Dunia Seni di Persimpangan: Kebebasan Berekspresi atau Takut Kontroversi?

Penurunan lukisan Yos Suprapto usai pembatalan pamerannya di Galeri Nasional Indonesia (GNI) menjadi tamparan keras bagi dunia seni Indonesia. Kejadian ini memunculkan pertanyaan mendalam tentang nasib kebebasan berekspresi di negeri ini. Apakah seni, sebagai medium paling jujur untuk menyuarakan gagasan, kini menjadi sesuatu yang terlalu menakutkan bagi institusi dan penguasa tertentu?

Yos Suprapto, seorang maestro seni rupa yang dikenal karena keberanian tema-tema eksploratifnya, kembali menarik perhatian bukan karena karyanya terpajang dengan megah di dinding galeri, tetapi justru karena karyanya diturunkan secara mendadak. Lukisan-lukisan yang seharusnya menjadi pusat perhatian pameran dibungkam sebelum sempat menyuarakan apa yang ingin mereka sampaikan. Alasan resmi yang disebutkan, yakni “ketidaksesuaian teknis,” justru memancing lebih banyak kecurigaan daripada jawaban. Banyak yang bertanya-tanya, apakah karya tersebut menyimpan pesan yang dianggap terlalu tajam, sehingga institusi seni seperti GNI memilih untuk menjauhkan diri darinya?

Kejadian ini mengingatkan kita pada banyak kasus serupa, di mana karya seni yang berani mengangkat kritik sosial atau tema sensitif harus menghadapi sensor, baik secara terang-terangan maupun terselubung. Seni, yang seharusnya menjadi ruang bebas bagi dialog, kini seolah menjadi ancaman bagi pihak-pihak yang merasa terusik. Penurunan lukisan ini menjadi simbol bagaimana kejujuran sering kali dianggap berbahaya dalam konteks sosial dan politik kita.

Banyak seniman dan pegiat seni menyuarakan kekecewaan mereka terhadap insiden ini. Bagi mereka, pembatalan pameran Yos Suprapto adalah bentuk lain dari pembungkaman, sebuah tindakan yang bertentangan dengan semangat kebebasan berekspresi. Seni adalah suara dari mereka yang sering kali tak terdengar, dan membungkam seni berarti membungkam keberanian untuk berbicara tentang kebenaran.

Namun, ini bukan hanya soal Yos Suprapto dan karyanya. Insiden ini mencerminkan pola yang lebih luas dalam cara Indonesia menghadapi gagasan-gagasan yang tidak nyaman. Kebebasan berekspresi, meski dijamin oleh undang-undang, masih sering kali menjadi korban ketika berhadapan dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Ketika institusi seperti GNI, yang seharusnya menjadi pelindung dan promotor seni, justru terkesan tunduk pada tekanan, maka pertanyaan besar muncul: siapa yang sebenarnya mengendalikan ruang seni di Indonesia?

Bagi masyarakat seni, kejadian ini menjadi momen refleksi yang pahit. Apakah seni di Indonesia hanya akan menjadi alat dekoratif yang tidak memiliki ruang untuk berbicara secara kritis? Apakah seniman harus terus-menerus membatasi diri mereka agar tidak menyinggung pihak tertentu? Jika demikian, maka seni kehilangan esensinya sebagai medium ekspresi yang otentik.

Kita perlu memahami bahwa seni bukan hanya tentang estetika, tetapi juga tentang keberanian untuk menyuarakan apa yang sering kali sulit diungkapkan dalam kata-kata. Penurunan lukisan Yos Suprapto adalah simbol dari bagaimana kebenaran, ketika disampaikan dengan jujur, dapat dianggap sebagai ancaman. Ini adalah ironi yang menyakitkan, mengingat seni seharusnya menjadi salah satu bentuk kebebasan tertinggi dalam sebuah masyarakat yang demokratis.

Pada akhirnya, kejadian ini bukan hanya tentang lukisan yang diturunkan atau pameran yang dibatalkan. Ini adalah pengingat bahwa perjuangan untuk kebebasan berekspresi masih jauh dari selesai. Dunia seni di Indonesia perlu terus berdiri teguh dalam menghadapi segala bentuk tekanan, karena di balik setiap karya seni yang dibungkam, ada kebenaran yang menunggu untuk didengar. Jika seni terus dibungkam, maka bukan hanya suara seniman yang hilang, tetapi juga harapan kita untuk menciptakan masyarakat yang benar-benar bebas dan adil.

