Teknologi kini sudah menjadi sebuah kebutuhan primer di tengah perkembangan zaman. Kebutuhan manusia kini tidak hanya terbatas pada sebuah kebutuhan sandang, pangan, dan papan namun diperluas kembali dengan adanya kebutuhan terhadap teknologi informasi yang ditandai dengan meningkatnya kebutuhan penggunaan telefon dan internet.
Kemudahan perkembangan teknologi dalam mendapatkan informasi telah mengubah perilaku manusia. Akses informasi tanpa batas lambat laun dengan sendirinya mengubah perilaku manusia secara global dan menyebabkan perubahan sosial secara signifikan yang menghasilkan borderless world.
Borderless world merupakan sebuah dampak dari perkembangan di bidang informasi, komunikasi, dan teknologi melalui media internet sehingga terjadi sebuah perubahan interaksi manusia tanpa batas. Terdapat dua jenis dampak dari perubahan interaksi akibat dari pengaruh perkembangan teknologi, yaitu dampak positif dan negatif. Dampak negatif dari borderless world tersebut dapat menimbulkan sebuah bentuk kejahatan jenis baru dan dapat pula menimbulkan perluasan dari bentuk kejahatan yang sudah lama, salah satunya cyberbullying.
Cyberbullying merupakan sebuah kejahatan yang merupakan bentuk perluasan dari bullying yang selama ini terjadi secara konvensional. Pada mulanya cyberbullying hanya dipandang sebagai salah satu bentuk perluasan dari bullying, namun pada akhirnya muncul beberapa kasus yang menjadi dampak dari adanya cyberbullying.
Berdasarkan hasil penelitian UNICEF pada tahun 2022, sebanyak 45% dari 2.777 anak di Indonesia merupakan korban dari cyberbullying.[1] Tak hanya itu, data yang dilansir dari Child Fund International pada tahun 2022, prelevansi perundungan online yang telah menjadi korban perundungan adalah sebanyak 58.6%, setidaknya 6 dari 10 remaja di Indonesia.[2] Hal tersebut sudah seharusnya menjadi kekhawatiran bagi pemerintah. Terlebih, di dunia internasional setidaknya sudah terdapat 5 contoh kasus yang menyebabkan korban cyberbullying mengakhiri hidupnya, contohnya pasa kasus Amanda Todd yang mengakhiri hidupnya pada usia 16 tahun. Salah satu kasus akibat dari cyberbullying contohnya Yoga, ia menabrakan dirinya sendiri ke kereta api. Aksinya yang nekat untuk bunuh diri tersebut merupakan sebuah akibat dari hujatan yang diterimanya di sosial media.[3]
Seluruh rangkaian peristiwa dan akibat yang terjadi tersebut telah mewakili kasus-kasus cyberbullying yang terjadi pada era globalisasi ini. Untuk menjawab dan menanggulangi masalah tersebut, tentu diperlukan adanya sebuah instrument hukum yang diharapkan menjadi payung pelindung bagi seluruh korban dari cyberbullying.
Lantas, bagaimana konstelasi hukum di Indonesia yang mengatur status hukum dari cyberbullying?
Cyberbullying
Kata bullying berasal dari kata bully atau dalam Bahasa Indonesia berarti penggertak atau orang yang mengganggu orang yang lemah. Adapun pengertian bullying telah dijelaskan oleh American Psychiatric Association sebagai, “a form of aggressive behavior in which someone intentionally and repeatedly causes another person injury or discomfort. Bullying can take the form of physical contact, words, or more subtle actions.”[4]
Tindakan bullying yang dapat dilakukan oleh pelaku sangatlah beragam mulai dari bullying verbal, bullying fisik, maupun cyberbullying yang kini bertumbuh seiring dengan perkembangan dunia. Cyberbullyingmerupakan cara untuk mengintimidasi, menjadikan korban, atau mengganggu seseorang atau sekelompok orang dengan memanfaatkan teknologi.[5] Pemanfaatan teknologi dalam cyberbullying dapat dilakukan hanya dengan mengakses perangkat elektronik saja, seperti telepon genggam ataupun laptop, yang mana hal tersebut dapat dilakukan secara berulang dengan melihat atau melibatkan banyak individu seara terus-menerus selama periode waktu yang berbeda-beda dengan sifat sasaran menyebar lebih luas.[6] Willard menyebutkan beberapa jenis dari cyberbullying, diantaranya:
- Flaming, jenis cyberbullying yang dilakukan dengan cara mengirimkan pesan teks dengan kata-kata yang penuh amarah dan frontal
- Harassment, jenis cyberbullying yang dilakukan melalui pengiriman pesan yang berisikan sebuah gangguan melalui media jejaring sosial secara terus menerus
- Denigration, cyberbullying yang dilakukan dengan cara mengumbar keburukan seseorang di internet dengan maksud untuk merusak reputasi dan nama baik seseorang
- Impersonation, dilakukan dengan berpura-pura menjadi orang lain untuk mengirimkan pesan-pesan atau status yang tidak baik
- Outing, cyberbullying yang dilakukan dengan menyebarkan rahasia orang lain, foto pribadi, atau informasi pribadi orang lain tanpa seizin pemilik foto atau informasi tersebut.
- Trickery, jenis cyberbullying yang dilakukan dengan membujuk seseorang dengan tipu daya agar mendapatkan rahasia ataupun foto pribadi orang tersebut dan membagikannya kepada orang lain.
