Anak Angkat dalam Pembagian Harta Warisan—Mengangkat (adopsi) anak bukan hal yang baru di Indonesia. Perbuatan mengangkat anakpun sesungguhnya memunculkan beberapa konsekuensi hukum di mana sang anak yang diangkat mempunyai kedudukan hukum terhadap sang orangtua anak. Kedudukan hukumnya di antaranya terkait pembagian warisan. Bagaimana sesungguhnya kedudukan hukum anak angkat dalam pembagian warisan orangtua angkatnya?
Menurut Hukum Perdata Barat, pihak yang berhak menerima warisan diatur dalam Pasal 832 KUHPerdata yakni adalah keluarga sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun di luar pernikahan dan suami isteri yang hidrup terlama. Ahli waris tersebut dapat juga disebut sebagai ahli waris ab intestato.
Anak angkat sejatinya masih memungkinkan mendapat warisan melalui surat wasiat, hal ini berdasarkan pada Pasal 875 KUHPerdata yang mengatur yakni:
Surat wasiat atau testamen adalah suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya akan terjadi setelah ia meninggal dunia dan dapat dicabut kembali.
Dengah Hibah Wasiat ini, maka seseorang (contohnya anak angkat) dimungkinkan untuk mendapatkan harta warisan sebagai ahli waris testamentair yang berhak menerima warisan baik sebagian atau seluruhnya (sebagaimana diatur dalam Pasal 954 KUHPerdata).
Bagaimana dengan Hukum Islam? Dalam Hukum Islam pengangkatan anak tidak memutus hubungan (nasab) antara si anak dengan orangtua kandungnya, khususnya dalam hal perwalian ketika menikah juga terkait hal kewarisan. Dalam hal hak kewarisan, sama seperti yang diatur dalam Pasal 832 KUHPerdata di Hukum Perdata Barat, timbulnya hak mewaris karena adanya ikatan darah/ perkawinan dengan pewaris, dalam hukum Islam juga dikenal asas ijbari di mana harta waris secara sendirinya atas kehedak Allah Swt diturunkan ke ahli waris.
Golongan yang termasuk dalam ahli waris diatur dalam Pasal 174 ayat 1 dan 2 Kompilasi Hukum Islam (KHI) di antaranya yaitu:
(1) Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:
- Menurut hubungan darah:
– golongan laki-laki terdiri dari : ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.
– Golongan perempuan terdiri dari : ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek.
- Menurut hubungan perkawinan terdiri dari : duda atau janda.
(2) Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya : anak, ayah, ibu, janda atau duda.
Jadi, dalam Hukum Islampun anak angkat tidak termasuk dalam ahli waris dari orangtua angkatnya, namun sang anak angkat tetap berhak atas bagian harta warisan dari orangtuanya melalui mekanisme wasiat wajibah. Wasiat Wajibah menurut Bismar Siregar dalam bukunya, “Perkawinan, Hibah, dan Wasiat dalam Pandangan Hukum Bangsa”, adalah suatu wasiat yang diperuntukan kepada ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya halangan syara’. Di mana halangan syara’ dalam hal ini adalah tidak adanya ikatan darah (nasab) antara anak angkat dengan orangtua angkatnya.
Wasiat Wajibah menetapkan bagian harta warisan yang menjadi bagian untuk anak angkat adalah tidak boleh lebih dari 1/3 (sepertiga) dari keseluruhan harta orangtua angkatnya. Hal ini diatur dalam Pasal 209 ayat 2 KHI yakni:
Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.
Dari penjabaran di atas, kita dapat mengetahui baik pada Hukum Perdata Barat maupun Hukum Islam bahwasannya anak angkat tidak termasuk dalam ahli waris, walaupun begitu anak angkat tetap dapat mendapat bagiannya dalam harta warisan melalui surat wasiat, yakni Surat Wasiat/Testamen pada Hukum Perdata Barat dan Wasiat Wajibah pada Hukum Islam.
Referensi
Kitab Undang-Undang Perdata
Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
Siregar, Bismar. 1985. “Perkawinan, Hibah, dan Wasiat dalam Pandangan Hukum Bangsa”. Yogyakarta: Fakultas Hukum UII.