Dalam konteks hukum, kebebasan berekspresi di Indonesia dijamin oleh Pasal 28E ayat (2) dan (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan menyatakan pendapat, baik secara lisan maupun tulisan. Namun, implementasi jaminan ini sering kali terhambat oleh regulasi yang multitafsir dan dapat digunakan untuk membatasi ekspresi kreatif, termasuk dalam seni.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), misalnya, sering kali digunakan untuk mengkriminalisasi ekspresi yang dianggap melanggar norma atau menghina pihak tertentu. Meskipun UU ITE secara teknis tidak langsung mengatur seni visual, kekhawatiran akan adanya “efek domino” dari penerapan hukum ini membuat banyak seniman menjadi berhati-hati dalam menyampaikan gagasannya. Hal ini semakin diperburuk dengan adanya Pasal 156 KUHP tentang penistaan agama, yang dapat dengan mudah digunakan untuk menyerang karya seni yang mengangkat tema keagamaan atau kritik sosial.

Selain itu, lembaga seperti Galeri Nasional Indonesia, yang seharusnya menjadi ruang netral untuk mempromosikan seni tanpa diskriminasi, juga menghadapi tekanan dari berbagai pihak, baik dari pemerintah, kelompok tertentu, maupun masyarakat umum. Keputusan untuk menurunkan lukisan Yos Suprapto menunjukkan adanya ketakutan untuk menghadapi kontroversi, meskipun kontroversi adalah bagian integral dari seni yang kritis.

Konteks internasional juga memberikan perbandingan yang menarik. Di negara-negara dengan kebebasan berekspresi yang lebih maju, seni sering kali dianggap sebagai alat penting untuk menyuarakan kritik terhadap pemerintah atau institusi. Di negara-negara Eropa, misalnya, galeri seni dan museum diberi kebebasan penuh untuk memamerkan karya seni kontroversial, dengan keyakinan bahwa masyarakat dapat berdialog dan mencari pemahaman melalui karya tersebut. Kebijakan semacam ini menunjukkan bahwa keberanian untuk mendukung kebebasan berekspresi tidak hanya memperkuat seni, tetapi juga memperkaya demokrasi itu sendiri.

Indonesia perlu belajar dari pendekatan ini. Pemerintah dan institusi seni harus memiliki keberanian untuk melindungi karya seni yang kontroversial, selama karya tersebut tidak melanggar hukum yang jelas dan objektif. Lebih jauh lagi, regulasi yang ada perlu disesuaikan untuk memastikan bahwa kebebasan berekspresi tidak lagi dihambat oleh aturan yang multitafsir. UU ITE, misalnya, memerlukan revisi mendalam untuk menghilangkan pasal-pasal yang dapat digunakan untuk membungkam ekspresi kreatif.

Pada akhirnya, penurunan lukisan Yos Suprapto bukan hanya masalah teknis atau administratif. Ini adalah refleksi dari bagaimana kebebasan berekspresi di Indonesia masih menghadapi tantangan besar. Jika kita ingin menciptakan masyarakat yang benar-benar demokratis, seni harus diberi ruang untuk tumbuh dan berkembang tanpa rasa takut. Seni bukan ancaman; ia adalah cermin yang membantu kita melihat kebenaran yang sering kali sulit diungkapkan. Membungkam seni berarti membungkam diri kita sendiri, dan itu adalah harga yang terlalu mahal untuk dibayar dalam perjalanan menuju keadilan dan kebebasan.

 

Referensi

Buku

Arsyad, S. (2013). Kebebasan Berekspresi dalam Hukum dan Demokrasi di Indonesia. Jakarta: Pustaka Ilmu.

Kusumohamidjojo, B. (2006). Filsafat Seni: Kritik, Keindahan, dan Kebebasan. Jakarta: Gramedia.

Budiman, H. (2010). Seni dan Politik: Melawan dengan Estetika. Bandung: Marjin Kiri.

Jurnal

Latief, A. (2018). “Kebebasan Berekspresi di Indonesia: Analisis Pasal 28E UUD 1945 dan Penerapannya”. Jurnal Konstitusi Indonesia, 15(3), 345-367.

Wibowo, T. (2020). “Kontroversi Seni dan Kebijakan Sensor di Indonesia: Studi Kasus Galeri Nasional”. Jurnal Seni dan Budaya, 9(2), 210-227.

Rahmawati, D. (2019). “Pengaruh UU ITE terhadap Kebebasan Berekspresi di Media Digital”. Jurnal Hukum dan Sosial, 12(1), 45-60.

Nugroho, S., & Hartono, R. (2021). “Efek Hukum Multitafsir pada Ekspresi Seni di Indonesia”. Journal of Art and Law, 5(1), 101-120.

Undang Undang

UUD 1945 Pasal 28E ayat (2) dan (3).

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *