Gratifikasi seksual merupakan bentuk perilaku yang secara langsung atau tidak langsung memberikan keuntungan atau hadiah seksual sebagai imbalan atas tindakan tertentu, sering kali dikaitkan dengan posisi kekuasaan. Fenomena ini semakin menjadi perhatian di berbagai negara, termasuk di Indonesia, di mana gratifikasi seksual diakui sebagai salah satu bentuk korupsi yang merusak integritas lembaga dan hubungan profesional. Dalam kerangka hukum, gratifikasi seksual dapat dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi dan pelecehan seksual, yang menuntut perhatian serius dalam penegakan hukum.
Menurut Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, aturan mengenai gratifikasi diatur bahwa gratifikasi yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap sebagai suap jika terkait dengan jabatan dan bertentangan dengan tugas atau kewajibannya. Untuk gratifikasi senilai Rp 10.000.000 atau lebih, penerima harus membuktikan bahwa pemberian tersebut bukan suap. Sementara itu, jika nilainya kurang dari Rp 10.000.000, beban pembuktian bahwa gratifikasi tersebut adalah suap berada pada penuntut umum.
Sedangkan, Hukuman bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang terlibat sebagaimana dimaksud sebelumnya hukuman penjara seumur hidup atau penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun. Selain itu, dikenakan denda dengan nominal paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Meski tidak diatur secara spesifik menyebutkan gratifikasi seksual, praktik tersebut termasuk dalam pengertian “pemberian” yang digunakan untuk mempengaruhi tindakan seseorang yang memiliki otoritas atau kewenangan, baik pada pegawai negeri maupun penyelenggara negara.
Gratifikasi seksual mengacu pada pemberian layanan seksual sebagai imbalan untuk mengamankan keuntungan atau memperlancar kepentingan tertentu. Bentuknya bisa beragam, mulai dari pemerasan seksual, pemberian layanan seksual sebagai suap, atau permintaan untuk layanan seksual sebagai bagian dari negosiasi kekuasaan. Fenomena ini menjadi lebih kompleks karena sering kali terjadi dalam konteks relasi yang tidak seimbang antara pelaku dan korban, seperti atasan dan bawahan, pejabat dan pengusaha, atau bahkan dalam pelayanan publik.
Dasar Hukum yang Mengatur Gratifikasi Seksual
- Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor)
Gratifikasi dalam konteks UU Tipikor mencakup segala bentuk pemberian yang berhubungan dengan jabatan atau kedudukan seseorang. Meskipun undang-undang ini tidak secara eksplisit menyebut gratifikasi seksual, praktik tersebut dapat masuk dalam kategori suap atau pemerasan dalam jabatan, sebagaimana diatur dalam Pasal 12B dan 12C UU Nomor 20 Tahun 2001. - Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS)
Dalam UU TPKS Nomor 12 Tahun 2022, berbagai bentuk kekerasan seksual dijelaskan, termasuk eksploitasi seksual dan pemerasan seksual. Dalam hal gratifikasi seksual melibatkan pemaksaan, ancaman, atau tekanan dari pihak yang berwenang terhadap individu yang lebih lemah, tindakan ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana kekerasan seksual. - Undang-Undang Ketenagakerjaan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa pekerja berhak mendapatkan perlindungan dari tindakan pelecehan seksual dan eksploitasi di tempat kerja. Jika gratifikasi seksual terjadi dalam lingkungan kerja dan melibatkan hubungan atasan-bawahan, maka dapat dikenai sanksi administratif dan pidana berdasarkan regulasi ketenagakerjaan. - Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)
Jika gratifikasi seksual melibatkan penggunaan sarana elektronik, seperti pesan teks, gambar, atau video yang mengandung unsur eksploitasi seksual sebagai alat tawar-menawar, maka pelaku dapat dikenai pasal dalam UU ITE terkait penyebaran konten bermuatan asusila atau ancaman berbasis seksual.
Upaya Pencegahan dan Penegakan Hukum
Untuk mengatasi gratifikasi seksual, diperlukan langkah-langkah strategis yang melibatkan berbagai pihak, baik pemerintah, sektor swasta, maupun masyarakat sipil:
- Penegakan Hukum yang Ketat Aparat, penegak hukum harus lebih proaktif dalam menangani kasus gratifikasi seksual dengan menerapkan pasal-pasal yang relevan dalam UU Tipikor, UU TPKS, dan UU lainnya.
- Peningkatan Kesadaran dan Pendidikan, perusahaan dan institusi pemerintahan harus menyelenggarakan pelatihan tentang etika kerja, kesetaraan gender, serta dampak dari gratifikasi seksual bagi individu dan organisasi.
- Penerapan Kebijakan Anti-Gratifikasi Seksual, setiap lembaga harus memiliki regulasi internal yang secara eksplisit melarang gratifikasi seksual dan memberikan mekanisme pelaporan yang aman bagi korban.
- Perlindungan bagi Korban dan Pelapor, sistem perlindungan saksi dan korban harus diperkuat agar mereka yang melaporkan kasus gratifikasi seksual tidak mengalami intimidasi atau ancaman dari pihak yang berkuasa.
Gratifikasi seksual merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang merusak etika, integritas, dan keadilan dalam berbagai sektor, baik pemerintahan, dunia kerja, maupun hubungan profesional lainnya. Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam regulasi korupsi di Indonesia, praktik ini dapat dikategorikan sebagai bentuk suap dan pelecehan seksual berdasarkan berbagai peraturan yang berlaku, seperti UU Tipikor, UU TPKS, UU Ketenagakerjaan, dan UU ITE.
Pencegahan gratifikasi seksual memerlukan pendekatan yang komprehensif, termasuk penegakan hukum yang lebih ketat, peningkatan kesadaran masyarakat, serta penerapan kebijakan anti-gratifikasi seksual di berbagai institusi. Perlindungan terhadap korban dan saksi juga harus menjadi prioritas agar mereka tidak mengalami tekanan atau intimidasi dalam mengungkap kasus ini. Dengan langkah-langkah yang tegas dan sistematis, Indonesia dapat menciptakan lingkungan yang lebih bersih dari praktik gratifikasi seksual serta membangun budaya kerja dan birokrasi yang berintegritas tinggi.
Daftar Pustaka
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan. (n.d.). 15 Bentuk Kekerasan Seksual: Sebuah Pengenalan. Diakses dari https://komnasperempuan.go.id/instrumen-modul-referensi-pemantauan-detail/15-bentuk-kekerasan-seksual-sebuah-pengenalan.