Dalam era digital yang semakin maju, peran media sosial tidak hanya terbatas sebagai sarana komunikasi antarindividu, tetapi juga menjadi medium untuk menyebarkan berbagai informasi secara cepat dan luas. Di tengah perkembangan tersebut, muncul fenomena yang dikenal sebagai buzzer. Istilah ini merujuk pada individu atau kelompok yang secara sengaja menyebarkan informasi tertentu di media sosial dengan tujuan memengaruhi opini publik. Buzzer berfungsi sebagai alat promosi, baik untuk produk komersial maupun pesan politik. Dengan kemampuan mereka memobilisasi opini publik, buzzer sering digunakan oleh perusahaan, partai politik, atau individu yang ingin memperkuat pesan mereka. Namun, tidak jarang aktivitas buzzer dikaitkan dengan penyebaran informasi yang tidak benar atau hoaks.
Tidak semua aktivitas buzzer dapat dianggap melanggar hukum. Dalam praktiknya, terdapat sejumlah aktivitas buzzer yang sah dan dapat memberikan kontribusi positif bagi masyarakat. Misalnya, buzzer sering digunakan dalam dunia bisnis untuk mempromosikan produk atau jasa secara kreatif dan informatif. Selain itu, buzzer juga bisa berperan dalam edukasi publik dengan menyebarkan informasi berbasis fakta yang bermanfaat, seperti kampanye kesehatan, advokasi isu lingkungan, atau sosialisasi kebijakan pemerintah. Namun, aktivitas buzzer dapat masuk dalam ranah ilegal jika dilakukan dengan cara-cara yang melanggar hukum dan etika.
Persoalan Hukum yang Timbul Akibat Aktivitas Buzzer
Fenomena buzzer tidak terlepas dari potensi pelanggaran hukum yang dapat merugikan masyarakat atau pihak tertentu. Beberapa persoalan hukum yang sering muncul antara lain:
- Penyebaran Hoaks dan Disinformasi
Buzzer yang sengaja menyebarkan informasi palsu untuk menggiring opini publik dapat dijerat Pasal 28 ayat (1) UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang melarang penyebaran berita bohong yang merugikan masyarakat.
Sanksi: Penjara hingga 6 tahun dan/atau denda maksimal Rp 1 miliar. - Ujaran Kebencian (Hate Speech)
Jika buzzer menyebarkan konten yang memicu kebencian berbasis SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan), mereka dapat dikenakan Pasal 28 ayat (2) UU ITE.
Sanksi: Penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda Rp 1 miliar. - Pencemaran Nama Baik
Serangan pribadi terhadap tokoh publik atau individu yang dilakukan buzzer dapat dijerat dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE serta Pasal 310 dan 311 KUHP.
Sanksi: Penjara maksimal 4 tahun dan/atau denda Rp 750 juta. - Pelanggaran Privasi
Buzzer yang mengakses dan menyebarkan data pribadi tanpa izin pemiliknya dapat dijerat dengan UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP No. 27 Tahun 2022).
Sanksi: Penjara hingga 5 tahun dan/atau denda Rp 5 miliar. - Manipulasi Pemilu
Dalam konteks politik, buzzer yang menyebarkan kampanye hitam atau propaganda ilegal selama pemilu dapat melanggar ketentuan UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Buzzer dapat dipidana?
Buzzer yang terbukti melanggar hukum dapat dikenakan berbagai sanksi, seperti:
Hukuman Pidana Penjara
- Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
- Hukuman penjara bisa bervariasi, tergantung pada jenis pelanggaran, seperti penyebaran hoaks, ujaran kebencian, atau pencemaran nama baik.
Denda
- Denda yang dikenakan juga tergantung pada tingkat pelanggaran.
- Bisa mencapai jumlah yang signifikan, seperti dalam pasal-pasal UU ITE yang mengatur tentang penyebaran informasi merugikan atau penyalahgunaan media sosial.
- Jumlah denda dapat mencapai Rp 1 miliar atau lebih, tergantung pada keparahan pelanggaran.
Pemblokiran Akun Media Sosial
- Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dapat melakukan pemblokiran akun media sosial yang digunakan untuk menyebarkan informasi palsu, ujaran kebencian, atau konten ilegal lainnya.
- Pemblokiran akun bertujuan untuk menghentikan penyebaran konten yang merugikan masyarakat dan menjaga ruang digital tetap aman.
Penegakan hukum terhadap aktivitas buzzer di dunia digital tidaklah mudah dan menghadapi berbagai tantangan yang kompleks. Salah satu tantangan utama adalah identifikasi pelaku. Banyak buzzer beroperasi dengan menggunakan akun anonim atau bahkan memanfaatkan bot otomatis untuk menyebarkan informasi secara masif. Hal ini membuat pelacakan identitas mereka menjadi sangat sulit dan sering kali membutuhkan kerja sama dengan platform media sosial yang memiliki data pengguna. Tantangan berikutnya adalah pembuktian keterlibatan buzzer dalam penyebaran informasi palsu atau konten ilegal. Dalam kasus-kasus yang melibatkan kejahatan digital, bukti elektronik menjadi faktor kunci yang harus dipenuhi. Namun, bukti ini harus memenuhi standar hukum dan dapat dipertanggungjawabkan di pengadilan. Proses ini tidak jarang rumit karena data digital mudah dimanipulasi atau dihapus. Selain itu, terdapat kendala berupa peraturan yang belum komprehensif. Saat ini, meskipun beberapa undang-undang seperti UU ITE dan UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) dapat digunakan untuk menangani pelanggaran tertentu, belum ada regulasi khusus yang secara spesifik dan menyeluruh mengatur aktivitas buzzer. Kekosongan hukum ini menyulitkan aparat penegak hukum dalam menindak aktivitas yang bersifat manipulatif namun tidak secara eksplisit melanggar peraturan yang ada. Dengan berbagai tantangan tersebut, diperlukan langkah-langkah strategis, mulai dari pembaruan regulasi hingga peningkatan kemampuan aparat penegak hukum dalam menangani kejahatan digital, guna menciptakan ruang digital yang lebih aman dan terkontrol.
Aktivitas buzzer memiliki dampak yang signifikan dalam masyarakat, baik secara positif maupun negatif. Oleh karena itu, diperlukan regulasi yang lebih jelas dan penegakan hukum yang tegas untuk mengatasi dampak negatif yang ditimbulkan. Selain itu, literasi digital masyarakat juga perlu ditingkatkan agar lebih kritis dalam menyikapi informasi yang beredar di media sosial.