T., & Sakti, M. (2023). Perlindungan Konsumen Atas Iklan Produk Rokok Sebagai Upaya Menurunkan Prevalensi Perokok Anak. Jurnal Interpretasi Hukum, 4, 367-376. Diakses dari https://www.ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/juinhum/article/download/7269/4855/ pada tanggal 8 Agustus 2024 Pukul 15:37 WIB
[3] Maparipe, C. Y., Soputan, M., & Mangowal, M. G. (2024). Analisis Yuridis Terhadap Penegakan Hukum Larangan Penjualan Rokok Kepada Anak Di Bawah Umur Di Kota Manado. Jurnal Lex Privatum, 13, 01-11. Diakses dari https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/lexprivatum/article/view/57218/47171 pada tanggal 8 Agustus 2024 Pukul 16:01 WIB