- Cyberstalking, mengikuti seseorang dengan memanfaatkan teknologi secara online tanpa sepengetahuan pihak terkait.[7]
Konstelasi Hukum Cyberbullying di Indonesia.
Indonesia hingga kini masih menggunakan KUHP sebagai kitab yang menjadi rujukan utama dalam mencari hukum yang akan dikenakan terhadap kasus-kasus pidana. Pada prakteknya, perlu digaris bawahi bahwa KUHP masih bersifat sangat konvensional dan belum secara langsung dapat dikaitkan dengan perkembangan cybercrime, dalah satu contohnya terkait dengan cyberbullying. Mahkamah Konstitusi dalam putusan No. 50/PUU-VI/2008 telah menguraikan, bahwa KUHP memiliki kekurangan terkait dengan beberapa unsur tindak pidan ajika ingin dikaitkan dengan kejahatan yang ada di dunia maya, sehingga diperlukan adanya sebuah peraturan khusus terkait dengan cybercrime.
Pada perkembangannya kini telah lahir peraturan yang berkaitan dengan kejahatan di bidang teknologi, informasi, dan komunikasi melalui Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 (UU ITE). Pembentukan konstelasi hukum terkait dengan informasi, komunikasi, dan teknologi ini pun bertujuan untuk mengharmonisasikan antara instrumen peraturan hukum nasional dan instrumen hukum internasional yang berkaitan dengan teknologi seperti UNCITRAL, WTO, EU, APEC, ASEAN, dan OECD.
Merujuk pada ketentuan KUHP ataupun UU ITE, sebetulnya tidak ada kata yang menyebutkan cyberbullying secara khusus, namun terdapat beberapa pasal KUHP yang relevan, salah satu contohnya terdapat pada Pasal 315 KUHP,
“Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterima kepadanya, diancan karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua inggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Pasal tersebut masih belum cukup untuk mengakomodir arti dari cyberbullying. Penggunaan pasal ini pun masih terbatas karena mengatur mengenai penghinaan yang dilakukan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran maupun pencemaran. Adapun bentuk dari penghinaan yang dimaksud dalam pasal tersebut tidak dijelaskan sehingga dapat menimbulkan multitafsir. Sehingga kelahiran UU ITE menjadi sebuah payung hukum untuk mengakomodir ketentuan pemidanaan dari cyberbullying yang termasuk ke dalam bagian dari cybercrime. Adapun beberapa Pasal dalam UU ITE yang dapat dijadikan sebagai sebuah rujukan:
Pasal 27 Ayat (3)
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentrasmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”
Pasal 27 Ayat (4)
“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman”
Bahwa unsur “membuat dapat diakses”, “mendistribusikan”, dan “mentrasmisikan” dalam kedua pasal tersebut berkaitan dengan unsur “di muka umum” yang terdapat dalam KUHP. Perlu menjadi catatan bersama, bahwa pada penjelasan Pasal 27 Ayat (3) dan (4), disebutkan bahwa ketentuan tersebut di atas harus merujuk pada unsur-unsur tindak pidana pencemaran nama baik dan/atau fitnah sebagaimana tercantum dalam Pasal 310 Ayat (1) KUHP dan juga pemerasan dan/atau pengancaman yang terdapat dalam Pasal 386 Ayat (1) KUHP.
Adapun terhadap perbuatan cyberbullying yang diatur dalam Pasal 27 UU ITE pun dapat dikenakan sebuah sanksi pidana sebagaimana diatur dalam UU ITE pada Pasal 45 Ayat (1) dengan ancaman pidana dengan pidana penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Jeratan pidana bagi pelaku tindak pidana cybercrime yang diatur melalui UU ITE memiliki ancaman hukuman lebih berat dan termasuk ke dalam tindak pidana yang bertingkat tinggi.[8]
[1] Ardiansyah. “Mengkhawatirkan, 45% Anak Indonesia Jadi Korban Cyber Bullying”. Kabar Jakarta. 2022. https://www.kabarjakarta.com/posts/view/2768/mengkhawatirkan-45-anak-indonesia-jadi-korban-cyber-bullying.html.
[2] Redaksi Media Indonesia. “ChildFund International Luncurkan Kajian Perundungan Online di Indonesia”. Media Indonesia. 2022. https://mediaindonesia.com/humaniora/544737/childfund-internationalluncurkan-kajianperundungan-online-di-indonesia.
[3] Styawati, I.A. D, dan S. P. M. Purwani. “Pengaturan Cyberbullying dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”. KertaWicara 3, No. 2. 2014.
[4] American Psychiatric Association. “Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder”. Edition DSM-5. Washington DC: American Psychiatric Publishing. Washington DC.
[5] Bhat. “Cyberbullying: Overview and Strategies for School Counsellors, Guidance Officers, and All School Personnel”. Journal of Psychologists and Counsellors in Schools, 18(1). 2008.
[6] Grigg. “Cyber Aggression: Definition and concept of cyberbullying”. Australian Journal of Guidance and Counseling, 20(2). 2010.
[7] Willard. “Cybersafe kids, cyber-savvy teens: Helping young people learn to use the internet safely and responsibly”. California: Jossey-Bass. 2007.
[8] Sudarmanto, Mafazi, Kusnandia. Tinjauan Yuridis Penanganan Tindak Pidana Cyberbullying di Indonesia. Dinamika Hukum dan Masyarakat, Vol. 1 No.1. 2018.