Belakangan ini Indonesia sedang hangat-hangatnya dengan pembahasan hutan yang berada di Papua, tepatnya di Boven Digoel. Peristiwa ini menarik banyak reaksi dari berbagai kalangan. Berbagai media juga diramaikan dengan berbagai postingan disertai dengan asumsi dari berbagai pihak yang mengetahui isu lingkungan dan konflik masyrakat adat itu. Saat ini viral dengan banyak poster bertulis besar “All Eyes on Papua”.
Berdasarkan informasi dari beberapa sumber poster “All Eyes on Papua” menjadi media suara terkait permintaan masyarakat Papua khususnya adat Awyu dan Moi. Mereka berharap agar hutan adat yang menjadi tempat tinggalnya selamat dari pembukaan perkebunan sawit. Diketahui hutan masyarakat Awyu telah dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit terbesar di Indonesia. Melansir dari unggahan poster yang lain dijelaskan pula bahwa hutan di Papua tepatnya di Boven Digoel Papua seluas 36 ribu hektar atau separuh luas Jakarta akan dibabat habis dan dibangun perkebunan sawit. Hal ini memunculkan kekhawatiran mulai dari hilangnya hutan alam dan diperkirakan menghasilkan emisi 25 juta ton karbon dioksida. Sehingga dampaknya tidak hanya dirasakan oleh seluruh rakyat Papua tetapi juga masyarakat dunia.
Perjuangan masyarakat adat khususnya masyarakat Awyu dan Moi tidak terlepas untuk mempertahankan hutan adat yang berperan penting. Hutan tersebut menjadi sumber penting kehidupan para masyarakat. Diketahui Masyarakat Awyu dan Moi menjadikan hutan tersebut sebagai sumber dari kehidupannya mulai dari pangan, air, hingga hasil hutan lainnya bagi masyarakat adat. Selain itu, diketahui bahwa Marga Woro tidak pernah dilibatkan dalam pembuatan dalam dokumen analisis mengenai dampak lingkungan perusahaan sawit. Dalam unggahan akun @tanyakanrl pada 31 Mei 2024, disebutkan bahwa hak-hak masyarakat Papua tengah direnggut paksa oleh penguasa. Unggahan yang disertai poster bertuliskan “All Eyes on Papua” itu viral dan sudah dilihat lebih dari 1,1 juta kali dan disukai lebih dari 47 ribu kali.
Menurut akun Instagram @jktgo, Senin (3/6/2024), masyarakat Maga Woro dan Suku Awyu mengajukan gugatan terkait izin lingkungan kebun sawit PT IAL dengan didampingi Koalisi Selamatkan Hutan Adat Papua. Proses gugatannya kini sedang bergulir di Mahkamah Agung (MA). Ini menjadi harapan terakhir bagi masyarakat adat Marga Woro dan Suku Awyu untuk mempertahankan hutan yang telah menjadi bagian dari kehidupan mereka secara turun-temurun.
Suku Moi adalah salah satu suku dari dataran Papua yang tinggal di daerah pesisir utara. Suku Moi terbagi menjadi tujuh sub-suku, di antaranya adalah Suku Moi Kelim, Moi Abun That, Moi Abun Jhi, Moi Salkma, Moi Klabra, Moi Lemas, dan Moi Maya. Suku Moi sejak dulu menerapkan budaya Egek, yaitu budaya adat tentang menjaga alam dengan mengambil secukupnya dari alam, termasuk dalam penggunaan mesin yang tidak ramah lingkungan. Maka dari itu, Suku Moi lebih senang menggunakan perahu adatnya dibandingkan dengan perahu bermesin. Egek, atau Sasi dalam budaya Maluku, merupakan budaya menjaga kelestarian lingkungan hidup dengan tidak mengambil hasil-hasil alam tertentu dalam waktu tertentu sesuai dengan perjanjian masyarakat sudah lama diterapkan oleh Suku Moi. Oleh karena itu, masyarakat adat Suku Awyu mengajukan gugatan atas izin yang telah diberikan kepada Perusahaan Indo Asiana Lestari (PT IAL) terkait membuka perkebunan kelapa sawit di wilayah hutan adat mereka.
Terkait peristiwa tersebut, dilihat dalam Hukum Internasional dikatakan hak-hak masyarakat adat atas tanah dan sumber dayanya harus diakui dan dilindungi. Selain itu, Konvensi ILO No.169 dan Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (UNDRIP) tepatnya Pasal 34 menyatakan bahwa masyarakat adat berhak untuk meningkatkan, mengembangkan dan mempertahankan struktur lembaga mereka serta adat istiadat, spiritualitas, tradisi, tata cara, kebiasaan yang khas dan sistem hukum atau adat istiadat, sesuai dengan standar hak-hak asasi manusia. Terdapat dalam pasal sebelumnya, Deklarasi PBB tentang Hak-hak Masyarakat Adat Pasal 26:
- Masyarakat adat memiliki hak atas tanah, wilayah dan sumber daya yang mereka miliki atau duduki secara tradisional atau sebaliknya tanah, wilayah dan sumber daya yang telah mereka gunakan atau yang telah didapatkan.
- Masyarakat adat memiliki hak untuk memiliki, menggunakan, mengembangkan dan mengontrol tanah, wilayah dan sumber daya yang mereka miliki atas dasar kepemilikan tradisional atau penempatan dan pemanfaatan secara tradisional lainnya, termasuk tanah, wilayah dan sumber daya yang dimiliki dengan cara lain.
- Negara memberikan pengakuan hukum dan pelindungan atas tanah, wilayah dan sumber daya tersebut. Pengakuan itu harus dilakukan sejalan dengan penghormatan atas kebiasaan-kebiasaan, tradisi-tradisi dan sistem penguasaan tanah pada masyarakat adat yang bersangkutan.
Pasal selanjutnya, yaitu Pasal 27: Negara membentuk dan mengimplementasikan sebuah proses yang adil, independen, tidak memihak, terbuka dan transparan dalam memberikan pengakuan atas hukum-hukum masyarakat adat, tradisi, kebiasaan, sistem penguasaan tanah, serta mengakui hak-hak masyarakat adat atas tanah, wilayah dan sumber daya mereka yang lainnya, termasuk yang dimilikinya secara tradisional. Masyarakat adat juga memiliki hak untuk berpartisipasi dalam proses-proses ini.
Dalam prinsip pembangunan berkelanjutan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) menjelaskan pentingnya pembangunan yang mempertimbangkan aspek lingkungan, ekonomi, dan sosial secara seimbang. Proyek perkebunan sawit yang merusak hutan adat bertentangan dengan prinsip ini karena mengabaikan dampak lingkungan jangka panjang dan hak-hak masyarakat adat. Selanjutnya, apabila dilihat dalam prinsip kehati-hatian yang mencantumkan harus ada pencegahan terhadap hal atau tindakan yang dapat berpotensi merusak lingkungan sebelum kerusakan terjadi, proses pemberian izin untuk pembukaan hutan adat yang memiliki nilai ekologis tinggi menjadi kawasan kelapa sawit sepertinya terlihat saling bertolakan dan akan berpotensi terhadap melanggarnya prinsip ini.
Sangat penting untuk tetap mengacu pada hukum lingkungan dan peraturan-peraturan lainnya yang mengatur, serta menegakkan hukum yang melindungi lingkungan dan hak-hak adat. Setiap tindakan terhadap lingkungan pun harus menyoroti pada penghormatan terhadap hak-hak masyarakat adat dan penerapan prinsi-prinsip lingkungan dalam mengambil keputusan terkait izin lingkungan. Terhadap peristiwa ini sedang dalam proses banding dikarenakan gugatan yang diajukan masyarakat adat Awyu dan Moi telah ditolak dan banyak harapan dalam keputusan pada tahap selanjutnya. Harapan adanya peningkatan partisipasi masyarakat adat dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan tanah dan sumber daya masyarakat adat tersebut, meninjau ulang terhadap proses penerbitan AMDAL untuk lebih mementingkan dan mematuhi hukum lingkungan, serta hak-hak masyarakat adat yang berlaku dapat membuat peristiwa ini menemukan jalan keluar yang lebih adil, sejahtera, dan dihormati bagi setiap pihak.
Referensi:
Putri, Natasa Kumalasah. 2024. Ramai Poster All Eyes on Papua, Apa Itu?. Liputan 6.https://www.liputan6.com/regional/read/5610907/ramai-poster-all-eyes-on-papua-apa-itu?page=3
Henry. 2024. Tagar All Eyes On Papua Menggema di Media Sosial Soroti Soal Penyerobotan Hutan Adat. Liputan 6. https://www.liputan6.com/lifestyle/read/5610777/tagar-all-eyes-on-papua-menggema-di-media-sosial-soroti-soal-penyerobotan-hutan-adat?page=4
Undang-undang (UU) Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Konvensi ILO No.169 dan Deklarasi PBB