Kesemestian Hukum Dililit oleh Kepentingan Politik: Jurnalisme yang Menjadi Korban

Di tengah cita-cita negara hukum yang menjunjung tinggi keadilan dan demokrasi, realitas yang terjadi justru menunjukkan bagaimana hukum di Indonesia semakin terbelenggu oleh kepentingan politik. Kebebasan pers sebagai pilar demokrasi menjadi korban utama dalam situasi ini. Pengesahan Revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) menjadi bukti nyata bagaimana kekuasaan secara sistematis membatasi ruang gerak masyarakat, menyudutkan media untuk memilih antara tunduk pada narasi resmi atau menghadapi risiko pembredelan dan kriminalisasi.

RUU TNI yang disahkan menuai kontroversi karena membuka peluang intervensi militer dalam ranah sipil, termasuk dalam pengawasan informasi. Beberapa pasal dalam RUU ini secara langsung mengancam kebebasan pers, seperti pembatasan peliputan isu militer tanpa izin yang berpotensi mempersulit investigasi kasus pelanggaran HAM atau korupsi di lingkungan TNI. Lebih berbahaya lagi, UU ini memungkinkan kriminalisasi pemberitaan kritis dengan dalih “mengganggu keamanan nasional”, serta memberikan peran lebih besar secara tidak langsung yang berisiko digunakan untuk membungkam media daring yang kritis.

Sejarah Indonesia telah membuktikan bahwa keterlibatan militer dalam urusan sipil selalu berakhir dengan represi terhadap kebebasan pers. Pada akhirnya, demokrasi memang tak pernah kompatibel jika disandingkan dengan senjata. Jika pada era Orde Baru kita mengenal Departemen Penerangan dan Dwi Fungsi ABRI sebagai alat kontrol terhadap media, kini RUU TNI berpotensi menghadirkan bentuk represi yang serupa. Fakta-fakta di lapangan menunjukkan betapa berbahayanya bersikap kritis di Indonesia. Majalah Tempo pernah menerima teror kepala babi dan tikus mati di kantor redaksinya setelah memberitakan kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi dan vocal terhadap dosa-dosa para pemimpin. Jauh lebih memprihatinkan, aparat penegak hukum terlihat lamban bahkan memberikan pernyataan konyol dalam menindak teror ini, seolah membiarkan ancaman terhadap pers untuk tetap terjadi.

Kasus lain yang patut menjadi perhatian adalah ancaman yang dialami Ferry Irwandi, content creator yang aktif dalam membahas dan menyadarkan khalayak luas atas krisis yang sedang dialami oleh bangsa. Alih-alih mendapatkan perlindungan negara, ia justru menerima ancaman pembunuhan dan dianggap sebagai pengganggu stabilitas. Bahkan tokoh jurnalisme ternama seperti Najwa Shihab pun terlihat mengalami perubahan signifikan dalam konten pemberitaannya, dari yang dulunya vokal mengkritik kekuasaan kini cenderung memilih tema-tema yang lebih “aman”. Perubahan ini diduga kuat merupakan dampak dari tekanan oligarki media dan ancaman pembredelan yang semakin masif.

Ketakutan terhadap jerat hukum dan tekanan keamanan telah memaksa banyak media melakukan self-censorship. Pemberitaan kasus-kasus sensitif seperti penembakan di Papua seringkali hanya mengikuti versi resmi TNI tanpa investigasi mendalam. Demikian pula dengan liputan mengenai alutsista TNI atau anggaran pertahanan yang jarang dikritisi karena risiko dianggap mengganggu stabilitas. Padahal secara konstitusional, Pasal 28F UUD 1945 dengan tegas menjamin kebebasan berekspresi dan memperoleh informasi. Ironisnya, berbagai regulasi represif seperti RUU TNI, UU ITE, dan KUHP baru justru mengubah hukum dari pelindung menjadi alat represi.

Kontradiksi kesemestian hukum (das sollen) semakin nyata ketika UU Pers No. 40/1999 yang menjamin kemerdekaan pers tidak memiliki daya guna (das sein. Dalam praktiknya, pengadilan seringkali memenangkan pihak penguasa dalam gugatan pencemaran nama baik terhadap media. Sementara itu, Dewan Pers yang seharusnya menjadi benteng pertahanan kebebasan pers ternyata tidak memiliki kekuatan nyata untuk melawan tekanan politik dan militer.

Jika kondisi ini terus dibiarkan, Indonesia akan kembali ke era pers yang tunduk pada kekuasaan. Beberapa langkah strategis perlu segera diambil, mulai dari judicial review terhadap pasal-pasal represif dalam UU TNI oleh masyarakat sipil dan organisasi jurnalis, memperkuat perlindungan hukum bagi jurnalis melalui revisi UU Pers ataupun bersuara baik secara daring maupun tumpah kejalan demi menyadarkan orang lebih banyak. Edukasi publik tentang pentingnya jurnalisme kritis dalam demokrasi juga menjadi kebutuhan mendesak.

Pada akhirnya, RUU TNI bukan sekadar tentang pertahanan negara, melainkan juga tentang pengendalian informasi dan pembungkaman suara kritis. Ketika media sekelas Tempo bisa diteror, jurnalis seperti Ferry Irwandi menerima ancaman, dan tokoh seperti Najwa Shihab tidak lagi tajam, itu pertanda jelas bahwa iklim jurnalisme Indonesia sedang sekarat. Masyarakat harus menyadari bahwa ketika kebenaran dibungkam, yang tersisa hanyalah represi dan kesewenang-wenangan. Saatnya kita bangkit memperjuangkan kembali jurnalisme yang bebas dan bertanggung jawab, karena tanpa itu, demokrasi hanyalah ilusi belaka.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *