Pemindahan Ibukota Indonesia dari DKI Jakarta ke Ibu Kota Nusantara (IKN) terus mengalami perkembangan, baik dari segi pembangunan maupun polemik-polemik pemindahannya. Belakangan ini publik kembali dibuat heboh dengan adanya gagasan untuk tidak memindahkan DPR dan Lembaga legistlatif lainnya ke IKN namun tetap beroperasional di DKI Jakarta. Gagasan ini menuai banyak pertanyaan publik lantaran DPR terlihat tidak konsisten dalam membuat keputusan bahkan tidak mempertimbangkan secara matang dalam mengidentifikasi dampak yang akan hadir ketika mengesahkan RUU IKN sebelumnya.
Usulan untuk tidak memindahkan DPR ke IKN disampaikan oleh Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Achmad Baidowi saat rapat kerja antara DPR dan pemerintah tentang Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU DKJ. DPR Meminta kesepakatan pemerintah untuk memasukkan ketentuan dalam Rancangan Undang-Undang Daerah Khusus Jakarta (RUU DKJ) bahwa daerah ini akan dijadikan ibu kota khusus bidang legislasi. Merespons usulan itu, pemerintah yang diwakili Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Suhajar Diantoro menolak usulan tersebut. Ia menekankan bahwa kedudukan Lembaga negara tidak hanya bisa pemerintah atau eksekutif di IKN, melainkan harus termasuk DPR sebagai bagian dari Lembaga legislatif.[1]
Peristiwa saling Tarik ulur ini cukup membuat publik ‘menggeleng-gelengkan kepala’ melihat progres IKN yang sudah berjalan, namun mengapa usulan ini kemudian dihadirkan. Padahal jika diikuti, DPR memiliki peranan utama dalam perumusan RUU IKN dan segala regulasi turunannya.
Peran Besar DPR dalam Perumusan UU IKN
Proses pembentukan UU IKN dimulai dengan pengiriman surat presiden (surpres) tentang rancangan undang-undang (RUU) IKN pada September 2021 lalu. Sekitar 2 (dua) bulan setelah menerima surpres dan draf RUU, DPR menentapkan panitia khusus (Pansus) RUU IKN pada 7 Desember 2021. Adapun susunan pansus ini terdiri dari 12 orang fraksi PDIP, 8 orang fraksi Golkar, dan 8 orang fraksi gerindra, 6 orang frkasi Nasdem, 6 orang fraksi PKB, 5 dari demokratm 5 dari PKS, 4 dari PAN, dan 2 orang dari fraksi PPP. Anggota pansus yang terdiri dari berbagai fraksi DPR bahkan melakukan kunjungan kerja ke Kazakhstan bersama Kementerian PPN?Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Kegiatan ini sempat menuai kritikan karena DPR dinilai gagal memberikan contoh kepada publik sebab melakukan kunjungan kerja ke luar negeri di tengah penyebaran virus corona.
Tidak hanya itu, permasalahan lain juga terjadi dalam rapat pembahasan RUU IKN. Rapat dilakukan hingga dini hari yang menghasilkan kesepakatan bahwa RUU IKN akan dibawa ke rapat paripurna DPR untuk menjadi undang-undang. Meski terdapat penolakan dalam rapat, proses pengesahan tetap berlanjut. RUU IKN resmi disahkan menjadi undang-undang melalui rapat paripurna DPR.
Efektifitas Hubungan Kerja Lembaga Legislatif dengan Eksekutif
Dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, terdapat tiga cabang kekuasaan, yakni legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Hal ini dikenal dengan konsep Trias Politica namun dalam perkembangannya, pelaksanaan konsep ini lebih menekankan pada pembagian kekuasaan dan bukan pemisahan kekuasaan.[2]
Lembaga legislatif dan eksekutif memiliki kedudukan yang sejajar. Keduanya merupakan mitra yang tidak dapat saling menjatuhkan satu sama lain. Dalam menjalankan tugas dan beberapa kewenangannya, presiden sebagai Lembaga eksekutif membutuhkan peran Lembaga legislatif salah satunya terkait pembentukan undang-undang yang harus mendapat persetujuan Lembaga legislatif. Bentuk kerja sama eksekutif dan legislatif termuat dalam beberapa ketentuan pasal Undang-Undang Dasar, meliputi:
- Menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, presiden harus mendapatkan persetujuan dari DPR (Pasal 11 ayat 1)
- Dalam membuat perjanjian internasional lain yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat dan terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang, presiden harus mendapatkan persetujuan DPR (Pasal 11 Ayat 2)
- Dalam mengangkat duta dan menerima penempatan duta negara lain, presiden harus mempertimbangkan DPR (Pasal 13 Ayat 2 dan 3)
- Dalam memberikan amnesti dan abolisi, presiden harus memperhatikan pertimbangan DPR (Pasal 14 Ayat 2)
- Membentuk atau membuat undang-undang (Pasal 20 Ayat 2)
- Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) yang ditetapkan presiden dalam hal terjadi kegentingan yang memaksa harus mendapat persetujuan DPR (Pasal 22 Ayat 2)
- Presiden mengajukan rancangan APBN untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD (Pasal 23 Ayat 2)
- Dalam mengangkat dan memberhentikan aggota Komisi Yudisial, presiden harus berdasarkan persetujuan DPR (Pasal 24 B Ayat 3).[3]
Pelaksanaan kekuasaan negara dapat berjalan baik apabila komunikasi antara Lembaga eksekutif dan legislatif berlangsung dengan baik.[4] Demokrasi dapat berjalan baik jika masyarakat menyadari bahwa mereka memiliki hak untuk mengontrol jalannya pemerintahan dan pencapaian tujuan-tujuan dalam masyarakat diselenggarakan oleh wakil-wakil mereka, dilaksanakan dalam suatu representative government dalam hal ini adalah lembaga parlemen.[5]
Kunci utama dalam hubungan legislatif – eksekutif secara umum terdiri dari tiga hubungan yaitu: Pertama, Lembaga menjadi pembuat kebijakan. Kedua, lembaga mempengaruhi kebijakan dengan cara lembaga reaktif terhadap inisiatif pemerintah. Ketiga, lembaga didominasi oleh eksekutif atau hanya sebagai stemple bagi pemerintah.[6] Memaksimalkan peran lembaga parlemen dimaksudkan akan menjaga sistem check and balance dalam pemerintahan Indonesia yang berguna untuk menyeimbangkan kekuatan yang ada. Pelaksanaan sinergitas antara lembaga legislatif dan eksekutif akan mampu berjalan maksimal ketika pusat pemerintahan dan legislatif ditempatkan pada wilayah yang sama.
Penutup
Setelah melalui proses yang panjang dan keterlibatan besar DPR, sudah cukup rasanya DPR memahami segala kebijakan, regulasi, dan konsekuensi yang dihadirkan sehingga kebijakan untuk memindahkan pusat legislatif dengan eksekutif tidak perlu dihadirkan. Sinergitas antara legislatif dan eksekutif perlu dikuatkan. Alih-alih memisahkan pusat eksekutif dengan pusat legislatif, akan lebih baik pemerintah memperhatikan efektifitas dan efisiensi pembangunan IKN. Jangan sampai pembangunan IKN memakan waktu yang lama dan biaya yang besar mengingat kondisi Indonesia baik dari segi stabilitas ekonomi dan politik masih dalam tahap recovery.
Referensi:
[1] Arrijal Rachman, 2024, DPR Tidak Mau Pindah IKN, Usul Jakarta Jdi Ibu Kota Legislasi, CNBC Indonesia, https://www.cnbcindonesia.com/news/20240318153828-4-522928/dpr-tidak-mau-pindah-ke-ikn-usul-jakarta-jadi-ibu-kota-legislasi (diakses pada tanggal 21 Maet 2024)
[2] Issha Harruma, 2022, Mengapa Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif Harus Bekerja Sama?, Kompas, https://nasional.kompas.com/read/2022/08/18/01000091/mengapa-legislatif-eksekutif-dan-yudikatif-harus-bekerja-sama- (diakses pada 22 Maret 2024)
[3] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
[4] Issha Harruma, 2022, Bentuk Kerja Sama Antara Eksekutif dan Legislatif, Kompas, https://nasional.kompas.com/read/2022/08/12/01000021/bentuk-kerja-sama-antara-eksekutif-dan-legislatif (diakses pada 22 Maret 2024)
[5] Khairi Juanda, 2014, Membangun Hubungan Eksekutif dan Legislatif Daerah (Analisis Komunikasi Kebijakan Publik), Jurnal Tasamuh, Vol. 11 No. 2, Juni 2014.
[6] Siti Nurbaya Bakar, 2012, Hubungan Legislatif-Eksekutif, https://www.sitinurbaya.com/artikelku/130-hubungan-legislatif-eksekutif (diakses pada 22 Maret 2024)