Vicarious Liability adalah pertanggungjawaban seseorang untuk perbuatan yang dilakukan oleh orang lain, ketika keduanya termasuk dalam suatu bentuk kegiatan gabungan atau kegiatan bersama. Meskipun telah diterima penerapan Vicarious Liability dalam perkara pidana namun para pakar berpendapat penegakannya tidak sama dalam perdata, dalam bidang perdata, Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang dilakukan oleh bawahan dapat dituntut pertanggungjawabannya kepada pimpinan, tetapi tidak sama dengan halnya dalam pidana, pimpinan secara umum tidak bertanggung jawab atas tindak pidana yang dilakukan oleh bawahannya.
Konsep tersebut diperkuat oleh Goerge E. Dix-M. Michael Sharlot yang mengatakan, seorang majikan tidak selamanya dalam semua kasus bertanggung jawab pidana (criminally responsible) atas tindakan pelanggaran hukum (unlawful acts) yang dilakukan bawahannya atau karyawan, oleh karena itu meskipun doktrin Vicarious Liability dapat diterima dalam bidang pidana pada dasarnya harus tetap diperhatikan prinsip bahwa pada dasarnya kesalahan yang bersifat personal dan individu.
Dalam bidang-bidang yang termasuk dalam statutory crime dianggap pantas atasan memikul pertanggungjawaban pidana (Vicarious Criminal Liability) atas pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan oleh bawahan demi untuk kepentingan Perusahaan, dengan acuan Disyaratkan adanya unsur mens rea
Di antara para ahli yang mengkaji teori ini, dengan bertolak dari hubungan pekerjaan dalam kaitannya dengan Vicarious liability, Peter Gillies membuat beberapa teori sebagai berikut :
- Suatu Perseroan (seperti halnya dengan manusia sebagai pelaku/pengusaha) dapat bertanggung jawab secara mengganti untuk perbuatan yang dilakukan oleh bawahannya Pertanggungjawaban demikian hanya timbul untuk delik yang mampu dilakukan secara perwakilan.
- Dalam hubungannya dengan employment principle, delik-delik ini sebagian besar atau seluruhnya merupakan summary offences yang berkaitan dengan peraturan perseroan.
- Kedudukan pimpinan dalam ruang lingkup pekerjaannya, tidaklah relevan menurut doktrin ini. tidaklah penting bahwa majikan, baik sebagai korporasi maupun secara person tidak telah mengarahkan atau memberi petunjuk/perintah pada bawahannya untuk melakukan pelanggaran terhadap hukum pidana. (bahkan,dalam beberapa kasus, vicarious liability dikenakan terhadap majikan walaupun karyawan melakukan perbuatan bertentangan dengan instruksi, berdasarkan alasan bahwa perbuatan karyawan dipandang sebagai telah melakukan perbuatan itu dalam ruang lingkup pekerjaannya).
Perlu diketahui juga bahwa doktrin ini dapat berlaku dengan didasarkan pada prinsip pendelegasian wewenang atau “the delegation principle”. Jadi, niat jahat atau “mens rea” dari karyawan dapat dihubungkan ke atasan apabila ada pendelegasian kewenangan dan kewajiban yang relevan menurut Undang-undang.
Pengadopsian doktrin respondeat superior dari bidang perdata kepada bidang pidana, dalam rangka penerapan Vicarious Criminal Liability kepada pimpinan Perusahaan harus berpatokan pada syarat yang sangat terbatas, seperti:
- Pimpinan memberikan izin atau persetujuan atas perbuatan itu, selain dari pada perbuatan yang yang dilakukan oleh bawahannya itu mendapatkan izin atau persetujuan dari pimpinannya diperlukan lagi syarat:
- Izin atau persetujuan itu dalam kerangka otoritasnya
- Perbuatan yang dilakukan bawahannya itu sebagai pelaksanaan pekerjaan yang ditugaskan pimpinan kepadanya.
- Pimpinan ikut berpartisipasi atas perbuatan yang dilakukan bawahannya, Pimpinan dianggap ikut berpartisipasi dalam tindak pidana yang dilakukan bawahannya apabila terpenuhinya unsur “turut serta” melakukan perbuatan atau take part in crime yang gariskan dalam pasal 55 dan pasal 56 KUHP, bisa dalam kedudukan orang menyuruh melakukan (doen pleger) “bersama-sama melakukan” (medepleger) atau “membantu” melakukan (medeplichtigheid)
- Bawahan melakukan perbuatan atas dasar Perintah (command) pimpinan. Mengenai bentuk ini dapat diterapkan ketentuan pasal 55 ayat (1) KUHP, menurut ketentuan ini orang yang “menyuruh” melakukan tindak pidana (doen plegen) ikut bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukan orang yang disuruh.
- Berdasarkan Pendelegasian. Pelanggaran yang dilakukan bawahan, bertitik tolak dari ”Pendelegasian” (delegation) dari pimpinan dalam hal ini pimpinan bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan bawahannya, apabila perbuatan itu dalam kerangka pendelgasian.
Suatu hal lagi yang perlu diperhatikan. Prinsip delegasi (delegation principle) baru perlu dipermasalahkan pada kasus kejahatan yang mensyaratkan “harus ada” mens rea. Sedangkan pada kejahatan yang tidak mensyaratkan kehendak (intention), sembrono (recklessness) atau kelalaian (negligence) yang dikenal dengan tindak pidana strict liability, majikan bertanggung jawab atas pidana yang dilakukan bawahan, baik hal itu atas dasar prinsip “majikan dan bawahan” (master and servant) maupun atas dasar prinsip pendelegasian (delegation principle). Kenapa demikian? Sebab dalam tindak pidana yang bersifat strict liability, pertanggungjawabannya “tanpa kesalahan” atau liability without fault. Jadi, pertanggungjawaban pidananya dipaksakan tanpa ditemukan adanya kesalahan (fault) berupa kelalaian atau kesengajaan.
Sebagai contoh, limbah pabrik yang mencemari sungai, merupakan tindak pidana yang bersifat strict liability. Asal telah terjadi pencemaran yang berasal dari limbah pabrik, langsung dapat dituntut pertanggungjawaban pidananya tanpa membuktikan adanya mens rea berupa kesengajaan atau kelalaian dari pelaku. Dalam hal yang demikian, apabila pencemaran yang terjadi sebagai akibat perbuatan “bawahan”, maka majikan bertanggung jawab atas pencemaran itu, baik berdasar prinsip “master and servant” maupun berdasarkan delegation principle. Pertanggungjawaban yang demikian “pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan” (criminal liability without fault).Dengan demikian dalam kasus pencemaran tersebut, majikan (pemilik pabrik) memikul pertanggungjawaban pidana tanpa mempersoalkan apakah majikan mengetahui perbuatan pencemaran yang dilakukan bawahan. Kesalahan bawahan langsung menjadi kesalahan majikan.
Referensi
M Yahya Harahap. (2009). Hukum perseroan terbatas. Sinar Grafika.
Ormerod, D. C., Smith, J. C., & Hogan, B. (2011). Smith and Hogan’s criminal law. Oxford University Press.